Headlines News :
Home » » Perlukah 'trenyuh' itu? (Mempertimbangkan "Marginalia" G. Hadzarmawit Netti terhadap tulisan Maria Mathildis Banda)

Perlukah 'trenyuh' itu? (Mempertimbangkan "Marginalia" G. Hadzarmawit Netti terhadap tulisan Maria Mathildis Banda)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, January 21, 2008 | 10:55 AM


RABU, 16 Januari 2008, terdapat tulisan A.G. Hadzarmawit Netti (selanjutnya AG) pada kolom opini HU Pos Kupang, dengan judul: "Seputar Imajinasi, Fantasi dan Khayalan". Tulisan ini mempersoalkan permasalahan seputar imajinasi, fantasi dan khayalan, khususnya pembedaan konsep yang ditulis Maria Matildis Banda (selanjutnya MM) terhadap ketiga istilah tersebut. "Fantasi sama dengan mimpi yang tidak masuk akal, dibuat-buat, gambaran semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan", demikian antara lain tulisan MM yang dikutip oleh AG, yang bermaksud membedakannya dengan pengertian imajinasi. Tidak dikutip secara positif definisi imajinasi oleh MM. Rupanya, inti keberatan AG bukan terletak pada definisi positif imajinasi (kalau memang ada dalam keseluruhan tulisan asli MM), melainkan pada distingsi yang dibuat oleh MM. Dengan pelbagai kutipan, AG sepertinya menegaskan bahwa imajinasi, khayalan dan fantasi sama saja.

Sebenarnya tidak ada keistimewaan pada tulisan AG in se yang perlu ditanggapi. Jika pendapat AG berbeda dari pendapat MM, maka hal itu sangatlah wajar sebagai ekspresi kemerdekaan berpikir, dan sebagai gambaran mengenai dalamnya realitas. Perbedaan adalah hal yang wajar sesuai dengan prinsip dasar penemuan kebenaran, bahwa kebenaran itu tidak pernah tunggal. Ia dapat dicapai dengan berbagai jalan dan dari berbagai sudut pandang. Namun, yang menjadi hal yang luar biasa pada tulisan ini adalah upaya "marginalia" (seperti istilah AG sendiri) terhadap tulisan MM, bahkan terdapat kecenderungan kuat ke arah "marginalia" pribadi MM sendiri. "Teori sastra Maria MM tentang imajinasi, khayalan dan fantasi dengan sendirinya menciderai citra Maria Matildis Banda sendiri sebagai dosen sastera, sekaligus mempengaruhi bobot buku '15 Tahun Pos Kupang, Suara Nusa Tenggara Timur', lantaran posisi Redaktur Khusus Pos Kupang dan editor buku di atas".

Beberapa kali AG menulis bahwa ia trenyuh karena MM "tidak memiliki pengetahuan yang benar, belum tahu banyak, atau tidak tahu apa-apa" tentang imajinasi, fantasi dan khayalan. Kata-kata yang cukup pedas. Meminjam kata-kata dalam Injil: "Sabda ini keras!" Persoalannya adalah: apakah kata yang sekeras ini pantas dialamatkan pada MM? Berdasarkan "ketrenyuhan" AG di atas, penulis ingin masuk dalam diskusi, dalam semangat pencarian kebenaran dan pemahaman yang utuh, tetapi juga dengan kesadaran akan kompleksnya realitas dan kemungkinan untuk dapat salah. Untuk memahami persoalan ini secara lebih baik, maka penulis berangkat dari tulisan AG terlebih dahulu.

Ada beberapa kelemahan dalam tulisan AG. Pertama, secara sepintas tulisan AG mempunyai banyak kutipan. Bahkan terlalu banyak kutipan. Seandainya MM sebagai pihak yang mengritik, maka pasti diberinya label "sesak", seperti puisi yang terlalu banyak kata, dikatakannya sebagai "sesak". Tentu saja kelemahannya bukan karena banyaknya kutipan in se, namun karena terlalu banyaknya kutipan, pokok argumentasi tentang kesamaan antara imajinasi, khayalan dan fantasi menjadi sulit ditangkap. Selain itu, kutipan yang diambil dari sumber yang kurang meyakinkan karena berbicara tentang konteks yang lain dengan permasalahan imajinasi, fantasi dan khayalan, sehingga pokok pembahasan yang lebih utuh tentang ketiganya tampaknya tidak jelas. Apakah mungkin karena ketiganya dirasa sama, maka AG merasa tidak terlalu perlu menjelaskan secara panjang lebar tentang ketiganya?

Dijelaskan bahwa "inspirasi, fantasi, khayal, angan-angan, impian, lamunan, merupakan kegiataan daya hisap roh yang tak terpisahkan daripada kesadaran imajinatif". Terlihat ada perluasan soal. Yang dibahas adalah perbedaan antara imajinasi dan fantasi/khayal, tetapi inspirasi angan-angan dan impian dimasukkan ke dalam persoalan. Benar bahwa semuanya dapat dimasukkan ke dalam kesadaran imajinatif. Namun, kesadaran imajinatif yang dimaksud oleh Andre Viler dan Roger Fretigny jelas merupakan konsep umum tentang kemampuan manusia untuk menghadirkan sesuatu dalam gambaran mental, yang di dalamnya termasuk fantasi, khayalan, impian, dan bisa ditambahkan dengan imaji (image, bayangan nyata dari sesuatu), persepsi dan imaginasi sendiri. Jadi, imajinasi tidak sama dengan kesadaran imajinatif, melainkan merupakan bagian daripada kesadaran imajinatif yang kompleks.

Kesadaran imajinatif adalah konsep yang luas, yang bisa dibagi lagi dalam lamunan, angan-angan, imaji, imajinasi, khayalan, dll, untuk membedakan rupa-rupa pengalaman dan kecenderungan manusia berkaitan dengan kemampuannya membayangkan sesuatu. Jadi imajinasi berbeda (dalam kata dan arti) dengan khayalan, berbeda dengan imaji (gambaran konkret tentang suatu benda), dengan khayalan, dll. Bukan hanya karena mereka menjadi bagian daripada kesadaran imajinatif, lalu artinya disamakan semuanya. Padahal realitas kesadaran imajinatif sangatlah kompleks, dan untuk menggambarkan realitas yang kompleks ini terdapat berbagai kata. Jadi penyamaan berbagai term tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, terdapat kesalahan pemakaian bahasa dalam pemaparan AG, misalnya tentang imajinasi negatif. Dalam pemaparan tentang persoalan manusia, negatif dan positif mengungkapkan kualitas nilai, dalam arti baik dan buruk, atau dalam arti tertentu merusak atau membangun. Kalau kata imajinasi negatif diciptakan agar sepadan dengan "lamunan kosong", maka "lamunan kosong" ditempatkan dalam konteks "nilai" (baik atau buruk) dan lamunan kosong selalu berarti "buruk." Terdapat pergeseran aksentuasi yang halus. Mengikuti pergeseran penekanan ini dapat ditanyakan, apakah setiap bayangan dan hasrat yang tidak sesuai dengan kenyataan, buruk sifatnya? Dari aspek mana? Aspek moral, atau efektivitas kerja, psikologis, atau aspek yang mana? Padahal kita tahu bahwa ada kondisi tertentu di mana orang merasa perlu (dalam takaran tertentu) melakukan lamunan (semu) sebagai sebentuk hiburan dari tekanan hidup. Dalam arti ini secara psikologis cukup sehat dan positif, walaupun mungkin mengganggu efektivitas kerja.

Dalam konteks ini juga kutipan dari Andre Virrel lebih dapat dipahami bahwa "dengan fantasi (baik dalam arti yang semu maupun dalam arti imajinasi kreatif), hidup manusia bergerak menurut suatu ritme tertentu antara kenyataan dan harapan". Karena itu, bila khayalan semu atau fantasi semu disepadankan dengan imaginasi negatif, maka banyak kerancuan yang dapat lahir darinya. "Tidak berdasar pada kenyataan" bukan berarti "buruk dalam segala aspeknya". Lagi pula bukan soal baik buruk dalam arti nilai yang ditulis oleh MM dan perlu diperdebatkan oleh AG, melainkan soal bayangan mental yang kreatif dan yang tidak kreatif. Mengikuti alur berpikir AG, maka lebih masuk akal kalau "khayalan semu" disepadankan dengan "imaginasi yang tidak kreatif", karena bayangan mental seperti itu tidak menghasilkan apa-apa. Istilah "imajinasi kreatif" memang sudah muncul dalam tulisan AG. Namun, penambahan istilah "imajinasi positif" atau "negatif" menimbulkan kerancuan.

Namun, bila setiap kenyataan yang dialami harus diciptakan dengan banyak kata, maka sekali lagi akan timbul pemborosan kata yang tidak perlu. Sangat tidak efektif. Mengapa tidak diciptakan satu kata yang membedakan satu kenyataan dengan yang lainnya, sejauh kata itu rasional dan dapat dipahami? AG sendiri mengakui kenyataan bahwa ada "bayangan mental yang tidak beralasan dan tidak berdasar sama sekali". Kenyataan ini oleh MM dibahasakan dengan nama khayalan atau fantasi. Sedangkan "bayangan kreatif" yang berangkat dari kenyataan dinamakan MM sebagai imajinasi. Sebenarnya pemahaman ini sangatlah rasional dan dapat dimengerti. Pemahaman seperti ini bukan diciptakan oleh MM secara sewenang-wenang, tetapi berdasarkan pemahaman banyak orang, dan terdapat pada banyak literatur yang berbobot. Mengapa menyibukkan diri dengan banyak kata, apabila suatu kenyataan dapat dijelaskan dengan satu kata? Suatu kesibukan yang tidak perlu. Bayangkan saja kalau orang menggunakan kata yang panjang seperti dua buah anggota tubuh manusia untuk memegang. Padahal gambaran itu bisa disingkat dengan satu kata: "tangan!" Yang perlu dikembangkan adalah pemahaman terhadap kenyataan yang diungkapkan dalam bahasa, bukannya menjebak diri sendiri dalam labirin bahasa, sehingga mengaburkan kenyataan. Terdapat kesan bahwa AG memaksakan pengertiannya yang esensinya sama saja dengan pengertian MM.

Ketiga, berkaitan dengan persoalan sumber, sayang sekali bahwa literatur yang diambil adalah pembahasan tentang imaginasi, khayalan dan fantasi dalam sastra murni dan bukan dalam jurnalisme sastra. Dalam sastra murni atau karya seni, memang benar bahwa imajinasi, fantasi, impian, dan, dan segenap daya roh lainnya berpadu dalam satu kesatuan yang utuh. Namun, konteks pembicaraan MM adalah jurnalisme sastra. Dalam jurnalisme sastra, apa yang oleh MM dikatakan sebagai "fantasi" dan oleh AG dinamakan sebagai "fantasi semu", tidak memperoleh tempat. Bukannya berbicara tentang jurnalisme sastra, kutipan-kutipannya pada Dick Hartoko, Ignas Kleden, dan Paul Budi Kleden justeru membahas persoalan karya sastra murni seperti puisi dan seni. Apakah karena dalam jurnalisme sastra ada kata "sastra", sehingga semuanya disamakan? Padahal, terdapat perbedaan yang besar antara karya sastra yang lain seperti puisi, cerpen, dll, dengan jurnalisme sastra. Kutipan tentang impian misalnya (kutipan pada P. Paul Budi Kleden), sebenarnya berada pada konteks pembicaraan yang lain. Impian dapat diberi arti yang berbeda lagi, tergantung konteks pembicaraan. Singkatnya kutipan-kutipan yang dibuat mengaburkan inti permasalahan tentang imajinasi, fantasi dan khayal, malah dapat menambah masalah baru yang akan sangat panjang bila dibahas semuanya.

Kata-kata yang dikutip dari Dick Hartoko, misalnya, membahas tentang kesenian dan puisi. Patut dipertanyakan, apakah saat menggunakan kata fantasi, Dick Hartoko dengan sengaja membuat perbedaan antara ketiga kata di atas? Karena berbicara tentang puisi dan seni, maka Dick Hartoko lantas menggabungkan ketiga istilah tersebut dalam satu kesatuan. Puisi dan seni memang lahir dari satu kesatuan pikiran, fantasi liar, refleksi, imajinasi, dan daya-daya roh yang lainnya. Namun, dalam kaitan dengan jurnalisme sastra, tentu tidak ada tempat bagi fantasi (liar). Yang ada hanya daya imajinasi (kreatif) yang secara bersama-sama bekerja dengan intelek sehingga melahirkan karya jurnalistik yang hidup dan enak dibaca. Artinya dengan daya imajinasi, sebuah fakta dipaparkan dengan indah, sehingga dapat merupakan jurnalisme yang menghibur.

Sastra di sini berarti seni dan keindahan, dan seni dalam konteks ini berbeda dengan seni dalam konteks puisi. Dalam konteks ini, seni tidak berhubungan dengan fantasi (liar). Karena itu, kutipan-kutipan ini tidak membahas persoalan tentang perbedaan antara imaginasi, fantasi atau khayalan, tetapi membahas persoalan puisi yang berada pada konteks yang lain. Demikian pula ketika Damyan Godho berbicara tentang khayalan, maka apakah ia ingin membuat perbedaan antara ketiga istilah itu? Padahal, konsep khayalan Damyan sama dengan konsep Ibu Mathildis tentang imaginasi. Bedanya bahwa ibu Mathildis memakainya dengan sadar dan sengaja membedakan istilah tersebut dengan sadar, sedangkan Damyan mempergunakannya dalam rangka komunikasi, agar pasang surutnya perjalanan Pos Kupang dapat dikisahkan dan dimengerti.

Dengan demikian, bukan dalam ketidakmengertian istilah ini digunakan, melainkan karena kesadaran akan banyaknya kerancuan, maka MM membedakan istilah tersebut. Dalam sejarahnya, pengetahuan dapat berkembang bila orang memberikan distingsi antara satu dengan yang lainnya (idea clara et distincta). Kalau segala sesuatu disamaratakan dalam penamaan, atau harus diberi dengan nama yang panjang-panjang, maka pengetahuan akan mandeg.

Selanjutnya, baiklah dicari literatur yang meyakinkan tentang persoalan di atas. H Tedjoworo menyamakan fantasi atau khayalan dengan ilusi. Ilusi adalah ide, keyakinan dan kesan yang salah tentang sesuatu: persepsi yang keliru tentang sesuatu. Dari aspek ini, ilusi sudah merupakan satu bentuk kekeliruan, tanpa perlu penambahan kata "buruk, semu kosong, hampa, dsb". Ilusi itu dapat diciptakan, sehingga orang yang ahli dalam menciptakan ilusi disebut ilusionis. David Copperfield adalah seorang ilusionis karena dapat menciptakan kesan seolah-olah ia dapat terbang dari ujung panggung yang satu ke ujung panggung yang lain. Padahal kesan yang diciptakannya tidaklah nyata. Bila fantasi (daya yang menghasilkan sebuah khayalan) biasanya dikaitkan dengan obyek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan, maka "imajinasi adalah gambaran yang menghasilkan gambaran tentang obyek yang mungkin (dapat ada) dan logis" [H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal.23]. Jadi dalam imajinasi ada aspek logis dari suatu gambaran, walaupun gambaran tersebut belum ada dalam kenyataan. Ada kemungkinan bahwa gambaran tersebut dapat terealisasikan. Dengan demikian, bila Damyan Godho membayangkan bahwa suatu saat ada koran yang beredar luas seperti Kompas, maka dalam rangka komunikasi ide, ia dapat menggunakan kata "khayalan". Namun dalam rangka distingsi ilmiah yang ketat, maka kata ini sebenarnya harus dipahami sebagai imajinasi, karena ada unsur logis, dan ada kemungkinan terealisasi.

Dalam Filsafat Pengetahuan, imajinasi adalah proses mental yang menyertai atau bahkan mendahului pengetahuan. Sebelum orang dapat mengungkapkan konsep-konsep melalui bahasa, terlebih dahulu ada imaginasi atau proses mental yang bersama-sama dengan pikiran melahirkan bahasa. Atau dalam abstraksi intelektual, unsur-unsur imajinasi turut berperan. Imajinasi berperan juga dalam psikologi, dalam latihan-latihan spiritual (seperti meditasi dan kontemplasi), dan orang biasanya membedakannya dari khayalan. Dalam meditasi misalnya, imajinasi biasanya digunakan sebagai sarana bantu untuk membayangkan tempat tertentu dan menemukan sosok tertentu. Namun, bila imajinasi itu mulai melompat-lompat dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari satu sosok ke sosok yang lain tanpa terkendali, maka penamaan yang lazim adalah khayalan. "Anda bukan mengimajinasikan tapi mengkhayal", demikian pembimbing rohani biasanya berujar.

Jelas bahwa perbedaan imajinasi dan khayalan sebenarnya merupakan pengertian umum dan sudah lama dipakai, dengan literatur-literatur yang meyakinkan. Apa yang dipaparkan oleh Maria Mathildis Banda, sekali lagi bukanlah hal baru, walaupun sering secara rancu digunakan. Sebagai dosen sastra ia mempunyai kepentingan khusus untuk membuat distingsi dalam istilah. Distingsi ini berangkat dari pemahaman yang benar, bukan ketidaktahuan. Persoalan mengenai istilah lamunan, inspirasi, imaji, persepsi, angan-angan, dll, merupakan persoalan yang membutuhkan pembahasan yang lain lagi. Kita tempatkan persoalan dalam konteks yang benar (put the right thing on the right place), dan dalam konteks ini baiklah dibahas imajinasi, khayalan dan fantasi.

Karena itu, sungguh disayangkan argumentasi yang mengarah pada serangan terhadap pribadi (ad hominem) tanpa pemahaman yang cukup tentang pokok soal. Dengan demikian, rasa trenyuh menjadi suatu sikap sinis, dan terkesan merupakan usaha pemonopolian kebenaran. Padahal kebenaran tidak pernah tunggal. "Keyakinan yang serba pasti akan kebenaran dapat menjadi musuh kebenaran yang lebih berbahaya daripada penipuan", demikian kata Nietzsche.

Tulisan ini pada akhirnya melahirkan dua saran: pertama, agar elegansi beropini dapat dikedepankan dengan menghindari argumentum ad hominem. Sebuah pendapat berada pada taraf pengungkapan ide pribadi yang orisinil, bukannya pada taraf menentukan nilai dan kepastian kebenaran. Walaupun ada unsur-unsur kebenaran dalam sebuah pendapat, tidak berarti kita berhak menentukan kepastian kebenaran. Apalagi merasa pasti dengan kebenaran sendiri sambil me"marginalia"kan orang lain, tanpa alasan yang cukup.

Kedua, agar istilah "khayalan dan fantasi" dibedakan dari "imajinasi" dalam pemakaian resmi, karena istilah ini menggambarkan proses kerja gambaran mental yang berbeda. Ada banyak kerancuan dalam pemakaian, dan seiring dengan bertambahnya pengetahuan, kita perlu menggunakan suatu istilah dengan pemakaian yang tertentu. Bahasa Inggris sudah lebih maju dengan membedakan imagery, imagination, imagine, dll, dengan berbagai artinya, berdasarkan kesadaran mereka akan realitas yang berhubungan dengan gambaran mental yang kompleks. Distingsi dan perkembangan istilah sebenarnya merupakan salah satu tanda tanda perkembangan kita dalam bahasa, juga tanda perkembangan kita dalam kesadaran akan realitas, dan pada gilirannya merupakan sumbangan kita terhadap perkembangan pengetahuan itu sendiri. Akhirnya, perlukah "trenyuh" itu?

Silvester Ule, Penulis, mahasiswa STFK Ledalero
dan anggota KMK Ledalero
Sumber: POS KUPANG 19 Januari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger