Headlines News :
Home » » Menjadi TKI Demi Keluarga

Menjadi TKI Demi Keluarga

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, March 13, 2008 | 10:28 AM

Banyak kisah tragis dialami para TKI di luar negeri. Namun, kenyataan itu tak menyurutkan niat gadis ini menuju Singapura. “Saya tidak tega melihat ayah berjuang sendiri menghidupi kami semua,” ujar Theresia Wawin.

Masalah lilitan ekonomi selalu menjadi alasan klasik bagi sebagian gadis asal Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di luar negeri. Entah di Malaysia, Singapura, Philipina atau Brunai Darussalam. Misalnya, Nirmala Bonat. Gadis asal Desa Tuapakas, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, ini menjadi TKI di Negeri Jiran, Malaysia. Nirmala adalah buah kasih pasangan petani miskin Daniel Bonat dan Marta Toni. Tenaga kerja wanita (TKI) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Negeri Para Dato ini bernasib sial karena wajah dan badannya digosok dengan seterika panas hingga mengalami luka serius.

Pilihan merantau guna mengubah ekonomi keluarga juga dilakukan Theresia Wawin, gadis asal stasi Posiwatu, Paroki Santu Joseph Boto, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka. Theresia memutuskan menuju Singapura tahun 1998 saat ia masih berusia 15 tahun. Keputusan itu diambil karena desakan ekonomi keluarga. Anak ketiga dari enam bersaudara ini sadar karena kedua orangtuanya hanya petani. “Ekonomi keluarga tergantung dari kopra, kemiri kopi atau jambu mete. Kadang, hasilnya pun tidak mencukupi. Ubi kayu (singkong) menjadi makanan kami setiap hari. Memang membosankan tapi mau bilang apa? Hidup serba kekurangan tetapi bagi kami itu sebuah kenikmatan sebagai orang kecil,” kata Theresia Wawin kepada kontributor HIDUP belum lama ini.

Tergoda

Menurut Theresia, pada 1998 ia tergoda tawaran teman sekampung menjadi pembantu rumah tangga di Singapura. Ia tak menyia-nyiakan tawaran itu sekalipun usianya baru 15 tahun. Dalam hati dan pikirannya, ia ingin membuktikan bahwa keluarganya juga bisa makan secukupnya dalam sehari dan memiliki pakaian yang layak. Bahkan ia berniat memiliki rumah permanen yang kecil dan sederhana. Keluarganya pun ingin hidup layak tanpa bergantung kepada orang lain. Pada Agustus 1998, ia bersama seorang temannya mendatangi sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja atau agen di Maumere, kota Kabupaten Sikka di Pulau Flores. Mereka berniat mendaftarkan diri menjadi TKI di Singapura. Saat mendaftar, ia nyaris ditolak karena masih di bawah umur.

Di hadapan petugas, ia berterus terang bahwa niat keluar negeri karena ingin membantu ekonomi keluarganya di kampung. Akhirnya, pihak agen bisa memahami penjelasan gadis ini. Setelah mengikuti seleksi administrasi, Theresia dan para calon TKW lainnya menuju Malang, Jawa Timur. Di kota itu, mereka diwajibkan mengikuti berbagai latihan kerja atau on the job training. Juga mengikuti kursus bahasa Inggris dan Mandarin. Selain itu, para calon diwajibkan mengikuti praktek kerja lapangan (PKL) lainnya di Malang. “Tuhan berkehendak baik. Setelah dua minggu mengikuti training dan kursus saya dipanggil mitra agen kami di Singapura. Ada seorang majikan tertarik memakai tenaga saya. Saat mendengar kabar itu timbul rasa senang sekaligus takut. Tapi dalam hati kecil, saya harus berjuang agar keluarga saya bisa memiliki sebuah rumah permanen di Posiwatu,” cerita Theresia.

Langkah kaki berat mengantar Theresia menuju bandara untuk selanjutnya bertolak ke Singapura. Di Singapura, ia dan seorang rekannya dijemput pihak agen. Sebelum dijemput calon majikan, mereka harus mengikuti serangakain tes kesehatan. Proses pemeriksaan berjalan lancar. Kecemasan sempat menghinggapinya saat calon majikan melontarkan beberapa pertanyaan padanya. “Saya gemetar. Takut karena majikan omong pake bahasa Inggris dan Mandarin. Untung saya menguasai rasa takut sehingga pertanyaannya bisa saya jawab dengan mudah. Saya akhirnya dibawa majikan ke rumah orangtuanya,” kenang Theresia.

Kerja di kelong

Awal-awal tinggal di Singapura sangat berat. Ia memulai hari baru, dunia baru, dan kehidupan baru. Tepat pukul 05.00 pagi waktu Singapura ia sudah bangun. Belum ada perintah majikan apa yang yang harus dikerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Namun, kegiatan-kegiatan seperti menyapu halaman, ngepel lantai kemudian menyiapkan minum pagi ia kerjakan. Setelah itu, ia memberanikan diri menanyakan apa yang dikerjakan lagi. “Saya kaget dengan jawaban majikan. Ia mengabarkan, kerjaan saya bukan di rumah tangga saja, tetapi ikut membantu di kelong, tambak ikan. Apa boleh buat. Saya lakukan saja karena saya sudah memutuskan menjadi pembantu rumah tangga,” katanya.

Begitu pula saat-saat awal. Sang majikan menampakkan watak bersahabat kepada Theresia. Namun, sikap itu hanya sebentar. Kadang, ia dimaki atau dimarahi jika melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Meski demikian, semua itu disimpan dalam hati. Setelah seharian bekerja, baru pada pukul 01.20 dini hari gadis ini merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Kemudian bangun lagi pada pukul 05.00 untuk meneruskan tugas-tugasnya. “Rasanya saya mau pingsan, tapi saya terus menghibur diri. Dalam hati saya berdoa agar mereka bisa berubah. Tapi, tak ada tanda-tanda perubahan watak sang majikan. Kendati demikian, saya bisa melewati masa-masa sulit itu hingga dua tahun,” lanjut Theresia.

Pulang kampung

Pada Februari 2000, ia berkesempatan pulang kampung untuk melewati masa cuti. Ia terbang dari Singapura menuju bandara Juanda, Surabaya. Sang majikan yang menyiapkan tiket pesawat. Setiba di Surabaya, ia sempat menginap semalam sebelum akhirnya melanjutkan penerbangan ke bandara Waioti, Maumere, Flores. Ia sempat cemas dengan keamanan dirinya.

Toh, akhirnya ia tiba dengan selamat di Maumere sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan darat menuju Larantuka, di ujung timur Pulau Flores. Di Larantuka, ia memilih menginap semalam sebelum bertolak dengan perahu motor ke Lewoleba, kota kabupaten Lembata. “Sampai di Lewoleba, saya naik oto (bis kayu-pen) ke Posiwatu. Saya bahagia akhirnya bisa bertemu orangtua serta saudara dan saudari saya. Saya menghabiskan cuti selama seminggu,” katanya.

Jiwa petualangan yang masih membara mengantar Theresia Wawin merantau lagi. Pada 30 Juli 2000, ia mendaftarkan diri di sebuah agen TKI di Surabaya. Tak lama berselang, pada 26 Agustus tahun itu ia bertolak ke Singapura. Keputusan itu ia ambil setelah menerima pekerjaan sebagai pengasuh orang jompo. “Kali ini saya bersyukur karena mendapat majikan baik hati. Namanya, Ny Patrik Tan. Suaminya, Pak Patrik Tan, pensiunan polisi. Keduanya penganut Katolik yang taat. Saya merawat mereka seperti orang tua sendiri,” cerita Theresia.

Impian terwujud

Ia menceritakan, merawat orang jompo membutuhkan kesabaran. Kadang, mereka bertingkah seperti anak kecil. Selama enam tahun ia merawat Ny Patrik Tan. Pada 20 Agustus 2006, Ny Patrik meninggal dunia. Namun, Theresia merasa bahagia. Beberapa waktu sebelum menghembuskan napas terakhir, almahrumah masih meminta maaf. Ia merasa telah melakukan banyak kekeliruan terhadap gadis kampung ini. “Thank you, Theresia. Maafkan saya sudah merepotkan atau menyakiti hati kamu. Kalau saya sudah tidak ada lagi, tolong jaga Bapak (suami Ny Patrik)! Kondisi kesehatan beliau kurang bagus,” kata Theresia menirukan kata-kata almahrumah.

Setelah sang majikan meninggal, pada 6 Oktober 2006 Theresia berkesempatan pulang kampung. Kali ini ia tak pernah mengabarkan keluarganya. Apalagi, sebagian uang hasil jerih payanya sudah dikirim ke kampung melalui kantor Pos dan Giro Lewoleba. Setiba di kampung, rasa haru menyelimuti hatinya karena impian keluarga selama ini terwujud. Pasalnya, uang yang dikirim sudah digunakan untuk membangun sebuah rumah permanen. Rumah yang diidamkan selama ini. Kehidupan ekonomi keluarga pun perlahan tak terasa seberat dulu. “Saat itu saya hanya cuti sebulan lebih. Saya akhirnya kembali lagi karena masih terikat kontrak kerja. Dua atau empat tahun lagi, saya sudah bisa pulang kampung untuk menata hidup lebih lanjut. Saya lebih enjoy tinggal di kampung sambil menikmati kesederhanaan dan kedamaian khas desa,” kata Theresia bangga. (Ansel Deri)
Sumber: HIDUP, 16 Maret 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger