Jeremias Jena
Dosen Filsafat di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta
Dosen Filsafat di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta
Jika sosok penenteng tas seperti terekam kamera CCTV benar pelaku bom bunuh diri di Mega Kuningan, 17 Juli lalu, kita sedang menyaksikan bagaimana para teroris dengan dingin menyambut kematiannya.
Sikap itu tampak dalam pengakuan para pelaku bom Bali II yang yakin, jiwa mereka langsung menikmati kebahagiaan surgawi.
Sukacitakah mereka menyongsong kematian? Apakah mereka telah menghayati seluruh perjalanan hidup sebagai ”mengada menuju kematian” (being towards death)?
Pertanyaan terakhir ini pernah menjadi preokupasi pemikiran Martin Heidegger (1889-1976). Menurut Heidegger, ada dua cara menghayati hidup di dunia, secara otentik dan tidak otentik. Manusia hidup di dunia (umwelt) melalui tiga cara. Manusia tidak hanya hidup dengan sesama (being-with-others), tetapi juga berdampingan dengan benda (being-alongside-things), bereksistensi pada dirinya (Selbstein).
Lenyapnya individu
Ketidakotentikan penghayatan hidup terjadi saat pertama, manusia hanyut dalam dunia benda-benda dan dikuasai sepenuhnya oleh alat yang diciptakan sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memosisikan manusia hanya sebagai obyek menjadi salah satu bukti ketidakotentikan penghayatan hidup manusia. Manusia mengalienasikan diri dalam teknik atau alat buatannya sendiri. Sementara ketidakotentikan yang lain terletak pada bagaimana manusia membiarkan diri dikuasai massa. Moda Selbstein hilang dalam massa (das Man), individu ditelan kerumunan (the They).
Bagi Heidegger, lenyapnya individu dalam kerumunan (das Man) akan menyulitkan individu membebaskan diri darinya, persis saat perangai massa yang menenangkan (tranquillizing). Massa atau kerumunan dengan seluruh kekuatan ideologisnya tidak hanya membelenggu individu, tetapi sekaligus mengalienasi dan mendekap (self-entangling). Mengalienasi diri (individu) dalam kerumunan ibarat menikmati candu yang mengakibatkan ketagihan dan ketergantungan.
Tidak mudah membebaskan diri dari perangkap kerumunan dan ideologi yang membentengi. Dibutuhkan usaha keras agar bisa sampai level menghayati keseharian sebagai kekhawatiran (angst/anxiety), setidaknya rasa resah bahwa seseorang sedang terperangkap dan teralienasi, entah dalam dunia alat atau ideologi tertentu. Perasaan resah seperti inilah yang akan mendorong individu melakukan diskursus, dengan demikian membebaskan dirinya dari perangkap dunia benda maupun ideologi tertentu.
Kematian
Kematian merupakan keresahan terbesar yang terus mengusik individu saat menghayati kehidupannya. Kematian menampakkan diri sebagai faktisitas yang ”memaksa” individu menghayati dan memaknakan hidupnya dalam diskursus serta perumusan aneka kepentingan bersama orang lain dengan memanfaatkan berbagai alat yang tersedia. Menghayati kehidupan sebagai eksistensi menuju kematian membangkitkan tanggung jawab individu guna memahami dirinya sebagai ”ada” (being) tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bersama orang lain di dunia fisik.
Pertanyaannya, apakah para teroris menghayati kematian mereka sebagai puncak keotentikan penghayatan hidup tanpa mengobyekkan atau mengorbankan orang lain? Jika tidak mau disebut kekonyolan, kematian yang dihadapi para teroris tidak lebih dari rusak atau hancurnya sebuah benda. Kematian mereka justru terjadi tanpa identitas persis saat individualitas mereka dikerangkeng ideologi radikal tertentu yang mereka anut.
Kematian mereka hayati secara nihilistik sebagai sarana untuk menghancurkan sesama maupun dunia fisik itu sendiri.
Alat membebaskan diri
Di sini epistemologi penghayatan hidup dalam pemikiran Heidegger mengingatkan kematian dihayati kaum teroris hanya sebagai alat untuk membebaskan diri dari ketidaksanggupan ”mengada bersama orang lain”. Ideologi yang mereka anut adalah candu yang memberangus nalar (diskursus atau logos), dan karena itu memutus jembatan penghubung dengan sesama.
Ketidaksanggupan membuka ruang dialog dengan sesama diganti ”nazar” untuk memperjuangkan ideologi radikal sebagai satu-satunya jalan dan kebenaran. Padahal, kebenaran yang dimaksud tidak pernah difalsifikasi persis saat ruang diskursus telah lebih dulu diberangus.
Karena itu, langkah meyakinkan dari para teroris menyambut kematian sambil menenteng tas berisi bom adalah langkah kelompok yang gagal berelasi dengan diri sendiri. Mereka tidak lebih dari sekelompok benda atau alat tanpa rasa, tanpa kekhawatiran. Kematian mereka pun ibarat membuang kerikil di lautan lepas, hilang tak berbekas. Mereka mati tanpa meninggalkan jejak individualita
Sikap itu tampak dalam pengakuan para pelaku bom Bali II yang yakin, jiwa mereka langsung menikmati kebahagiaan surgawi.
Sukacitakah mereka menyongsong kematian? Apakah mereka telah menghayati seluruh perjalanan hidup sebagai ”mengada menuju kematian” (being towards death)?
Pertanyaan terakhir ini pernah menjadi preokupasi pemikiran Martin Heidegger (1889-1976). Menurut Heidegger, ada dua cara menghayati hidup di dunia, secara otentik dan tidak otentik. Manusia hidup di dunia (umwelt) melalui tiga cara. Manusia tidak hanya hidup dengan sesama (being-with-others), tetapi juga berdampingan dengan benda (being-alongside-things), bereksistensi pada dirinya (Selbstein).
Lenyapnya individu
Ketidakotentikan penghayatan hidup terjadi saat pertama, manusia hanyut dalam dunia benda-benda dan dikuasai sepenuhnya oleh alat yang diciptakan sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memosisikan manusia hanya sebagai obyek menjadi salah satu bukti ketidakotentikan penghayatan hidup manusia. Manusia mengalienasikan diri dalam teknik atau alat buatannya sendiri. Sementara ketidakotentikan yang lain terletak pada bagaimana manusia membiarkan diri dikuasai massa. Moda Selbstein hilang dalam massa (das Man), individu ditelan kerumunan (the They).
Bagi Heidegger, lenyapnya individu dalam kerumunan (das Man) akan menyulitkan individu membebaskan diri darinya, persis saat perangai massa yang menenangkan (tranquillizing). Massa atau kerumunan dengan seluruh kekuatan ideologisnya tidak hanya membelenggu individu, tetapi sekaligus mengalienasi dan mendekap (self-entangling). Mengalienasi diri (individu) dalam kerumunan ibarat menikmati candu yang mengakibatkan ketagihan dan ketergantungan.
Tidak mudah membebaskan diri dari perangkap kerumunan dan ideologi yang membentengi. Dibutuhkan usaha keras agar bisa sampai level menghayati keseharian sebagai kekhawatiran (angst/anxiety), setidaknya rasa resah bahwa seseorang sedang terperangkap dan teralienasi, entah dalam dunia alat atau ideologi tertentu. Perasaan resah seperti inilah yang akan mendorong individu melakukan diskursus, dengan demikian membebaskan dirinya dari perangkap dunia benda maupun ideologi tertentu.
Kematian
Kematian merupakan keresahan terbesar yang terus mengusik individu saat menghayati kehidupannya. Kematian menampakkan diri sebagai faktisitas yang ”memaksa” individu menghayati dan memaknakan hidupnya dalam diskursus serta perumusan aneka kepentingan bersama orang lain dengan memanfaatkan berbagai alat yang tersedia. Menghayati kehidupan sebagai eksistensi menuju kematian membangkitkan tanggung jawab individu guna memahami dirinya sebagai ”ada” (being) tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bersama orang lain di dunia fisik.
Pertanyaannya, apakah para teroris menghayati kematian mereka sebagai puncak keotentikan penghayatan hidup tanpa mengobyekkan atau mengorbankan orang lain? Jika tidak mau disebut kekonyolan, kematian yang dihadapi para teroris tidak lebih dari rusak atau hancurnya sebuah benda. Kematian mereka justru terjadi tanpa identitas persis saat individualitas mereka dikerangkeng ideologi radikal tertentu yang mereka anut.
Kematian mereka hayati secara nihilistik sebagai sarana untuk menghancurkan sesama maupun dunia fisik itu sendiri.
Alat membebaskan diri
Di sini epistemologi penghayatan hidup dalam pemikiran Heidegger mengingatkan kematian dihayati kaum teroris hanya sebagai alat untuk membebaskan diri dari ketidaksanggupan ”mengada bersama orang lain”. Ideologi yang mereka anut adalah candu yang memberangus nalar (diskursus atau logos), dan karena itu memutus jembatan penghubung dengan sesama.
Ketidaksanggupan membuka ruang dialog dengan sesama diganti ”nazar” untuk memperjuangkan ideologi radikal sebagai satu-satunya jalan dan kebenaran. Padahal, kebenaran yang dimaksud tidak pernah difalsifikasi persis saat ruang diskursus telah lebih dulu diberangus.
Karena itu, langkah meyakinkan dari para teroris menyambut kematian sambil menenteng tas berisi bom adalah langkah kelompok yang gagal berelasi dengan diri sendiri. Mereka tidak lebih dari sekelompok benda atau alat tanpa rasa, tanpa kekhawatiran. Kematian mereka pun ibarat membuang kerikil di lautan lepas, hilang tak berbekas. Mereka mati tanpa meninggalkan jejak individualita
Sumber: KOMPAS, 30 Juli 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!