Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol
dan Universidad Complutense de Madrid Spanyol;
dan Universidad Complutense de Madrid Spanyol;
Bekerja di Sekolah Tunas Indonesia Tangerang
Hal itu bukan saja terkait polemik ujian nasional, tetapi juga menjawab aneka krisis sosial dan aksi anarkisme yang terjadi. Sanggupkah kita mengadakan passing over menghadirkan pendidikan yang lebih manusiawi?
Gagap realitas
Dari kacamata pragmatisme pendidikan, hadirnya teknologi dalam pendidikan dilihat sebagai kemajuan. Para gagap teknologi dianggap aneh di tengah komunitas edukatif yang oleh Debord G disebut society of knowledge.
Sekilas ya. Peserta didik dimungkinkan untuk mengetahui banyak informasi, bahkan banyak kejadian disaksikan secara live melalui televisi dan internet. Aktualisasi informasi menjadi sebuah keharusan.
Masalahnya, apakah aplikasi teknologi juga disertai pemberdayaan kemampuan siswa untuk mempertanyakan arah teknologi (know-why) atau sekadar pengguna (know-how)? Ini pertanyaan penting karena jika kita (sedikit) jujur, metode pembelajaran (terutama ujian) baru pada tataran pengguna. Tujuan pendidikan sebatas memahirkan peserta didik agar terampil mengoperasikan teknologi, tetapi gagap saat berhadapan dengan realitas yang selalu berubah-ubah.
Model pendidikan seperti ini kehilangan rasa ingin tahu, yang oleh Einstein dianggap sebagai elemen pemberi hidup pendidikan. Kepada siswa disajikan jawaban tepat seakan realitas amat sederhana. Padahal, semua tahu, yang kerap terjadi adalah serangan pertanyaan tanpa jawaban.
Pendidikan kehilangan makna saat siswa hanya dijejali aneka informasi. Pérez Gómez (1999) menyatakan, mereka diperlakukan bagai ensiklopedia hidup yang menyimpan banyak hal singkat, padat, dan (katanya) jelas serta pada saatnya (ujian) ”memuntahkannya”. Kecerdasan diukur dari ketepatan menyesuaikan pertanyaan dengan jawaban yang sudah disusun. Siswa dan masyarakat lalu menjadi penyembah forma atau teks tertulis, tetapi kelabakan saat berhadapan dengan realitas yang melampaui teks atau hiperteks.
Ruang bertanya
Kerancuan perencanaan pendidikan memiliki imbas langsung dalam kehidupan sosial dan demokrasi, demikian Puig, JMª; Martinez, M. Dalam Educación moral y democracia (1989) ditegaskan, kesalahan dalam pendidikan memiliki reperkusi atas kehidupan sosial dan demokrasi.
Dalam konteks ini, penilaian meluasnya anarkisme merupakan buah pendidikan yang ”ensiklopedis” dan tekstual. Kita mengindoktrinasi beberapa konsep pendidikan maupun ajaran agama yang hanya bisa diterima dan diterapkan tanpa membuka ruang kritis untuk mengaktualisasi teks agar lebih tepat sasar. Saat situasi realitas hadir kontradiktoris dengan seruan tekstual, kita mengamini kekerasan sebagai akselerasi perwujudan teks, hal mana kian kerap terjadi.
Ada bersama
Absurditas pendidikan ensiklopedis yang menerobos ruang sosial dan politik memaksa kita memaknai kembali pemahaman pendidikan dan demokrasi.
Pertama, pendekatan pendidikan harus beralih dari penyembahan teks kepada realitas hipertekstual. Artinya, realitas atas realitas global dan lokal yang notabene selalu berubah-ubah dan tidak tertulis menjadi titik tolak merancang pendidikan. Dari sana kita menyusun teks sebagai acuan untuk zaman kita. Disebut demikian karena betapa indah dan menariknya teks, ia punya keabsahan untuk kita yang hidup kini dan di sini. Mereka yang kemudian tidak bisa mengaplikasikannya membutuhkan hermeneutisasi untuk memahami konteks kita lalu menyusun teks untuk zamannya.
Kedua, perlunya pengutamaan nilai. Kita bersatu di bawah ketidakberdayaan menggapai harga barang. Sementara itu, hal lain ada pada tataran sekunder yang harus dikaji urgensinya.
Model pemahaman ini diambil bukan karena terpaksa, tetapi merupakan obyektivitas paling tinggi dari pembelajaran. Meminjam pilar pendidikan UNESCO, kita sedang menuju pembelajaran untuk hidup bersama (to live together) dan menjadi diri (to be) sebagai kelanjutan pembelajaran untuk mengetahui dan berbuat.
Sumber: Kompas, 3 Juli 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!