Headlines News :
Home » » Jeremias Pah, Pengembang Sasando

Jeremias Pah, Pengembang Sasando

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, June 18, 2008 | 12:47 PM

Kulit wajahnya tampak keriput di sana-sini. Tetapi, semangatnya untuk melestarikan, mengembangkan, dan memperkenalkan alat musik tradisional khas Nusa Tenggara Timur begitu tinggi. Ia bahkan membawa sasando, alat musik itu, sampai ke Yokohama, Jepang. Sasando, bagi Jeremias Ougust Pah, telah menjadi bagian dari hidup sehari-hari.

Ketika ditemui pada akhir Mei lalu di Belo, Kupang, Jeremias Ougust Pah (70) bercerita baru menerima 15 orang Australia di rumahnya. Mereka datang karena berminat pada alat musik sasando dan meminta Jeremias, panggilannya, memainkannya. Maka, mengalunlah nada-nada indah dari sasando yang dimainkan.

Sepuluh jari tangan Jeremias begitu lincah memetik senar sasando yang bertuliskan ”Semua yang bernapas memuji Tuhan”. Lagu pertama yang nyaris selalu disuguhkannya kepada setiap tamu adalah ...Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Bae Sonde Bae/Tanah Timor Lebe Bae....

Terkadang lagu daerah itu ia gubah, disesuaikan dengan kondisi Nusa Tenggara Timur (NTT) masa kini. Misalnya, suatu ketika lirik lagu inilah yang dimunculkan Jeremias, ... Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Meski miskin, lapar dan kering/NTT tetap Lebe Bae.....

Jeremias mempelajari sasando sejak usia lima tahun. Ia belajar memainkan sasando dari sang ayah, Ougust. Ketika itu Ougust Pah ditunjuk oleh Raja Rote untuk memainkan alat musik apa saja untuk menghibur tamu di kerajaan.

Sasando muncul pada 1800-an. Warga Rote Ndao biasa memainkannya untuk menghibur raja. Mereka yang membawakan musik terbaik mendapat penghargaan dari sang raja berupa sapi dan lahan pertanian. Sasando adalah salah satu alat musik yang paling sering diperdengarkan waktu itu meski dalam bentuk sederhana.

”Ayah mengembangkan alat musik ini sekitar tahun 1900-an. Tali senar yang tadinya hanya lima, ia kembangkan menjadi 15 tali dan mengitari seluruh batang kayu. Sekarang saya kembangkan lagi menjadi 45 sampai 57 tali. Semua jenis nada dapat dimainkan dengan sasando sehingga terdengar lebih lengkap, menyerupai sebuah grup musik,” katanya.

Setelah ayahnya meninggal pada 1972, Jeremias menggantikan peran ayahnya sebagai penerus dan pengembang sasando. Meski sasando sudah berkembang luas di Rote, bahkan sampai Kota Kupang, alat musik ini tak mengalami ”perubahan” berarti. Sasando seperti ”terpasung” dalam komunitasnya.

Keluar dari Rote

Jeremias menyadari, sasando harus diperkenalkan ke dunia luar sebagai bagian dari seni musik tradisional nusantara. Tetapi, untuk mencapai tujuan itu, ia tak bisa menetap di Rote. Tahun 1985 ia memutuskan pindah ke Kupang bersama empat putra dan istri pertamanya, Sofia Pah Bulan. Mereka menetap di Desa Belo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Di tempat ini ia mulai mengembangkan dan memperkenalkan sasando kepada kalangan luas.

Pada 1986 untuk pertama kali ia mengikuti pameran musik tradisional di Ampenan, Nusa Tenggara Barat (NTB), berkaitan dengan pengembangan pariwisata daerah tersebut. Sejak saat itu sang maestro sasando ini kerap diundang atau ditunjuk mewakili NTT untuk membawakan sasando ke berbagai tempat, bahkan sampai ke Yokohama, Jepang pada 2006. Ia pergi ke Negeri Sakura itu bersama istrinya, Dorce Pah Ndoen.

Ayah 10 anak dari tiga istri ini—istri pertama dan kedua meninggal—bercerita, dua anaknya sedang mengembangkan sasando di Kota Bogor dan Surabaya. Mereka memainkan sasando pada setiap kesempatan dan membuka ruang pamer khusus untuk alat musik itu.

Sementara itu, di rumah Jeremias, yang berukuran 12 x 20 meter, terbuat dari batang nipah dan bambu, serta berlantai semen, itu ruang tamunya sekaligus merupakan ruang pamer sasando, tiilangga (topi dari daun lontar), gong, gendang kecil dari tempurung, dan tenun ikat khas Rote Ndao.

Sebuah gubuk berukuran 6 x 10 meter persegi di samping rumah dijadikan tempat pembuatan sasando dan cendera mata sasando yang bisa dipesan konsumen. Di gubuk ini juga istrinya, Dorce Pah Ndoen, mengembangkan kerajinan tenun ikat khas Rote Ndao.

Di rumah itulah seluruh hidup Jeremias diabdikan bagi pengembangan sasando. Ia menyadari, banyak orang muda NTT mulai bosan dengan sasando yang lengkingan suaranya terbatas. Suara sasando hanya mampu didengar sampai jarak sekitar 10 meter. Selain itu, lagu-lagunya pun cenderung hanya lagu daerah khas NTT.

Regenerasi
Agar sasando tak punah ditelan masa, Jeremias mengajari anak kelimanya, Djitron Pah (23), sejak pria lulusan SLTP Kupang ini berusia 15 tahun. ”Ia lebih hebat dari saya. Biar pun saya hanya mengarahkan,” ujar Jeremias tentang Djitron yang belajar memainkan sasando secara autodidak.

Pada 1996 Jeremias bersama Djitron mengembangkan sasando elektrik. Pada bagian pangkal sasando disambungkan kabel listrik ke sound system atau pengeras suara. Maka, nada-nada yang dikeluarkan sasando pun dapat diperdengarkan sampai jarak lebih jauh dari sekadar 10 meter.

”Saat tampil, lagu tradisional NTT dan daerah lain, termasuk beberapa lagu asing seperti dari Jepang dan Belanda, bisa saya bawakan. Tetapi, untuk lagu-lagu pop, lagu daerah populer, dan cara memainkan sasando sesuai gaya modern, saya serahkan kepada anak saya,” tuturnya.

Djitron juga punya keinginan kuat melanjutkan pendidikan musik di luar NTT. Sayang, ia tak punya cukup biaya untuk itu. Penghasilan mereka dari sasando hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membiayai pendidikan anak pertama Jeremias yang sedang mendalami teologi di Surabaya.

Penghasilan mereka lebih ditopang dari penjualan sasando, topi tiilangga, dan tenun ikat khas Rote hasil kerajinan tangan Dorce Pah Ndoen. Ini pun peminatnya relatif terbatas.

Tahun 2007 Jeremias membuat sasando berukuran 12 meter, pesanan Bupati Kupang IA Medah seharga Rp 12 juta. Sasando itu dipajang pada pameran pembangunan 17 Agustus di Kota Kupang. Namun, kata Jeremias, panitia hanya memberinya uang Rp 6 juta.

”Banyak lembaga pemerintah di daerah ini yang berulang kali membohongi saya. Mungkin mereka lihat saya hanya tamat sekolah rakyat, sudah tua, dan tidak punya kemampuan menggugat. Keterampilan saya diobyekkan dan dijual untuk kepentingan mereka. Hidup saya ya tetap seperti ini,” ujarnya.

Belakangan, Telkomsel Kupang mendatangkan 21 sak semen ke rumah Jeremias sebagai bantuan untuk membangun pelataran ruang tamu agar lebih bagus. Sebab, tempat pajangan sasando ini akan menjadi salah satu sarana promosi produk Telkomsel.

Jeremias hanya bisa berharap agar keahlian dan ketrampilannya itu tak dimanipulasi untuk kepentingan sepihak. (Kornelis Kewa Ama)
Sumber: Kompas, 18 Juni 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger