Sejak lama, Lamalera terkenal karena warganya adalah nelayan ulet dan berani. Mereka adalah penangkap ikan raksasa jenis paus, hiu, dan lainnya, namun masih menggunakan alat tangkap tradisional. Alat tangkap pendukung hanya pledang atau sampan kecil bercadik dan tombak berpengait. Layar pledang pun masih dari anyaman daun sejenis palem.
Lamalera-kampung asal ahli Bahasa Indonesia, Dr Goris Keraf dan mantan wartawan Kompas, Marcel Beding (keduanya telah almarhum)-dari Lewoleba jaraknya 46 km. Namun, perjalanan darat dengan kendaraan menuju Lamalera hingga sekarang bukan pilihan enteng. Sebagian besar ruas jalan masih berupa jalan tanah berbatu dan berlubang-lubang.
Seperti diakui Agustinus Kedang, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Lembata, yang asal Lamalera, bepergian dengan kendaraan untuk jarak sekitar 46 km itu membutuhkan waktu paling cepat empat jam. "Kalau musim hujan bisa lebih lama lagi bahkan mungkin terputus sama sekali," tambah warga Lamalera lainnya.
Sebenarnya, bepergian dari Lewoleba ke Lamalera bisa melalui tiga rute. Pertama melalui jalur tengah melewati sejumlah kampung seperti Poto dan Puor. Saat ini ada dua truk penumpang yang beroperasi di sana dengan tarif Rp 20.000 sekali jalan di luar barang bawaan. Sebagai misal kalau barang bawaan berupa satu zak semen, ongkos harus ditambah Rp 5.000.
Rute lainnya melalui lingkar selatan. Dari Lewoleba melewati Loang, Mingar hingga Lamalera. Hingga sekarang jalannya belum tembus, atau baru mencapai Atawai, sekitar 13 km sebelum Lamalera.
Pilihan lainnya melalui laut dan itu berarti harus berputar jauh membutuhkan waktu perjalanan sekitar empat-lima jam. Amat jarang ada warga memilih melalui laut dari Lewoleba karena lautnya sering ganas.
Jalan agak mulus ukuran Lembata adalah ruas Lewoleba- Balauring. Jaraknya sekitar 52 km arah timur, yang kalau dengan kendaraan pribadi membutuhkan waktu sekitar tiga jam atau kira-kira 17 km per jam. Meski begitu, kesaksian di Lembata mencatat, transportasi darat di kabupaten baru itu hingga sekarang masih merupakan kendala serius.
Faktanya kini, termasuk harapan lain atas pembukan isolasi wilayah daratan di Lembata, belum juga membuahkan hasil. Ini adalah persoalan dasar yang tetap terabaikan. Dan kekecewaan pun bertambah mendalam karena Lembata di bawah kepemimpinan Bupati Andreas Duli Manuk bersama wakilnya, Felix Kobun, ternyata mengalokasikan dana Rp 100 juta untuk mendorong pembentukan Provinsi Flores yang diwacanakan empat tahun lalu.
Siong alias Yosef Lembata adalah bendahara panitia pembentukan Provinsi Flores untuk Kabupaten Lembata.
"Benar, saya bendaharanya. Namun, saya sendiri tidak pernah tahu dana Rp 100 juta itu. Saya dipasang begitu saja untuk jabatan tersebut, padahal saya belum setuju kalau pembentukan Provinsi Flores diperjuangkan sekarang. Masih banyak persoalan lain yang seharusnya menjadi prioritas penanganannya, termasuk pembukaan isolasi itu," tutur Siong di Lembata, medio November lalu.
AGAK bebas dari serbuan kabut debu sejak lepas batas kota, perjalanan terus menyusuri kawasan tandus hingga Muruona di Ileape. Di bawah terik menyengat, perjalanan tiba di mulut kampung. Tidak jauh dari sebuah sumur tua, terlihat sejumlah warga berkumpul di bawah tenda darurat.
Setelah didekati dan terlibat dalam komunikasi akrab, mereka adalah eks atau sedang berstatus TKI (tenaga kerja Indonesia). Sebut saja di antaranya Hendrikus Hongi Mataranu (47), Isa Sili Bala alias Martinus Kidi Making (57), Petrus Djema Domakin (62), Bernadus Beda (48), Carolus Bolly, dan sejumlah lainnya.
Dari penuturan dengan warga kampung ini diketahui, Hendrikus Hongi Mataranu dan Isa Sili Bala alias Martinus Kidi Making adalah dua TKI di Malaysia. Hendrikus baru tiba di kampung asalnya itu, Jumat (15/11), setelah melalui perjalanan panjang dengan kapal laut dari Nunukan (Kalimantan Timur) terus ke Makassar - Maumere (Flores).
Selanjutnya jalan darat ke Larantuka lalu menyeberang lagi ke Pulau Lembata melalui Lewoleba hingga akhirnya tiba di kampung kelahiran itu, setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang seminggu. Sementara rekannya, Isa Sili Balla alias Martinus Kidi Making tiba di kampungnya itu lebih awal.
Entah Hendrikus atau Isa Sili Balla, keduanya bukan TKI ilegal yang terpaksa dipulangkan sejak September lalu. "Kami TKI legal dan akan kembali ke Malaysia awal Desember mendatang," jelas Isa Sili Balla.
Sementara, Bernadus Beda dan Carolus Bolly adalah eks TKI yang kini memilih berjuang di kampung kelahirannya di Muruona. Carolus misalnya, pernah sebagai TKI di Malaysia tahun 1987-1997. Ayah dua anak itu akhirnya memilih tidak lagi kembali ke Malaysia setelah dalam waktu berdekatan harus berpisah untuk selamanya dengan orang-orang yang ia cintai.
Agak berbeda dengan warga lainnya, Petrus Djema Domakin bersama istrinya terus bertahan di kampung atau tidak pernah merantau ke Malaysia. Namun ia mengakui, kehidupan keluarga bisa berubah karena jasa kiriman dari rantau.
“Anak saya tiga orang, dua laki-laki, yang pertama dan kedua, semuanya di Malaysia. Dari keduanya kami dapat kiriman hingga bisa membangun rumah di kampung ini,” tuturnya sambil menunjuk rumah berukuran 48 m² beratap seng, lantai semen, dan berdinding bata merah.
Dari sejumlah warga ini tersirat pengakuan bernada sama, mereka sangat mencintai kampung kelahirannya itu. Namun diakui, banyak desakan yang membuat sebagian besar warga kampung harus pergi merantau. Alasan paling utama adalah karena di daerah ini tidak tersedia lapangan pekerjaan bergaji lumayan. Lahan-lahan sekitarnya pun tandus hingga kalau digarap menjadi ladang, sering tidak berhasil panen yang memuaskan bahkan tidak cukup untuk kebutuhan makan setahuni di Pulau Lembata. (ans)
Sumber: Kompas
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!