Catatan pendahuluan
PERTAMA-TAMA, patut saya mengucapkan selamat berbahagia kepada pemimpin umum, pemimpin redaksi dan seluruh staf redaksi, serta pemimpin perusahaan Surat Kabar Harian Pos Kupang, yang telah berhasil mengelola dan mengembangkan Pos Kupang selama 15 tahun Pos Kupang ditumbuhkembangkan di Kupang, Ibu kota Propinsi NTT, antara 1 Desember 1992 sampai dengan 1 Desember 2007. Saya juga patut menyatakan apresiasi berkenaan dengan diluncurkannya buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur dalam rangka memperingati eksistensi 15 tahun Pos Kupang, sebab buku sangat penting dalam proses peningkatan kecerdasan manusia.
Antara tanggal 3 sampai tanggal 18 Desember 2007 yang lalu, saya benar-benar dikungkung penasaran, karena belum berhasil memperoleh buku 15 tahun Pos Kupang. Pada tanggal 19 Desember 2007 barulah saya berhasil memperoleh buku itu ketika saya mengunjungi Toko Buku Gramedia. Dan lantaran sangat penasaran, buku 15 tahun Pos Kupang yang baru dibeli itu, saya baca hingga tuntas pada tanggal 20 Desember 2007 malam. Ada banyak manfaat yang tersurat dan tersirat di dalam buku itu. Di samping itu, terdapat pula beberapa kekeliruan kecil yang perlu dikoreksi/diralat. Namun, ada bagian tertentu dari isi buku 15 tahun Pos Kupang yang membuat saya trenyuh, yaitu ketika saya membaca tulisan Maria Matildis Banda (selanjutnya dalam tulisan ini akan saya sapa, Maria MB) yang diberi judul, "Imajinasi dan Hasrat Seorang Jurnalis" (Catatan tentang Jurnalisme Sastra) (hlm.167-181), khususnya paparan di bawah sub judul 'Aspek Imajinasi dalam Jurnalisme Sastra' (hlm.174-177).
Tulisan Maria MB ini benar-benar membuat saya trenyuh, karena Maria MB tidak memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang 'imajinasi, fantasi, dan khayalan', sehingga untuk beberapa saat lamanya saya terpekur seraya bergumam, 'koq, bisa begitu, ya?!'
Imajinasi, fantasi, dan khayalan
Maria MB katakan: "Imajinasi bukan khayalan. Imajinasi berbeda dari fantasi. Fantasi sama dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. Fantasi adalah gambaran semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan. Berfantasi sama dengan mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan hampa yang indah berbunga-bunga... Fantasi adalah daya yang menghasilkan khayalan, berkaitan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan..." (hlm.174, 175, 176)..
Untuk menjelaskan secara singkat mengenai apa itu imajinasi, fantasi, khayal, saya ingin mengutip hasil penelitian dua orang sarjana Prancis, Roger Fretigny dan Andre Viler yang mengatakan begini: "Ada empat macam kesadaran manusia yaitu kesadaran imajinatif, kesadaran refleksif, kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif. Fantasi memainkan peranan sentral dan menentukan dalam perkembangan psikis manusia. Dan fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif. TANPA FANTASI, MAKA DAYA PEMIKIRAN KITA YANG KERJA SECARA DISKURSIF AKAN MENJADI PINCANG DAN TERKURUNG DALAM SEBUAH SISTEM YANG TERTUTUP DAN BEKU. Tetapi dengan fantasi, hidup manusia seutuhnya akan bergerak menurut suatu ritme tertentu antara kenyataan dan harapan" (L'imagerie Mentale, 1968:21).
Berpegang pada hasil penelitian kedua sarjana Prancis sebagaimana dikutip di atas inilah, maka saya sangat terperanjat (!) ketika membaca pandangan Maria MB yang mengatakan bahwa "Fantasi sama dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. Fantasi adalah gambaran semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan. Berfantasi sama dengan mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan hampa yang indah berbunga-bunga. Maaf, kalau saya berkata, "Rupanya Maria MB belum tahu banyak, atau sama sekali tidak tahu, bahwa fantasi (sebutan lain, khayal), adalah 'kegiatan daya roh' yang terhisab kepada 'kesadaran imajinatif'.
Mary Harrington yang mengutip hasil penelitian Bradbury mengatakan bahwa, "Bakat berfantasi merupakan bakat untuk hidup. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, insprirasi, atau ilham" (Psychology Today, Vol.I. No.1, 1968:28,37). Catatan tambahan: 'inspirasi, ilham, angan-angan, impian' juga terhisab kepada 'kegiatan daya roh seperti fantasi' yang tak terpisahkan dari 'kesadaran imajinatif'. JRR Tolkien dalam Tree and Leaf 1964 mengatakan, "Fantasi tidak merusak akal budi dan tidak mengeruhkan ketajaman pengamatan ilmiah. Makin baik fantasi seseorang, makin terang dan hidup kegiatan inteleknya. Dan semakin terang dan hidup kegiatan intelek seseorang, semakin baik pula fantasinya."
Harvey Cox dalam bukunya Feast of Fools (1969), sebagaimana dikutip dan dijelaskan pula oleh Dick Hartoko dalam tulisan berjudul "Kesenian Dalam Hubungannya Dengan Peranan Kaum Muda" antara lain mengatakan: "Oleh fantasi dibuka pandangan-pandangan baru yang tertutup bagi pengalaman empiris belaka, ia dibebaskan dari gaya hidup yang 'borjuis, established, arrive'. Fantasi membuka kemungkinan untuk mengadakan pembaruan. Dengan fantasi, manusia mampu menyadari masa kini dengan lebih kaya, intensif, dan kreatif. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, karena inspirasi dan ilham. Direksi-direksi perusahaan sering mengadakan rapat-rapat 'brainstorming' yang merangsang daya fantasi.... Masyarakat membutuhkan pembaruan, dan pembaruan dapat dirintis oleh pemimpi (bukan pemimpin), yaitu oleh mereka yang menggunakan fantasinya" (TIFA BUDAYA, Sebuah Bunga Rampai, Penyunting: Kasijanto dan Sapardi Djoko Damono, diterbitkan oleh Leppenas Jakarta 1981. Hlm.18,19).
Berkenaan dengan pandangan di atas ini, saya ingin mengutip 'kesaksian' Damyan Godho dalam bagian awal tulisannya "Pos Kupang-ku, Suara Nusa Tenggara Timur" (Kilas-balik Singkat Perjalanan 15 tahun, 1 Desember 1992 - 1 Desember 2007), yang berbunyi sebagai berikut: "DALAM perjalanan ke Restoran Pantai Timor - Kupang, Senin sore 30 November 1992 - tempat akan berlangsungnya Acara Peresmian POS KUPANG, Surat Kabar Harian pertama di Nusa Tenggara Timur, benak saya penuh khayalan. Namanya berkhayal. Macam-macam, meloncat sana meloncat sini, dengan hati yang berbunga-bunga, membayangkan koran yang akan terbit perdana esok hari Selasa 1 Desember 1992. Suatu hari nanti, POS KUPANG seperti KOMPAS beredar luas' dibaca banyak orang, dipercaya dan disayangi di halte-halte, di bawah tiang listrik, di pasar dan di mana-mana terlihat orang asyik membaca - setidaknya membawa koran di tangan. Koran itu adalah POS KUPANG yang telah menjadi kebutuhan." Lebih lanjut, Damyan Godho bersaksi: "Memang, khayalan tadi lalu menjadi impian dan cita-cita yang menjadi pemberi semangat dan inspirator dalam menapak perjalanan sejak 1 Desember 1992. Perjalanan, yang lebih tepatnya 'perjuangan' panjang 15 tahun, sungguh penuh kenangan." (baca, 15 tahun Pos Kupang..., hlm.13-14).
'Khayalan' yang disaksikan oleh Damyan Godho sebagaimana dikutip di atas ini adalah sebutan lain dari fantasi yang dijelaskan oleh Harvey Cox yang dikutip pula oleh Dick Hartoko, sebagaimana telah dipaparkan di atas, yang telah menjadikan Damyan Godho menoreh prestasi di dalam mengembangkan Pos Kupang memasuki usia ke-15 tahun pada 1 Desember 2007 yang lalu. Khayalan atau fantasi yang dijelaskan di sini, menurut Cox, tidak lain adalah imajinasi yang diteruskan (dikembangkan), yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari. Khayalan atau fantasi yang tak lain adalah imajinasi yang diteruskan itu adalah khayalan atau fantasi kreatif, yang juga tidak lain adalah imajinasi kreatif yang diteruskan/dikembangkan berpangkal pada kenyataan dan pulang kepada kenyataan. Khayalan atau fantasi kreatif, yang tak lain adalah imajinasi kreatif yang diteruskan (dikembangkan) itu, lebih lanjut dijelaskan pula oleh Dick Hartoko, mengutip pandangan J. Bronowksi, "memampukan manusia dapat melihat ke depan, mempunyai 'foresight' (tinjauan ke masa depan), antisipasi (pikiran atau perhitungan yang dapat membayangkan apa yang nanti akan terjadi, atau yang diharapkan akan terjadi). Dan di sinilah kita berjumpa dengan peranan imajinasi dalam kehidupan manusia, syarat mutlak bagi terjadinya karya seni dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta kemajuan di bidang apa saja Bronowksi mengumpamakan imajinasi dengan sebuah teleskop dalam arus waktu. Manusia dapat memandang ke depan, dan dapat menggambarkan apa yang akan terjadi" (Dick Hartoko, Manusia Dan Seni 1983:26-27). Imajinasi yang disebutkan oleh Bronowksi itu bukan meniadakan, tetapi mengukuhkan fantasi kreatif atau khayalan kreatif yang membuat Damyan Godho berkata, "Suatu hari nanti, Pos Kupang seperti Kompas."
Sangat disayangkan sekali bahwa konsepsi tentang 'imajinasi, fantasi, khayalan' sebagaimana dipaparkan di atas ini belum dan/atau sama sekali tidak diketahui (!?) dan/atau tidak dipahami secara baik oleh Maria MB, sehingga Maria MB hanya memahami fantasi dan khayalan sebagai daya-daya roh yang semata-mata negatif, hampa, tidak masuk akal. Ilustrasi pertama tentang 'si tukang madu yang malas yang ingin mejadi kaya raya' dan ilustrasi kedua tentang 'seorang wartawan yang bermimpi menjadi presiden, lantas mengalpakan tugasnya sehingga terperangkap dead line' (hlm.175) itu sesungguhnya adalah 'lamunan kosong'. Kalau mau dikatakan 'impian', maka harus disebut 'impian kosong'; kalau mau dikatakan 'fantasi' atau 'khayalan', maka harus disebut 'fantasi semu' atau 'khayalan semu'. Kedua ilustrasi itu menjelaskan tentang arti 'lamunan' dan 'melamun'. 'Lamunan' adalah 'angan-angan yang menerawang dan bukan-bukan'; 'melamun' adalah 'termenung memikirkan sesuatu yang tidak tentu'. Kedua ilustrasi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan 'khayalan', atau 'fantasi'; apalagi 'khayalan kreatif', atau 'fantasi kreatif'. Dan apabila kita pergunakan sebutan 'imajinasi', maka kedua buah ilustrasi itu dapat disebut sebagai 'imajinasi negatif', yaitu 'imajinasi dalam pengertian 'conception or mental creation baseless one' (bayangan/gambaran atau kreasi mental [pikiran, batin, rohaniah] yang tidak beralasan atau tidak berdasar sama sekali).
Dengan demikian, lamunan kosong, atau impian kosong adalah imajinasi negatif yang diteruskan (dikembangkan) secara tidak menentu. Sedangkan ilustrasi ketiga (juga pada halaman 175) yang dikemukakan oleh Maria MB, itu adalah ilustrasi yang benar untuk penjelasan tentang 'khayalan' ('khayalan kreatif'), atau 'fantasi' ('fantasi kreatif'); dan apabila kita pergunakan sebutan 'imajinasi', maka ia disebut 'imajinasi kreatif' atau 'imajinasi positif' yang selaras dengan pandangan Harvey Cox dan Mary Harrington sebagaimana telah saya kemukakan di atas. Dan terhisab kepada 'imajinasi kreatif' atau 'imajinasi positif' ini adalah 'the artist's creative power' (daya kreatif seniman) yang ada atau dimiliki oleh seniman seperti yang telah dibuktikan sendiri oleh Maria MB melalui kehadiran novelnya yang berjudul Surat-Surat dari Dili : dan 'the faculty of the producing ideal creations consistent with reality' (kemampuan menciptakan kreasi-kreasi ideal yang selaras dengan kenyataan) yang ada atau dimiliki oleh para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, arsitek, teknikus, bahkan ada atau dimiliki setiap insan (kecuali orang gila dan orang-orang yang mengalami cacat total).
Lebih lanjut, Maria MB mengutip Subagio Sastrowardoyo yang 'membedakan imajinasi dari fantasi, angan dari khayal', seraya mengatakan bahwa "Sastra dibangun menurut daya angan (imajinasi) yaitu daya tangkap batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar dari pengalaman dan kenyataan konkret. Anggapan ini sanggup menangkap kebenaran sampai pada esensinya". Pandangan ini sungguh rancu. Imajinasi dibedakan dari fantasi, dan angan dibedakan dari khayal tanpa disertai penjelasan sama sekali, tetapi serentak dengan itu, 'angan' diartikan sebagai 'imajinasi'; padahal 'fantasi, khayal, angan (angan-angan), impian, merupakan daya-daya roh yang terjalin-teranyam dengan kesadaran imajinatif, di mana fantasi itu sendiri pada gilirannya adalah imajinasi yang diteruskan (dikembangkan), yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari seperti yang dikatakan oleh Harvey Cox, dan/atau fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif seperti kata Roger Fretigny dan Andre Virel, sebagaimana telah saya kemukakan di atas.
Memperhatikan penjelasan di atas ini, maka menurut pertimbangan saya pandangan Rene Wellek yang mengatakan "Kesusastraan dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Jadi di sini sifat imajinasi menunjukkan dunia angan dan khayalan, sehingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah dunia angan (fiction, imagination), merupakan pandangan yang lebih benar dari pandangan Subagio Sastrowardoyo (sic!), sebagaimana kutipan Maria MB. Baca selengkapnya, dalam buku Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (Rachmat Djoko Pradopo. 1994:35). Atau, pandangan Ignas Kleden yang mengatakan, "Sastra pada taraf terakhir merupakan hasil imajinasi seorang pengarang. Maka kenyataan yang dilahirkan sastra - dalam hubungan ini - adalah suatu karya imajiner. Dia merupakan kenyataan yang diolah dalam khayal sang pengarang sendiri. Umar Junus dengan meminjam istilah Harry Levin menyebut kenyataan imajiner sebagai "a reflected reality" (realitas yang direfleksikan -pen.)" (Ignas Kleden, "Kesusastraan Tidak Harus Menjadi Cermin Keadaan Masyarakat", dalam: Tifa Budaya, do.ib. hlm.47). Catatan: 'imajiner' artinya hanya terdapat dalam angan-angan, atau khayalan, sebutan lain untuk 'fantasi'. Begitu pula pandangan Friedrich Dürrenmatt -- yang dikutip oleh Paul Budi Kleden -- Keseluruhan karya sastraku adalah usaha tanpa henti untuk bergumul dengan impian-impian yang mendatangi diriku"; dan berdasarkan kutipan ini Paul Budi Kleden lebih lanjut berkata, "Bersama Dürrenmatt, kita dapat mengatakan bahwa pada awal sastra ada impian. Sastra lahir dari rahim impian dan bernafaskan impian itu. Demikian pun akhir dari sastra adalah impian" (Surat-Surat dari Dili, 2005:12,13), adalah pandangan yang benar dan selaras dengan Harvey Cox.
Memperhatikan uraian di atas ini, saya melihat dengan sangat jelas keterbatasan pemahaman Maria MB tentang konsepsi 'imajinasi positif' dalam hal ini tentang 'the artist's creative power' (daya cipta seniman). Mengapa saya berani katakan demikian? Karena pengertian tentang imajinasi yang Maria MB kemukakan selanjutnya pada alinea terakhir halaman 175 dan halaman 176 yang dikutip dari pandangan Tedjoworo, Ignas Kleden, HB Jassin, dan Ignatius Krishna Dharma yang mengutip C Wright Mills, sebenarnya hanyalah merupakan 'pengertian imajinasi secara umum' (perhatikan arti kata imajinasi dalam The Lexicon Webster Dictionary) yang dijabarkan sesuai dengan konteks-konteks tertentu, atau sama seperti kata JC Nesfield: "Imagination or the power to realize a situation not one's own, is quite as necessary to an historian as to a novelist or even to a poet' ("Prose and Poetry", dalam Manual English Grammar and Composition, hlm.271). "Imajinasi atau daya untuk menyadari, menginsafi serta mewujudkan suatu keadaan itu bukan milik sendiri, melainkan sama diperlukan bagi seorang sejarawan seperti diperlukan juga oleh seorang novelis atau bahkan bagi seorang penyair".
Pengertian imajinasi dalam arti umum sebagaimana dijelaskan di atas ini sama sekali tidak meniadakan peranan segenap daya roh (fantasi, khayal, angan, impian, ilham, inspirasi) yang terjalin-teranyam di dalam kesadaran imajinatif. Sebab, bagi seorang penyair, Maritain berkata: "Puisi, lahir pada akar-akar kemanusiaan, di mana semua daya roh bersama-sama aktif dan giat. Syarat mutlak bagi terjadinya puisi yang baik, yaitu totalisme dan integritas, jiwa yang bulat dan utuh. Puisi bukan hanya hasil dari akal-budi maupun imajinasi, melainkan bertumbuh pada keseluruhan kemanusiaan, baik pancaindera, imajinasi, intelek, cinta, nafsu, naluri, darah dan roh." (Dick Hartoko, "Kesenian Dalam Hubungannya Dengan Peranan Kaum Muda", dalam: Tifa Penyair, do.ib. hlm.17).
Catatan akhir
Mengakhiri marginalia atas opini Maria Matildis Banda seputar 'imajinasi, fantasi, dan khayalan' , sekali lagi saya secara tulus menyatakan ketrenyuhan saya. Sebab, dalam teori sastra, ternyata Maria Matildis Banda telah menyajikan suatu kajian yang bobotnya berada jauh di bawah bobot novel Surat-Surat dari Dili, karya Maria Matildis Banda sendiri. Dengan demikian, teori sastra Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi, dan khayalan, pada gilirannya mencederai citra Maria Matildis Banda sendiri sebagai seorang dosen sastra - sekaligus mempengaruhi bobot buku "15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur", lantaran posisi Redaktur Khusus Pos Kupang, dan posisi sebagai salah satu anggota tim editor buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur yang melekat pada diri Maria Matildis Banda. Dan inilah yang membuat saya trenyuh: "Mengapa sampai harus terjadi demikian?"
AG Hadzarmawit Netti, Penulis buku Kristen dalam Sastra Indonesia dicetak/diterbitkan oleh Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia Jakarta 1977
Sumber: POS KUPANG 16 januari 2008
Sumber: POS KUPANG 16 januari 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!