Headlines News :
Home » » Mbah Suko, Simbol Perlawanan Petani Desa

Mbah Suko, Simbol Perlawanan Petani Desa

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, April 10, 2008 | 12:24 PM

Suko seakan tak pernah lelah melawan. Usianya 70 tahun. Giginya sebagian sudah tanggal. Namun lengannya masih liat saat mengangkat 1 zak beras. Kakinya juga masih tegak menjejak sawah berlumpur. Bicaranya masih bersemangat, terutama saat mengisahkan perlawanannya untuk mempertahankan kemerdekaan dalam bertani.

Malam itu gerimis. Suko –yang akrab dipanggil Mbah Suko– menerima kami di rumahnya di Dusun Kenteng, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ruang tamunya penuh sesak dengan beras dan padi, juga timbangan. Baru berbincang 10 menit, seorang tamu, lelaki muda dari Yogyakarta, bertandang.

Lelaki itu, Salas (30), bermaksud membeli beras jenis menthik susu—jenis varietas lokal—yang ditanam Mbah Suko tanpa memakai pupuk kimia maupun pestisida.

”Beras ini untuk restoran di Yogyakarta dan Bali. Kami sudah langganan,” kata Salas. Beras Mbah Suko memang dikenal pulen dan dipercaya lebih menyehatkan. Sejumlah pembeli datang langsung ke rumahnya. ”Saya tak pernah kesulitan menjual beras, walaupun harganya lebih mahal hingga Rp 2.000 dibandingkan beras di pasaran,” tutur Mbah Suko.

Membangkang

Bertahun-tahun sebelumnya, Mbah Suko dicibir dan dikucilkan saat menolak program pemerintah yang memaksa petani menanam jenis varietas unggul tahan wereng (VUTW). Ini penyeragaman varietas padi yang digalakkan pemerintah untuk mendukung revolusi hijau.

Awalnya adalah tragedi gagal panen yang melanda sawah di Desa Mangunsari tahun 1985-1987. Tanaman padi dengan bibit VUTW yang ditanam petani sesuai anjuran Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) hancur karena terserang hama wereng, tikus, dan tungro. Petani yang sudah mengeluarkan banyak modal untuk membeli benih padi, pupuk kimia, dan pestisida pun terpuruk.

Mbah Suko tersadarkan, program pemerintah yang setengah dipaksakan itu telah menjerat kemerdekaan petani. Petani tidak lagi bebas memilih benihnya sendiri, juga harus membeli pupuk dan obat. Sedangkan risiko gagal panen menjadi tanggungan petani.

Seorang diri, Mbah Suko bergerilya mencari benih-benih padi lokal dan membudidayakannya di lahan seluas 0,3 hektar yang disewa. Dia tak mau memakai pupuk kimia, tetapi memilih menggunakan pupuk kandang dan kompos.

Padinya juga tak pernah disemprot dengan pestisida. Dia mengembangkan predator alami yang dibiakkan di laboratorium mini di belakang rumahnya. Untuk menambah hasil produksi, Mbah Suko memelihara ikan di sela tanaman padinya dengan sistem minatani.

Hasilnya ternyata menggembirakan. Benih padi lokal Mbah Suko tahan hama dan hasil panen pun lumayan. Harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras di pasaran. Hal yang lebih penting, Mbah Suko merasa merdeka karena tidak bergantung pada pihak luar untuk memproduksi padi.

Tindakan Mbah Suko waktu itu dinilai sebagai rongrongan terhadap pemerintah. Mbah Suko dituding menentang Repelita. Namanya masuk daftar hitam dan diawasi secara ketat oleh aparat keamanan yang disusupkan di pemerintahan desa. Kartu tanda penduduk (KTP) Mbah Suko diberi cap anggota OT (Organisasi Terlarang). Mbah Suko pun tak bisa ikut Pemilu 1977.

Intimidasi juga tak pernah sepi. Tetapi Mbah Suko menghadapinya dengan kecerdikan. Seperti ketika ia diteror PPL pada era program INSUS/SUPRA INSUS, yang menuding sawah Mbah Suko menjadi sumber hama dan penyakit sehingga harus disemprot pestisida.

Mbah Suko pun berargumen, ”Apakah berani bertanggung jawab kalau ikan-ikan saya mati?”

Bagi Mbah Suko, selain terbukti bisa menambah pendapatannya, sistem minatani juga menjadi alat pembangkangan terhadap hegemoni kekuasaan.

Mbah Suko melakukan apa saja untuk mempertahankan kedaulatannya sebagai petani. Ia berada di baris depan dalam aksi demo petani tahun 1997 di Magelang, guna mempertahankan pasokan air irigasi dari mata air Dusun Ngudal dan Semaren yang hendak diambil paksa PDAM setempat.

Saat situasi politik dan keamanan dalam negeri di puncak kegentingan dengan pecahnya tragedi Trisakti tahun 1998, Mbah Suko yang merasakan pahit-getirnya represi Orde Baru juga ikut berdemo ke Jakarta.

Tidak takut di-dor, Mbah? ”Siapa yang mau membunuh saya? Saya bukan orang partai. Saya cuma petani yang hanya ingin bertani. Saya selalu berdemo dengan sopan dan damai. Prinsip Mbah, menangkap ikan tanpa perlu membuat keruh airnya,” ujarnya.

Pemulia benih padi

Setelah kejatuhan rezim Orde Baru, upaya bertani organik dengan benih lokal yang dirintis Mbah Suko mulai dilirik petani-petani lain. Mbah Suko makin giat mengumpulkan benih-benih padi lokal.

Sedikitnya 35 jenis padi lokal yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia telah dia kumpulkan, misalnya rojo lele, ketan kuthuk, kenongo, rening, menthik wangi, menthik susu, gethok, leri, papah aren, berlian, tri pandung sari, dan si buyung.

Koleksi itu diperolehnya dengan berburu sendiri maupun kiriman petani dari daerah lain. Tidak hanya mengumpulkan benih, Mbah Suko juga membiakkan predator hama tanaman padi di belakang rumah.

Upaya Mbah Suko itu membuahkan penghargaan Kehati Award tahun 2002. Negeri ini berutang kepada seorang Mbah Suko. Karena dia, puluhan varietas lokal itu masih bercokol di bumi Nusantara ini.

Kini, Mbah Suko ibarat guru bagi petani lain. Rumahnya tak pernah sepi dari tamu, termasuk mahasiswa dan para tenaga staf dinas pertanian yang datang untuk berguru.

Para tamu, seperti tertulis di buku tamu, berasal dari berbagai kalangan dan penjuru wilayah Indonesia, mulai dari Pacitan, Sulawesi, hingga Timor Leste. Mbah Suko juga berkali-kali diundang untuk berceramah di berbagai daerah, bahkan di luar negeri.

Tetapi, di balik hiruk pikuk ”ketenarannya”, ia tetap Mbah Suko, petani penggarap dengan lahan hanya 0,3 hektar. Pria yang gigih memperjuangkan kemerdekaan petani.

Bagi Mbah Suko, rezim yang berganti belum berarti membebaskan petani. Petani belum bebas memilih dan memuliakan bibit sendiri, bahkan harga jual pun ditentukan oleh pemerintah.

Petani hanya menjadi obyek dan proyek, dari dulu hingga sekarang. Mbah Suko mencontohkan proyek penanaman padi hibrida dengan benih impor yang tengah digalakkan pemerintah.

”Dengan benih hibrida, petani akan selalu bergantung pada pihak luar,” kata dia. Perlawanan Mbah Suko belum berakhir.... (Sri Hartati Samhadi dan Ahmad Arif)
Sumber: Kompas, 10 April 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger