Headlines News :
Home » , » Langoday dan Aroma Korupsi

Langoday dan Aroma Korupsi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, July 31, 2009 | 12:38 PM

Oleh Ansel Deri
putra Lembata, tinggal di Jakarta

HAMPIR sebulan, media-media lokal terutama Flores Pos, Pos Kupang, dan Aktualita, santer memberitakan kasus kematian tak wajar Yoakim Laka Loi Langoday, Kepala Bidang Pengawasan, Pengelolaan, dan Pemasaran pada Dinas Perikanan Lembata, NTT (selanjutnya Langoday). Langoday diberitakan meregang nyawa di hutan bakau, dekat bandara udara Wunopito Lewoleba, Lembata pada Rabu, 20 Mei 2009. Padahal, sebelumnya pada Selasa, 18 Mei ia baru saja tiba dari Manado, Sulawesi Utara mengikuti Konferensi Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dihadiri sejumlah perwakilan negara di dunia.

Misteri kematian itu pun mulai menampakkan titik terang. Usai mengambil gaji di kantornya, pada Selasa, 18 Mei Langoday kemudian meluncur ke bank guna mengirim uang kepada anaknya di Malang, Jawa Timur. Dari bank, ia bersama Yohana (14), ponakannya, untuk menggunting rambutnya. Dari sana, Langodaya dikabarkan menuju hutan bakau dekat Wunopito. “Bapa besar bilang, bapa besar pergi di sana (hutan bakau) dulu. Kamu tunggu di sini.” Begitu tulis sebuah koran lokal di Flores mengutip kesaksian Yohana.

Kembalikah Langoday ke rumahnya? Ternyata tidak. Langoday sudah menghadap Sang Khalik. Langoday pergi untuk selama-lamanya. Keluarga meratap. Rekan sekantor tentu merasa kehilangan sahabat yang jujur. Para pejabat teras Lembata, termasuk Bupati Andreas Duli Manuk, Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri, dan DPRD Lembata tentu merasa kehilangan seorang Langoday. Pejabat yang mungkin tak pernah berpikir memperkaya keluarganya dari hasil korupsi uang rakyat. Publik Lembata pun tentu meratapi kepergian Langoday yang “dibunuh” secara keji oleh sesama saudaranya di kampung halaman, tanah Lepanbatan.

Kasus Langoday akan menambah daftar panjang kasus kematian tak wajar di Lembata yang setelah muncul lalu hilang bagai ditelan bumi. Sekadar mengingatkan. Bukan kali ini saja kasus kematian tak wajar di daerah ini terungkap ke publik. Masyarakat Lembata pun seolah tak berdaya berjuang menggapai keadilan di tanah sendiri jika merunut kasus-kasus kematian tak wajar yang terjadi sebelumnya. Salah siapa? Dosa siapa? Hanya aparat hukum yang tahu. Para pelaku tentu berada di tepian lain dan tetap tersenyum kemudian memaklumi pembunuhan sebagai satu-satunya bahasa yang mereka pahami, termasuk dalam tragedi “pembunuhan” Langoday.

Aroma korupsi

Siapapun warga Lembata berhak menduga-duga motif di balik kematian Lagoday. Ya, ini –sebagaimana disebutkan di atas– bukan kasus yang pertama kali terjadi. Salah satu motif di balik pembunuhan Langoday tak lain dari munculnya dugaan korupsi ratusan juta uang rakyat yang tengah (sudah?) dibelanjakan dalam sejumlah proyek di Lembata. Bukan tidak mungkin melibatkan orang penting atau anak pejabat sekalipun.

Sebuah dokumen yang juga meluncur ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, yang diperoroleh dan beredar terbatas di sejumlah warga Lembata Jabodetabek, bisa menguatkan dugaan masyarakat atas motif di balik kematian tak wajar Lagoday.

Pasalnya, sebelum kematian korban aktif memberikan informasi seputar beberapa kasus dugaan korupsi di Lembata. Terutama kasus kelompok fiktif penerima bantuan rumput laut yang anggarannya bersumber dari Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Juga kasus pabrik es yang diduga adanya kerugian negara dan sudah diproses namun belum menemui titik terang. Dua kasus ini diduga menimbulkan kerugian negara mencapai ratusan juta.

Secara terperinci, merujuk pada dokumen laporan yang diteruskan juga ke Mabes Polri, dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, telah terjadi kesalahan prosedur tender oleh panitia tender di mana sistem tender menggunakan penunjukan langsung (PL) yang bertentangan dengan Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Diduga panitia tender telah melakukan “persekongkolan” antara pemerintah kabupaten dan kontraktor. Hal ini juga bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999, terutama Pasal 17 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (2) butir b, dan Pasal 22.

Kedua, terjadi pembengkakan harga pada pengadaan peralatan dan mesin pabrik es yakni dari Rp. 750.435.140 menjadi Rp. 885.799.931. Dana diambil dari pagu anggaran pembuatan jetty (tambatan perahu) sebesar Rp.135.364.791, namun pembangunan jetty ditiadakan. Kebijakan ini adalah kewenangan pengguna anggaran yakni yakni Dinas Perikanan dan Kelautan Lembata yang mengajukan perubahan dimaksud. Diduga pada item pekerjaan ini terjadi penggelembungan alias mark up harga.

Ketiga, mengubah kontrak kerja pengadaan barang dan jasa pembelian barang yaitu menggunakan “amoniak” diganti dengan “freon” yang diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 130,9 juta. Keempat, mesin pabrik es merupakan hasil modifikasi yaitu merk Jerman dan merk Cina, di mana pengadaannya tidak sesuai dengan RAB. Harga dan nilai belinya belum dapat diketahui karena harus ada uji petik di pabriknya yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur.

Kelima, mesin gen set 135 KVA pengadaannya sesuai perencanaan dengan harga senilai Rp. 291.500.000, namun dalam pengadaannya membeli 100 KVA dengan harga tidak mengalami perubahan. Mengenai selisih harga dari 135 KVA ke 100 KVA belum bisa dideteksi karena harus ada uji petik lapangan ke tokoh pembelian di Surabaya. Dalam kasus ini diduga terjadi mark up harga.

Keenam, harga garam untuk kebutuhan pabrik es (garam biasa) harga per kilogram sebesar Rp. 11.700. Sementara di pasar, harga per kilogram sebesar Rp. 500–750. Dalam RAB kebutuhan garam diperlukan 1 (satu) ton seharga Rp. 11.700.000. Dari nilai harga garam dapat diduga terjadi mark up harga yang merugikan negara. Total kerugiannya mencapai Rp. 877.214.791.

Bukan itu saja. Sekadar mengingatkan. Ada dugaan korupsi APBD Lembata tahun 2004 sebesar Rp. 94,8 miliar yang kini nyaris hilang dari memori kolektif masyarakat. Kasus itu kandas diagendakan secara kelembagaan di DPRD. Anggota Komisi A, Akhmad Bumi bersama empat anggota DPRD lainnya yaitu Bernadus Sesa Manuk, Alwi Murin, Theodorus Laba Kolin, Marsiana Tince Djaro secara pribadi melaporkan kasus itu kepada Kejaksaan Negeri Lembata, Polres Lembata, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur, dan Komisi Ombudsman Nasional NTT.

Tindakan ini dilakukan menyusul laporan hasil temuan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan V Denpasar akhir Juli 2005 yang ditengarai merugikan keuangan daerah puluhan miliar. Bahkan kasus ini meluncur hingga Jakarta. Flores Corruption Watch pimpinan Petrus Bala Wukak yang melaporkan kasus itu.

Kajian yang dilakukan Wukak menyimpulkan telah terjadi dugaan penyelewengan dana sebesar Rp 94.807.349.203,00. Setelah dikaji mendalam, disimpulan bahwa ada indikasi penyimpangan APBD Tahun 2004 bernilai puluhan miliar. Harapannya, kasus dugaan duit rakyat ini bisa terkuat. Tapi kini? Entah kemana masyarakat pun tak tahu.

Polisi dan masyarakat

Masyarakat Lembata sudah tahu. Begitu pula pihak Kepolisian Resort Lembata. Bahwa kasus kematian seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Banyak kasus serupa pernah terjadi di Lembata, namun biasanya lama baru (mau) terungkap. Bahkan ada pula yang nyaris tak kedengaran penyelesaiannya. Ini juga hal lain yang juga bisa ikut mempertanyakan kinerja kepolisian dan peran masyarakat Lembata.

Dalam konteks kematian Langoday, pertanyaan reflektif apa sesungguhnya tugas polisi, bisa mengemuka. Jawabannya bisa beragam. Menurut Anton Tabah, (1991), setiap anggota polisi yang berseragam wajib melakukan tindakan kepolisian bila melihat pelanggaran hukum yang terjadi. Itulah yang dimaksud dengan kewenangan kepolisian.

Hal itu harus melekat benar pada jiwa setiap anggota polisi untuk melakukan tindakan dan kewenangannya. Kalau seorang polisi “diam” saja ketika melihat suatu pelanggaran hukum, lalu kapan masyarakat akan sadar terhadap hukum?

Lalu bagaimana peran masyarakat dalam ikut mengawasi berbagai pelanggaran hukum? Tentu ikut mengawasinya secara baik hingga proses penyelesainnya melalui tangan hukum sendiri. Namun, bercermin pada berbagai kasus kematian (pembunuhan) yang terjadi di Lembata sebelumnya, kesadaran pengawasan masyarakat –maaf– sedikit mundur (?).

Kondisi ini persis seperti apa yang digambarkan Gunar Myrdal dalam The Challenge of World Povert, (1991). Pakar hukum asal Prancis ini mengemukakan, masyarakat memiliki pemahaman dan kesadaran hukum yang lembek. Meski di setiap tempat yang berbeda, berlainan pula kadar kesadaran hukumnya.

Dalam pemahaman yang lain, Soegito (1988) menjelaskan, perilaku masyarakat pun berada pada dua kutub yang berlainan. Yaitu masyarakat yang sadar hukum dan masyarakat yang patuh terhadap hukum. Lalu apa kesamaan dan perbedaannya?

Sadar dan patuh hukum memiliki kesamaan yaitu mengerti hukum. Sedangkan bedanya, sadar hukum adalah orang-orang yang mau taat pada hukum karena kesadaran atas dorongan hati nuraninya sendiri. Sedangkan patuh hukum adalah orang-orang yang mau taat hukum kalau sudah ada rangsangan dari luar.

Lembata ke depan adalah Lembata yang menjadi dambaan masyarakat dan para pendirinya. Lembata yang menempatkan rakyat kiblat pengabdian menuju kesejahteraan lahir-batin. Bukan pula Lembata yang memiliki tiga kantor bupati di bawah kendali seorang bupati. Lembata yang bebas dari praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dan tindakan kriminal.

Karena itu, menurut Tabah, kepolisian pun memenuhi lima syarat pokok, yaitu (i), well motivated (motivasi yang melatari setiap prajurit polisi); (ii), well educated (pendidikan yang memadai); (iii), well trained (latihan yang memadai); (iv), well equiped (sarana memadai), dan (v), well paid (kesejahteraan hidup yang baik).

Tentu tak sebatas itu. Masyarakat Lembata harus mengawasi berbagai praktek KKN di daerah sebagai bagian tak terpisahkan dalam tugasnya. Kemudian melaporkan dan mengawasi hingga mendapatkan keadilan sejati. Jika tidak demikian, maka tepat apa yang dikemukakan Myrdal: masyarakat memiliki pemahaman dan kesadaran hukum yang lembek. Siapa tahu.
Sumber: Pos Kupang, 31 Juli 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

  1. Memang betul... Malang nian nasibmu Lembataku. Kasus korupsi yang tak kunjung selesai masih harus ditambah lagi dengan konspirasi yang memenangkan kontraktor tertentu yang ujung-ujungnya justru bermasalah. Coba ditelusuri Proyek penyulingan air laut di kec. Ile Ape. Dari pada cair uang muka Kontrakator pulang Jawa lebih baik uangnya buat urus kembali pipa-pipa yang sudah dari kalikasa itu e.. kah...

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger