Manado, Kompas - Masyarakat adat Tonsea, Minahasa Utara, minta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak memaksakan kehendak dengan memberikan izin operasional tambang emas di daerahnya. Pemaksaan kehendak sama artinya membawa virus separatisme, selanjutnya menambah konflik baru di daerah.
Ketua Masyarakat Adat Tonsea Piet Luntungan dan tokoh adat PP Keppel serta Ketua DPRD Kabupaten Minahasa Utara Sus Sualang Pangemanan dalam pernyataan bersama, Minggu (16/6) di Manado, mengatakan, izin pengelolaan emas di Minahasa Utara kepada PT Meares Soputan Mining (MSM) memunculkan pro dan kontra di masyarakat.
Ketua DPRD Minahasa Utara Sus Sualang mengatakan, benih- benih konflik mulai terlihat dalam pemilihan sejumlah kepala desa di lokasi tambang yang berakhir dengan perseteruan antarwarga. ”Kami peroleh fakta banyak calon kepala desa yang didukung oleh perusahaan tambang,” katanya.
Luntungan mengatakan, penolakan masyarakat adat karena menilai daya rusak tambang emas jauh lebih besar ketimbang nilai ekonomi yang diperoleh masyarakat lingkar tambang.
”Kami sudah kehabisan kata- kata untuk menyampaikan penolakan tambang emas ini kepada pemerintah pusat. Sewaktu seminar di Manado dihadiri oleh Simon Sembiring (Dirjen ESDM), saya telah menyampaikan langsung bahwa kebijakan ESDM telah membawa virus separatis di daerah. Sekali lagi tolong dengar suara kami,” papar Luntungan.
Ia mengatakan, pihaknya tidak gelap mata menolak investasi, tetapi meminta perlunya studi komprehensif apakah pengelolaan tambang emas oleh PT MSM dapat menjamin kehidupan berkelanjutan dalam waktu panjang bagi masyarakat Tonsea.
Menurut Luntungan, selama satu abad lebih masyarakat mendiami dan hidup tenteram sejahtera di kawasan Toka Tindung dari hasil perkebunan dan nelayan. Kehidupan itu kini terusik dengan kehadiran PT Meares Soputan Mining yang mengelola emas di daerahnya.
PT MSM direncanakan beroperasi akhir tahun 2008 selama enam tahun dengan limbah bijih emas 10 juta ton, sedangkan usia tambang hanya 6 tahun. Surat keputusan tentang kontrak karya penambangan telah ditandatangani Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Simon F Sembiring pada 11 Maret 2008.
PT MSM menilai ketiadaan amdal bukan masalah. Pasalnya, instansi pemerintah yang berhak mengeluarkan izin amdal, yaitu Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hingga kini tidak mengeluarkan satu keputusan tertulis apakah menerima atau menolak amdal. (zal)
Ketua Masyarakat Adat Tonsea Piet Luntungan dan tokoh adat PP Keppel serta Ketua DPRD Kabupaten Minahasa Utara Sus Sualang Pangemanan dalam pernyataan bersama, Minggu (16/6) di Manado, mengatakan, izin pengelolaan emas di Minahasa Utara kepada PT Meares Soputan Mining (MSM) memunculkan pro dan kontra di masyarakat.
Ketua DPRD Minahasa Utara Sus Sualang mengatakan, benih- benih konflik mulai terlihat dalam pemilihan sejumlah kepala desa di lokasi tambang yang berakhir dengan perseteruan antarwarga. ”Kami peroleh fakta banyak calon kepala desa yang didukung oleh perusahaan tambang,” katanya.
Luntungan mengatakan, penolakan masyarakat adat karena menilai daya rusak tambang emas jauh lebih besar ketimbang nilai ekonomi yang diperoleh masyarakat lingkar tambang.
”Kami sudah kehabisan kata- kata untuk menyampaikan penolakan tambang emas ini kepada pemerintah pusat. Sewaktu seminar di Manado dihadiri oleh Simon Sembiring (Dirjen ESDM), saya telah menyampaikan langsung bahwa kebijakan ESDM telah membawa virus separatis di daerah. Sekali lagi tolong dengar suara kami,” papar Luntungan.
Ia mengatakan, pihaknya tidak gelap mata menolak investasi, tetapi meminta perlunya studi komprehensif apakah pengelolaan tambang emas oleh PT MSM dapat menjamin kehidupan berkelanjutan dalam waktu panjang bagi masyarakat Tonsea.
Menurut Luntungan, selama satu abad lebih masyarakat mendiami dan hidup tenteram sejahtera di kawasan Toka Tindung dari hasil perkebunan dan nelayan. Kehidupan itu kini terusik dengan kehadiran PT Meares Soputan Mining yang mengelola emas di daerahnya.
PT MSM direncanakan beroperasi akhir tahun 2008 selama enam tahun dengan limbah bijih emas 10 juta ton, sedangkan usia tambang hanya 6 tahun. Surat keputusan tentang kontrak karya penambangan telah ditandatangani Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Simon F Sembiring pada 11 Maret 2008.
PT MSM menilai ketiadaan amdal bukan masalah. Pasalnya, instansi pemerintah yang berhak mengeluarkan izin amdal, yaitu Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hingga kini tidak mengeluarkan satu keputusan tertulis apakah menerima atau menolak amdal. (zal)
Sumber: KOMPAS, 16 Juni 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!