Headlines News :
Home » » SBY dan ‘Inner Peace’

SBY dan ‘Inner Peace’

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, July 27, 2009 | 1:31 PM

Oleh Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik dan Perdamaian Asia Pasifik di Universidad Complutense de Madrid; Kandidat Doktor pada Universidad Pontificia de Salamanca-Madrid-Spanyol

”I don’t think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader. Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.”
—General Ronal Fogleman, US Air Force—

Kata-kata mantan Kepala AU AS hadir begitu spontan saat saya menggarap tulisan ini. Sebuah pengakuan bahwa kepemimpinan, bukan pertama-tama pada jabatan yang tengah diemban. Malah, hal seperti itu dapat menjadi “peluang” bagi aneka sanjungan yang tak jarang menjebakkan. Sebaliknya, kepemimpinan lahir dari kedalaman batin seseorang. Ia adalah hasil pergumulan, perjuangan. Kehidupan pribadi, keluarga, riwayat persahabatan dan pendidikan yang melatarbelakangi telah menjadi bagian pembentuk model kepempimpinan seseorang.

Pemahaman seperti ini menjadi acuan, saat menilai kinerja kepemimpinan SBY. Gebrakan dalam karya, kemajuan ekonomi secara menakjubkan yang sering dijadikan ukuran ternyata bukanlah jaminan ketika aspek kepribadian sang pemimpin dilupakan. Selain itu, selama jenjang waktu ini, barangkali yang lebih ‘menonjol’ dalam dua tahun kepemipinan SBY adalah terpaan bencana alam ketimbang gebrakan program kerja yang menyolok mata menjadikan penilaian tidak ‘fair’. Untuk itu, kajian kedalaman pribadi perlu dijadikan acuan dalam membuat penialaian.

Kekecewaan

Menjamurnya kegelisahan di tengah rakyat, sadar atau tidak, merupakan kenyataan yang tidak bisa disangkali. Semakin beratnya kehidupan akibat berkuranganya lapangan pekerjaan dan kian tidak terjangkaunya kebutuhan pokok akibat kenaikan harga barang tak terkendali merupakan hal yang sangat nyata dihadapi rakyat.

Dimana-mana, rakyat, apabila dibiarkan berbicara guna mengungkapkan perasaannya, ia pasti dengan jujur akan menyatakan kekecewaan. Rakyat merasa, semenjak lengsernya Orde Baru, (yang dalam takaran mereka cukup lumayan), hingga kini belum ada prestasi yang bisa menyamai. Pergantian pimpinan mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, dan kini SBY, belum terdapat kemajuan berarti. Dan mengapa tidak, beban dan kritik itu lebih ditujukan kepada pemimpin aktual. Di pundak mereka terdapat tanggungjawab. Lebih lagi, karena SBY-JK menjadi Presiden dan Wapres berkat dukungan langsung dari rakyat Indonesia. Jelas, rakyat yang mengalami langsung apa artinya penderitaan, terkadang agak ‘polos’ mengungkapkan kekesalannya.

Terhadap SBY, tidak sedikit rakyat merasa seakan janji semasa kampanye dahulu semakin mejauh. Perubahan mendasar dengan akibat langsung terhadap kesejahteraan yang begitu ‘nyaring dan enak’ didengar waktu itu, ternyata kini telah menjadi klasik. Rakyat merasa seakan tertipu.

Bisa saja benar padangan itu benar (atau dibenarkan). Kenaikan BBM beberapa kali (meski disertai subsidi), ternyata tidak memberikan manfaat yang signifikan. Belum terdapatnya kebijakan yang sungguh-sungguh prorakyat dan mendatangkan kemajuan pada tingkat bawah menjadi alasan, tak jarang rakyat mengungkapkan kekecewaannya. Dan lebih lagi, ketika di tengah kelaparan dan kemiskinan, masih saja segelintir pemimpin masih begitu tegah mencuri uang rakyat. Sungguh kasihan.

SBY juga manusia

Apakah kekecewaan yang tengah terjadi ‘lolos’ dari perhatian SBY? Apakah kepribadian SBY yang adalah militer intelektual yang ditandai dengan kematangan berpikir menerima laporan tentang ‘kepuasan’ masyarakat terhadap kepemimpinannya? Apakah kharisma kesederhanaan, keprihatinan yang melekat dalam diri Jenderal Sarwo Edhie ayah Ani Yudhoyono tidak sedikit pun memiliki pengaruhnya dalam pribadi SBY?

Rupanya keterlaluan kalau kecemasan itu tidak hadir dalam refleksi. Paling kurang, ia tidak gembira dengan situasi yang masih belum menampakkan tanda-tanda kemajuan. Sebaliknya, dalam ranah yang paling mendasar, ia tentu saja sungguh menyatu dengan penderitaan rakyat. SBY juga manusia. Kegelisahan, kecemasan, dan penderitaan rakyat sudah pasti menjadi kegelisahannya.

Penderitaan akibat terpaan bencana alam yang nota bene tak jarang dihubung-hubungkankan dengan kepemimpinannya sebagai presiden (padahal patahan lempengan itu tidak punya kaitan sama sekali dengan siapapun), sudah pasti menjadi kecemasan tersendiri. Di sana, ia diam dan merenung, untuk selanjutnya kalau diberi kesempatan berbicara, ia memilih kata-kata yang tepat guna membahasakan perjuangan pribadi dan kerinduannya yang masih harus diwujudkan. Di sana adagium: Speech is silver, silence is golden. Talk may be beneficial, but sometimes acquiscence may be the best option to take, menjadi panduan bagi SBY.

Kegelisahan, diam dan kecermatan dalam berkata-kata, sadar atau tidak, merupakan sebuah pilihan untuk daerah ‘terberkati’ seperti Indonesia. Selain sebuah kebanggan menjadi sebuah republik dengan kekayaan natural yang luar biasa, kaya dan subur, tetapi pada saat yang sama kita adalah negeri yang juga ‘kaya’ akan pertemuan lempengan/patahan. Hanya Kalimantan saja yang sedikit lolos dari pertemuan lempengan, tetapi bahkan hal itu tidak 100% aman. Yang lainnya, menyimpan di bawahnya gesekan lempengan yang tungguh menanti ‘timing’ untuk menggoyang bumi dalam gempa dan menyemburkan air laut dalam bentuk tsunami. Untuk itu, dibutuhkan pemimpin yang (paling kurang) tidak menambah derita lagi lewat aneka tindakan memperkaya diri (yang berarti mempermiskin rakyatnya sendiri).

Sementara itu, dalam kaitan dengan tendensi spekulasi teologis murahan yang sekedar mengai-ngaitkan dosa manusia (termasuk dalam takaran teologis) sebagai alasan terjadinya bencana alam juga tidak tepat. Alam memang sudah tua dan berada pada momen yang sangat kritis untuk ‘batuk-batuk’. Gempa dan tsunami akan selalu hadir mengunjungi kita. Bagi manusia, yang semestinya dilakukan adalah bertanya, bagaimana menjadikan waktu yang masih tersisa untuk berbenah, menjadikan hidup ini lebih bermakna. Untuk itu, kepemimpinan yang sangat urgen saat ini bukan terutama pada gebrakan (yang tentu saja sangat penting) tetapi terutama pada kebermaknaan diri.

Inner Peace

Apa yang mesti dibuat dalam situasi seperti ini? Dari mana sebuah program pembangunan dapat digulir, kalau bencana alam bakal menjadi bagai ‘santapan siang dan malam?’ Tidak disadari, pertanyaan seperti ini merupakan sebuah awal dari sebuah pembaharuan. Mengapa? Karena pertanyaan seperti ini tidak bisa tidak ditanggapi dengan mengacu kepada pribadi manusia. Ia menuju kepada kedalaman batin setiap manusia dan menyapanya secara pribadi.

Keyakinan seperti ini, pada hemat penulis, merupakan paradigma berpikir yang (cukup) mempengaruhi SBY. Terhadap sebuah bangsa yang sangat besar dengan 220 juta penduduk, mustahil terdapat sebuah kemajuan berarti, dengan program apapun, ketika kepribadian manusia, inner self belum terjamah sama sekali. Lebih lagi, bagaimana memulai sebuah reformasi yang transformatif ketika bahkan ‘orang nomor satu’ di negeri ini tidak memulai dari dirinya? Hal seperti inilah yang cukup melandasi pemikiran SBY untuk menciptakan inner peace, kedamaian bati, sebagai langkah awal dalam membaharui negeri ini.

Masalahnya, apakah pembangunan inner self / inner peace cukup disadari oleh pemimpin lainnya? Masih mengguritanya KKN, politik yang masih dijadikan ‘medan’ promosi diri dan upaya memperkaya diri tak jarang memunculkan keraguan. Tetapi, bila hal ini gagal, paling kurang pernah dicoba dalam diri SBY. Sebaliknya, kharisma SBY bakal semakin kuat berpengaruh, kalau secara internal kader Demokrat memulainya. Kesederhanaan, disiplin, pengabdian bila sungguh terwujud, maka akan merupakan langkah menakjubkan.

Pada sisi lain, model kepemimpinan yang lebih mengacu kepada pembenahan pribadi seperti ini tak jarang sekedar dijadikan alasan pembenaran terhadap ketiadaan gebrakan. Bisa jadi benar. Tetapi, apalah artinya ketika semuanya ketika alam tidak bersahabat? Apa jadinya, ketika atas nama pembangunan, ribuan malah jutaan orang menjadi korban? Bukanlah lebih baik memberi waktu untuk mematangkan sebuah ide dengan bahaya seseorang bakal dinilai ragu-ragu? Dalam konteks ini, penulis sepaham kalau dalam benak SBY terdapat pemikiran bahwa selain bencana alam yang datangnya tidak bisa ditunda-tunda, yang lainnya membutuhkan dialog dalam proses pematangannya. Penundaan eksekusi Tibo Cs misalnya merupakan contoh, betapa SBY juga manusia. Ia tidak tega menambah derita, kalau ternyata ada novum yang masih memberi tempat untuk mencari kebenaran, apalagi kalau akhirnya nyawa manusia diselamatkan berkat penundaan. Di sana yang dikejar bukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, dan terutama ‘apa manfaatnya’ untuk kelangsungan jabatan, melainkan pertaruhan makna hidup dan perjuangan nilai kemanusiaan.

Model kepemimpinan seperti ini sangat dinantikan untuk konteks kita. Contoh hidup dan kesaksian para pemimpin merupakan sebuah alasan penting keterpurukan bangsa selama ini. Karena itu, sudah sepantutnya kalau jalan itu diretas kini. Atau meminjam kata-kata Dr. Livingstone saat mengutus para misionaris ke Afrika. Baginya, setiap orang harus menemukan jalan kesaksian sebelum memaksakannya kepada orang lain: "Sudahkah Anda temukan jalan yang baik menuju di mana Anda berada sekarang? Jika sudah, kami ingin mengutus orang lain menyusul Anda.

Di sini esensi yang paling mendasar dari sebuah kepepimpinan berada, di mana seseorang lembut terhadap orang lain dan keras terhadap dirinya sendiri. Berbeda dengan pribadi otoriter, gila kuasa yang ‘lembut’ dengan diri sendiri tetapi kejam bahkan sadis terhadap orang lain. Hal seperti itu hanya akan menabur kekecewaaan dan kegelisahan.
Sumber: pernah dimuat NEWS DEMOKRAT

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger