BERBICARA perihal otonomi daerah tak lepas dari power sharing dan profit sharing. Dua hal ini dapat dicapai dengan mengedepankan pendekatan budaya lokal. Sebab itu para pejabat daerah ramai-ramai mengubah pola pendekatan dari top down menjadi buttom up. Luar biasa! Sebuah angin perubahan yang dihembuskan dalam Undang-undang Otonomi Daerah.
Pendekatan budaya kini menjadi asas utama berbagai upaya solusi persoalan yang sedang dialami bangsa ini, khususnya menyangkut kesenjangan kelas, konflik sosial yang meluas, kekerasan kolektif dan materialisme tanpa hati nurani. Pendekatan budaya pada hakekatnya adalah pendekatan kemanusiaan.
Selama ini budaya cenderung diposisikan sebagai sekadar latar belakang dalam wacana maupun praktek kenegaraan dan kemasyarakatan. Kurang terartikulasinya budaya selama ini, sebab banyak pihak cenderung memahami budaya secara sempit sebagai benda peninggalan dan mentalitas yang hampir selalu dikaitkan dengan masa lampau. Budaya memiliki sifat kekinian dan aktif sebagai proses penataan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi.
Persoalan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi yang selama ini ditanggapi secara sektoral dan terkotak-kotak pada dasarnya dilandasi dan tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya yang melekat pada manusia. Ketidakselarasan antara perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi dengan perkembangan masyarakat dan budayanya melahirkan konflik dan kontradiksi dalam berbagai bentuk. Sebab, perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi tidak serta-merta melahirkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi orang banyak. Perkembangan itu harus berlangsung dalam keselarasan terhadap perkembangan masyarakat dan budayanya.
Pada masa pemerintahan rezim Soeharto sentralisasi kekuasaan begitu kuat, sehingga daerah tidak bisa tumbuh dan berkembang sesuai kondisi geografis dan alam budayanya sendiri. Sebab pusat selalu berpikir segala hal yang ada di daerah merupakan sesuatu yang kuno. Sistem nagari di Minangkabau-Padang, perlahan hilang, sebab menurut pemerintah pusat saat itu, sistem pemerintahan desa harusnya seperti sekarang ini. Padahal sistem nagari mempunyai nilai dan daya perekat tersendiri antarmasyarakat Minang. Budaya tani sagu dan umbi-umbian serta pengolahannya di Papua perlahan hilang sebab pemerintah pusat saat itu, mengira nilai suatu budaya dan peradaban tinggi kalau makan beras seperti masyarakat di Pulau Jawa.
Demikian pula, kala sebuah dinasti kota yakin bahwa hanya orang kota yang lebih pintar dan karena itu hanya orang kota yang menjadi pemimpin dan memerintah sebuah wilayah atau daerah, maka tidak akan ada kemungkinan orang desa berkembang dan menjadi pemimpin seperti layaknya orang kota. Sebaliknya, bila orang desa berpikir bahwa mereka bodoh dan tidak bisa menjadi pemimpin layaknya orang kota, maka untuk selamanya orang desa tetap dianggap bodoh dan dengan sendirinya orang kota yang harus memimpin dan menguasai.
Cara berpikir demikian sudah harus di tinggalkan. Kuno! Dalam alam demokrasi saat ini setiap orang dengan kemampuannya dapat meraih sebuah jabatan publik seperti bupati, gubernur, DPR sangat terbuka lebar. Cara untuk meraihnya sudah diatur dalam berbagai aturan perundangan. Jangan takut! Sekali kalah dalam pilkada tidak identik dengan sudah selesai. Justru dengan kalah, memungkinkan untuk menang di waktu mendatang. Kita sudah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang tidak santun untuk menjatuhkan atau merusak citra orang. Dalam alam demokrasi masyarakat semakin cerdas untuk menilai mana yang paling tepat dan benar. Ada etika dalam meraih kekuasaan dan ada pula etika dalam mengelola kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat.
Mengapa?
Hal ini, saya harus tulis dari kejauhan, sebab belakangan tersiar kabar tak sedap di berbagai media massa daerah di NTT, sebaran sms dan cerita dari mulut ke mulut bahwa dengan dalil pendekatan budaya lokal dalam membangun Lewotana-Lamaholot di Flotim, Bupati Simon Hayon melakukan penyesatan dan penistaan tehadap ajaran agama Katolik, dengan mengatakan Yesus lahir di Wure, Ratu Pantai Selatan adalah Bunda Maria yang berada di Nobo Gayak, dan kuburan Raja Firaun juga terdapat di Nobo Gayak.
Bila pernyataan ini sungguh keluar dari mulut seorang pejabat publik daerah searif Simon Hayon, maka kita patut menuntut pertanggungjawabannya. Bahkan memintanya mundur sesuai mekanismenya dan membawanya ke meja pengadilan. Akan tetapi, bila klaim penyesatan yang digembar-gemborkan mayoritas umat dari Paroki Weri dan Kathedral ini salah, maka adalah bijak juga secara terbuka meminta maaf lewat berbagai media massa daerah. Sebab apa yang digembar-gemborkan sudah dimuat media dan dibaca kalayak.
Sebab itu, para pihak yang mengklaim Bupati Simon melakukan penodaan-penyesatan ajaran agama sepatutnya menunjukkan bukti-bukti otentik yang bisa diverifikasi secara rasional dan bukan hanya secara emosional. Sebab bila hanya secara emosional maka para pihak ini akan dianggap sebagai orang yang tidak suka dengan kebijakan dan pendekatan Simon-Yosni. Bahkan pula dianggap sebagai orang yang tidak senang dengan kemenangan Simon-Yosni dalam pilkada langsung dua tahun silam di Flotim. Karena ketidaksukaan itu, maka berbagai upaya dilakukan untuk merusak citra Simon sebelum pilkada berikut.
Harus diingat, dalam pesta demokrasi langsung pasti ada pihak yang dianggap pemilih sebagai orang yang tepat dan ada pihak yang dianggap sebagai belum bisa terpilih pada moment itu. Sebab itu ada yang keluar sebagai yang kalah dan tentu saja ada yang menang. Dalam demokrasi, begitu selesai pemilihan dan sudah ditetapkan siapa pemenangnya maka tidak ada lagi kalah dan menang, melainkan hanyalah sebuah kebersamaan dalam membangun daerah.
Apabila Simon Hayon selaku bupati Flotim ini sungguh-sungguh mengucapkan pernyataan Yesus lahir di Wure, Bunda Maria sama dengan ratu pantai selatan dan kuburan Firaun ada di Nobo Gayak, maka Simon Hayon selaku pejabat publik daerah sepantas-pantasnya menyampaikan maaf dan mengucapkan maaf itu secara terbuka kepada masyarakat Flotim dan secara khusus kepada para penganut keyakinan yang merasa dinodai. Sebaliknya, bila Simon tidak mengucapkan semuanya itu tetapi sebuah pernyataan dalam konteks yang lain tetapi dipahami masyarakat sebagai penodaan terhadap ajaran agama pun, Simon patut menyampaikan maaf. Apa salahnya sih, menyampaikan maaf kepada rakyatmu sendiri? Bill Clinton, kala menjadi presiden negara adidaya saja berani mengucapkan maaf di depan masyarakat Amerika Serikat ketika opini publik mengarah pada penghakiman bahwa dirinya telah melakukan selingkuh dengan Monica Louwinsky. Justru dengan menyampaikan maaf, rakyat Amerika semakin mencintainya.
Hal ini saya tulis, sebab Simon-Yosni dipilih oleh masyarakat Flotim yang sangat rasional dalam suasana yang sangat demokratis saat itu. Tentu saja Simon Hayon dan masyarakat Flotim adalah orang-orang demokrat yang rasionalis. Sebab itu alam demokrasi jangan dicederai hanya karena salah ucap sebuah kata, atau salah memahami pernyataan seorang bupati di tempat umum.
Alam budaya Lamaholot pun telah mengajarkan kita budaya rasa malu dan rasa bersalah. Namun, terasa belakangan ini budaya rasa malu dan rasa bersalah sudah mulai luntur di Lewotana-Lamaholot. Jangan sampai sebuah tradisi masa lalu, dimana raja selalu benar dan menang sedangkan rakyat jelata selalu salah dan tertindas hidup kembali dalam alam demokrasi yang didukung kemajuan ilmu dan teknologi. Masyarakat Flotim khususnya dan NTT pada umumnya sudah masuk dalam alam berpikir rasional sebagaimana terlihat pada pengalaman pertama diselenggarakannya pilkada langsung. Sebaliknya jangan sampai dengan dalil demokrasi, rakyat dengan gampang saja mencaci maki pempimpinnya sendiri di depan umum.
Mengingatkan
Masyarakat Flotim pun pasti masih ingat janji-janji kampanye pasangan terpilih bupati Simon-Yosni. Janji-janji tersebut saat ini lagi gencar-gencarnya mau diraih lewat pendekatan budaya lokal-Lamaholot. Isyarat pendekatan ini tepat mengandaikan sebuah pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang budaya Lamaholot dan masyarakat Lamaholot yang empunya budaya tersebut.
Sebab, seorang anak yang dilahirkan oleh sebuah budaya tidak identik pemahamannya dengan luas dan dalamnya makna budaya itu. Sebagai misal, budaya kita mengajarkan bahwa memberi dan menerima sesuatu harus dengan tangan manis yakni tangan kanan. Dengan demikian, tangan kiri khususnya dan semua anggota gerak bagian kiri, mulai dari tangan sampai kaki tidak dominan digunakan. Hal ini secara motorik bisa menunjukkan kontrol motorik otak kanan kurang dominan. Maksud baik mengajarkan sopan santun ternyata merugikan keseimbangan motorik otak kanan dan kiri.
Bila mengacu pada cara berpikir demikian, maka Simon-Yosni perlu mempunyai staf khusus yang bertugas menggali makna budaya Lamaholot atau setidak-tidaknya Simon-Yosni punya kesediaan untuk mendengarkan tetuah, sesepuh yang mempunyai pemahaman mendalam tentang budaya Lamaholot, sembari memilah mana yang rasional dan mana yang irrasional agar tidak terjebak pada cara berpikir klenik yang irrasional. Ingat! Rakyat Flotim telah memilihmu dari rasionalitas yang mereka miliki.
Demikian juga, dalam hubungan dengan pola kekeluargaan-kekerabatan dalam membangun Lewotana terkadang begitu pintu maaf diucapkan kita lalu lupa bahwa ada hukum positif yang harus ditegakan. Negara kita adalah sebuah negara hukum dimana sejumlah aturan perundangan yang harus dipatuhi. Sama halnya, dalam setiap daerah dan budaya terdapat juga tata aturan adat-istiadat yang harus dipatuhi. Sebab itu, walau tetap melakukan pendekatan budaya dalam membangun Lewotana, tetapi jangan sampai Simon-Yosni lupa akan janji menghapus korupsi di Lewotana sendiri. Sebab sebelum Simon-Yosni terpilih, sejumlah orang dalam jajaran pemerintahan lalu diduga melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan daerah seperti pembelian kapal Andhika dan Nirmala, kasus tanah Weri dan Mokantarak, serta genset yang sampai hari ini belum ada kejelasan proses hukumnya. Ingat ! Di Lamaholot masih ada budaya malu dan budaya rasa bersalah.
Walau tetap mengedepankan budaya kebersamaan dalam membangun, tetapi ingat bahwa dalam kebersamaan itu terkadang dilupakan bahwa ada saja orang bisa membantu dan mengerjakan secara benar tetapi ada saja orang yang hanya mau mencari untung sendiri. Sebab itu, pasangan Simon-Yosni hendaknya selalu satu kata dan satu tindak dalam membangun Lewotana-Lamaholot dengan menggunakan jurus pendekatan budaya lokal, baik dibidang ekonomi, sosial-politik dan budaya, serta bidang hukum dan keamanan. Jangan sampai diadu. Bila pada waktunya harus berpisah karena masing-masing ingin menjadi orang nomor satu di Flotim, itu toh ada waktunya. Selesaikan dahulu pekerjaanmu dan penuhi dahulu janji-janjimu. Pada saatnya masyarakat Flotim akan menilai siapa yang tepat untuk Flotim lima tahun ke depan. Waktu masih panjang.
Pendekatan budaya kini menjadi asas utama berbagai upaya solusi persoalan yang sedang dialami bangsa ini, khususnya menyangkut kesenjangan kelas, konflik sosial yang meluas, kekerasan kolektif dan materialisme tanpa hati nurani. Pendekatan budaya pada hakekatnya adalah pendekatan kemanusiaan.
Selama ini budaya cenderung diposisikan sebagai sekadar latar belakang dalam wacana maupun praktek kenegaraan dan kemasyarakatan. Kurang terartikulasinya budaya selama ini, sebab banyak pihak cenderung memahami budaya secara sempit sebagai benda peninggalan dan mentalitas yang hampir selalu dikaitkan dengan masa lampau. Budaya memiliki sifat kekinian dan aktif sebagai proses penataan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi.
Persoalan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi yang selama ini ditanggapi secara sektoral dan terkotak-kotak pada dasarnya dilandasi dan tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya yang melekat pada manusia. Ketidakselarasan antara perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi dengan perkembangan masyarakat dan budayanya melahirkan konflik dan kontradiksi dalam berbagai bentuk. Sebab, perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi tidak serta-merta melahirkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi orang banyak. Perkembangan itu harus berlangsung dalam keselarasan terhadap perkembangan masyarakat dan budayanya.
Pada masa pemerintahan rezim Soeharto sentralisasi kekuasaan begitu kuat, sehingga daerah tidak bisa tumbuh dan berkembang sesuai kondisi geografis dan alam budayanya sendiri. Sebab pusat selalu berpikir segala hal yang ada di daerah merupakan sesuatu yang kuno. Sistem nagari di Minangkabau-Padang, perlahan hilang, sebab menurut pemerintah pusat saat itu, sistem pemerintahan desa harusnya seperti sekarang ini. Padahal sistem nagari mempunyai nilai dan daya perekat tersendiri antarmasyarakat Minang. Budaya tani sagu dan umbi-umbian serta pengolahannya di Papua perlahan hilang sebab pemerintah pusat saat itu, mengira nilai suatu budaya dan peradaban tinggi kalau makan beras seperti masyarakat di Pulau Jawa.
Demikian pula, kala sebuah dinasti kota yakin bahwa hanya orang kota yang lebih pintar dan karena itu hanya orang kota yang menjadi pemimpin dan memerintah sebuah wilayah atau daerah, maka tidak akan ada kemungkinan orang desa berkembang dan menjadi pemimpin seperti layaknya orang kota. Sebaliknya, bila orang desa berpikir bahwa mereka bodoh dan tidak bisa menjadi pemimpin layaknya orang kota, maka untuk selamanya orang desa tetap dianggap bodoh dan dengan sendirinya orang kota yang harus memimpin dan menguasai.
Cara berpikir demikian sudah harus di tinggalkan. Kuno! Dalam alam demokrasi saat ini setiap orang dengan kemampuannya dapat meraih sebuah jabatan publik seperti bupati, gubernur, DPR sangat terbuka lebar. Cara untuk meraihnya sudah diatur dalam berbagai aturan perundangan. Jangan takut! Sekali kalah dalam pilkada tidak identik dengan sudah selesai. Justru dengan kalah, memungkinkan untuk menang di waktu mendatang. Kita sudah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang tidak santun untuk menjatuhkan atau merusak citra orang. Dalam alam demokrasi masyarakat semakin cerdas untuk menilai mana yang paling tepat dan benar. Ada etika dalam meraih kekuasaan dan ada pula etika dalam mengelola kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat.
Mengapa?
Hal ini, saya harus tulis dari kejauhan, sebab belakangan tersiar kabar tak sedap di berbagai media massa daerah di NTT, sebaran sms dan cerita dari mulut ke mulut bahwa dengan dalil pendekatan budaya lokal dalam membangun Lewotana-Lamaholot di Flotim, Bupati Simon Hayon melakukan penyesatan dan penistaan tehadap ajaran agama Katolik, dengan mengatakan Yesus lahir di Wure, Ratu Pantai Selatan adalah Bunda Maria yang berada di Nobo Gayak, dan kuburan Raja Firaun juga terdapat di Nobo Gayak.
Bila pernyataan ini sungguh keluar dari mulut seorang pejabat publik daerah searif Simon Hayon, maka kita patut menuntut pertanggungjawabannya. Bahkan memintanya mundur sesuai mekanismenya dan membawanya ke meja pengadilan. Akan tetapi, bila klaim penyesatan yang digembar-gemborkan mayoritas umat dari Paroki Weri dan Kathedral ini salah, maka adalah bijak juga secara terbuka meminta maaf lewat berbagai media massa daerah. Sebab apa yang digembar-gemborkan sudah dimuat media dan dibaca kalayak.
Sebab itu, para pihak yang mengklaim Bupati Simon melakukan penodaan-penyesatan ajaran agama sepatutnya menunjukkan bukti-bukti otentik yang bisa diverifikasi secara rasional dan bukan hanya secara emosional. Sebab bila hanya secara emosional maka para pihak ini akan dianggap sebagai orang yang tidak suka dengan kebijakan dan pendekatan Simon-Yosni. Bahkan pula dianggap sebagai orang yang tidak senang dengan kemenangan Simon-Yosni dalam pilkada langsung dua tahun silam di Flotim. Karena ketidaksukaan itu, maka berbagai upaya dilakukan untuk merusak citra Simon sebelum pilkada berikut.
Harus diingat, dalam pesta demokrasi langsung pasti ada pihak yang dianggap pemilih sebagai orang yang tepat dan ada pihak yang dianggap sebagai belum bisa terpilih pada moment itu. Sebab itu ada yang keluar sebagai yang kalah dan tentu saja ada yang menang. Dalam demokrasi, begitu selesai pemilihan dan sudah ditetapkan siapa pemenangnya maka tidak ada lagi kalah dan menang, melainkan hanyalah sebuah kebersamaan dalam membangun daerah.
Apabila Simon Hayon selaku bupati Flotim ini sungguh-sungguh mengucapkan pernyataan Yesus lahir di Wure, Bunda Maria sama dengan ratu pantai selatan dan kuburan Firaun ada di Nobo Gayak, maka Simon Hayon selaku pejabat publik daerah sepantas-pantasnya menyampaikan maaf dan mengucapkan maaf itu secara terbuka kepada masyarakat Flotim dan secara khusus kepada para penganut keyakinan yang merasa dinodai. Sebaliknya, bila Simon tidak mengucapkan semuanya itu tetapi sebuah pernyataan dalam konteks yang lain tetapi dipahami masyarakat sebagai penodaan terhadap ajaran agama pun, Simon patut menyampaikan maaf. Apa salahnya sih, menyampaikan maaf kepada rakyatmu sendiri? Bill Clinton, kala menjadi presiden negara adidaya saja berani mengucapkan maaf di depan masyarakat Amerika Serikat ketika opini publik mengarah pada penghakiman bahwa dirinya telah melakukan selingkuh dengan Monica Louwinsky. Justru dengan menyampaikan maaf, rakyat Amerika semakin mencintainya.
Hal ini saya tulis, sebab Simon-Yosni dipilih oleh masyarakat Flotim yang sangat rasional dalam suasana yang sangat demokratis saat itu. Tentu saja Simon Hayon dan masyarakat Flotim adalah orang-orang demokrat yang rasionalis. Sebab itu alam demokrasi jangan dicederai hanya karena salah ucap sebuah kata, atau salah memahami pernyataan seorang bupati di tempat umum.
Alam budaya Lamaholot pun telah mengajarkan kita budaya rasa malu dan rasa bersalah. Namun, terasa belakangan ini budaya rasa malu dan rasa bersalah sudah mulai luntur di Lewotana-Lamaholot. Jangan sampai sebuah tradisi masa lalu, dimana raja selalu benar dan menang sedangkan rakyat jelata selalu salah dan tertindas hidup kembali dalam alam demokrasi yang didukung kemajuan ilmu dan teknologi. Masyarakat Flotim khususnya dan NTT pada umumnya sudah masuk dalam alam berpikir rasional sebagaimana terlihat pada pengalaman pertama diselenggarakannya pilkada langsung. Sebaliknya jangan sampai dengan dalil demokrasi, rakyat dengan gampang saja mencaci maki pempimpinnya sendiri di depan umum.
Mengingatkan
Masyarakat Flotim pun pasti masih ingat janji-janji kampanye pasangan terpilih bupati Simon-Yosni. Janji-janji tersebut saat ini lagi gencar-gencarnya mau diraih lewat pendekatan budaya lokal-Lamaholot. Isyarat pendekatan ini tepat mengandaikan sebuah pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang budaya Lamaholot dan masyarakat Lamaholot yang empunya budaya tersebut.
Sebab, seorang anak yang dilahirkan oleh sebuah budaya tidak identik pemahamannya dengan luas dan dalamnya makna budaya itu. Sebagai misal, budaya kita mengajarkan bahwa memberi dan menerima sesuatu harus dengan tangan manis yakni tangan kanan. Dengan demikian, tangan kiri khususnya dan semua anggota gerak bagian kiri, mulai dari tangan sampai kaki tidak dominan digunakan. Hal ini secara motorik bisa menunjukkan kontrol motorik otak kanan kurang dominan. Maksud baik mengajarkan sopan santun ternyata merugikan keseimbangan motorik otak kanan dan kiri.
Bila mengacu pada cara berpikir demikian, maka Simon-Yosni perlu mempunyai staf khusus yang bertugas menggali makna budaya Lamaholot atau setidak-tidaknya Simon-Yosni punya kesediaan untuk mendengarkan tetuah, sesepuh yang mempunyai pemahaman mendalam tentang budaya Lamaholot, sembari memilah mana yang rasional dan mana yang irrasional agar tidak terjebak pada cara berpikir klenik yang irrasional. Ingat! Rakyat Flotim telah memilihmu dari rasionalitas yang mereka miliki.
Demikian juga, dalam hubungan dengan pola kekeluargaan-kekerabatan dalam membangun Lewotana terkadang begitu pintu maaf diucapkan kita lalu lupa bahwa ada hukum positif yang harus ditegakan. Negara kita adalah sebuah negara hukum dimana sejumlah aturan perundangan yang harus dipatuhi. Sama halnya, dalam setiap daerah dan budaya terdapat juga tata aturan adat-istiadat yang harus dipatuhi. Sebab itu, walau tetap melakukan pendekatan budaya dalam membangun Lewotana, tetapi jangan sampai Simon-Yosni lupa akan janji menghapus korupsi di Lewotana sendiri. Sebab sebelum Simon-Yosni terpilih, sejumlah orang dalam jajaran pemerintahan lalu diduga melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan daerah seperti pembelian kapal Andhika dan Nirmala, kasus tanah Weri dan Mokantarak, serta genset yang sampai hari ini belum ada kejelasan proses hukumnya. Ingat ! Di Lamaholot masih ada budaya malu dan budaya rasa bersalah.
Walau tetap mengedepankan budaya kebersamaan dalam membangun, tetapi ingat bahwa dalam kebersamaan itu terkadang dilupakan bahwa ada saja orang bisa membantu dan mengerjakan secara benar tetapi ada saja orang yang hanya mau mencari untung sendiri. Sebab itu, pasangan Simon-Yosni hendaknya selalu satu kata dan satu tindak dalam membangun Lewotana-Lamaholot dengan menggunakan jurus pendekatan budaya lokal, baik dibidang ekonomi, sosial-politik dan budaya, serta bidang hukum dan keamanan. Jangan sampai diadu. Bila pada waktunya harus berpisah karena masing-masing ingin menjadi orang nomor satu di Flotim, itu toh ada waktunya. Selesaikan dahulu pekerjaanmu dan penuhi dahulu janji-janjimu. Pada saatnya masyarakat Flotim akan menilai siapa yang tepat untuk Flotim lima tahun ke depan. Waktu masih panjang.
Y Peka Wisok
Magister Sains pada Universitas Padjadjaran,
Sekretaris Lembaga Pengembangan Humaniora
Magister Sains pada Universitas Padjadjaran,
Sekretaris Lembaga Pengembangan Humaniora
dan Staf Pengajar pada Universitas Katolik Parahyangan Bandung
Sumber: Pos Kupang, 2 Juli 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!