Putra Lembata, tinggal di Jakarta
HARI Selasa, 1 September 2009, jika tidak ada kendala sebanyak 25 orang anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lembata periode 2009-2014 akan dilantik. Istilah kerennya legislator atau anggota legislatif.
Mereka mulai mengemban aspirasi kurang lebih 116.000 rakyat yang tinggal di Ile Ape, Ile Ape Timur, Omesuri, Buyasuri, Lebatukan, Nubatukan, Atadei, Nagawutun, dan Wulandoni dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan kekuasaan. Rakyat mempertaruhkan aspirasi, nasib, dan masa depan daerahnya di pundak DPRD baru. Karena itu, wakil rakyat diharapkan mampu mendengar, memperjuangkan, dan menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Jika jalan raya tak pernah diaspal selama hampir 10 tahun otonomi, gagal panen, busung lapar bahkan ada anggota keluarganya terbunuh gara-gara rebutan proyek, wakil rakyat harus tahu kemudian memperjuangkan di dalam sidang-sidang soal rakyat. Wakil rakyat tak hanya peka tetapi juga harus berempati terhadap penderitaan rakyat selaku tuan atas kepercayaan yang diberikan. Sekali lagi, wajib hukumnya memikirkan kepentingan rakyat.
Tiga fungsi
Secara garis besar, DPRD memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi legislasi, yaitu kewenangan penyusunan peraturan daerah (Perda), yaitu menginisiasi lahirnya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Ranperda yang diusulkan eksekutif.
Kedua, fungsi anggaran (budgeting) yang diwujudkan dalam bentuk menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, fungsi pengawasan (controlling) yaitu kewenangan melakukan pengawasan terhadap implementasi perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
Tiga fungsi di atas mesti dijalankan dengan baik dan bertanggung jawab. Lembata sebagai daerah yang sudah 10 tahun otonom menyisakan sejumlah persoalan pelik, terutama protes masyarakat atas maraknya praktik KKN dan kasus-kasus kriminal lainnya. Kondisi semacam ini menuntut dukungan politik legislatif.
Demonstrasi masyarakat, baik di kantor bupati, DPRD maupun Kepolisian Resor Lembata tiga tahun belakangan pertanda macetnya komunikasi politik DPRD dengan rakyat. Atau demonstrasi atas dugaan korupsi dana APBD Lembata tahun 2004 yang bernilai puluhan miliaran rupiah, kebijakan sepihak Pemkab dan DPRD atas rencana tambang di Kedang dan Lebatukan, kematian tak wajar Yohakim Langodai hingga protes masyarakat atas keberadaan lokalisasi prostitusi liar tak jauh dari Lewoleba, Ibu kota Kabupaten Lembata. Semua itu merupakan dosa politik titipan yang mesti diungkap dan dibicarakan DPRD baru.
Dari perspektif perwakilan politik, muncul pertanyaan ada apa dengan sistem perwakilan politik kita sehingga masyarakat tidak lagi menyalurkan aspirasinya melalui sistem dan lebih memilih aksi jalanan? Benarkan wakil rakyat telah memainkan peran sesungguhnya?
Menurut analis politik, Boni Hargens, ada sejumlah masalah. Namun, paling kurang ada tiga yang bisa dicatat. Pertama, ada tendensi wakil rakyat memandang jabatannya sebagai sesuatu yang istimewa sehingga ia harus menjadi manusia istimewa, 'manusia setengah dewa' (istilah Iwan Fals). Konsekuensi dari cara pandang ini adalah antara wakil rakyat dan rakyat harus ada batas dan jarak.
Persis batas dan jarak inilah yang kemudian menjauhkan wakil rakyat dari berbagai kemelut yang dihadapi masyarakat sehingga fungsi perwakilan politik menjadi macet. Mereka lupa jabatan adalah pelayanan. Maka, wakil rakyat bukan manusia setengah dewa, tetapi pelayan yang harus berkorban untuk rakyat.
Kedua, para wakil rakyat sebenarnya bingung dengan tugas dan peran yang harus dijalankan. Si wakil rakyat tidak jelas mengerti apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan wakil rakyat. Kebingungan ini bisa dipicu berbagai sebab, yang paling umum adalah tidak adanya pemahaman tentang peran (role), bagaimana harus bertindak dalam situasi tertentu sehingga bisa tampil sebagai wakil rakyat yang benar-benar mencerminkan kehendak dan aspirasi konstituen.
Ketiga, lemahnya ikatan emosional antara wakil dan yang terwakil. Perubahan sistem pemilihan, dari proporsional ke proporsional-terbuka, yang diatur UU No. 12 Tahun 2003 dimaksudkan untuk menjamin kedekatan emosional antara wakil dan yang terwakil dengan asumsi rakyat mengenal wakilnya.
Kenyataannya, kedekatan emosional tak terbangun karena yang maju ke gelanggang kontestasi pemilu adalah figur-figur yang memiliki uang dan jaringan sehingga rakyat mudah dimobilisasi untuk datang ke tempat pemungutan suara meski nuraninya mungkin tidak menginginkan si calon.
Di atas semua itu, ikatan emosional sebetulnya bisa dibangun ketika sudah menjabat sebagai wakil rakyat. Dengan adanya masa reses, bisa mengunjungi konstituen sehingga kedekatan emosional bisa dibangun. Tentu dengan asumsi, kunjungan itu tidak hanya seremonial, tetapi betul-betul substansial. Inilah masalah para wakil rakyat. Tidak banyak wakil rakyat yang bisa dekat secara emosional dengan rakyat sehingga tidak aneh jika rakyat sulit mempercayai wakilnya dan si wakil sulit bertindak untuk dan atas nama rakyat.
Butuh komitmen
Pada 15 Oktober 2009, Lembata tepat berusia sepuluh tahun. Usia yang sejatinya telah mengantar tanah lebanbatan maju dengan daerah-daerah otonom lainnya di Indonesia. Tapi apa yang terlihat? Lembata jauh tertinggal, terutama pembangunan infrastrukturnya. Ruas jalan menuju kantong-kantong produksi nyaris tak pernah diperhatikan.
Peneliti Ecosoc Right, Sri Palupi, bahkan mencatat sejumlah keanehan sejak menjadi daerah otonom. Pertama, Lembata mempunyai seorang bupati dengan tiga kantor bupati. Kantor bupati pertama berada di jantung kota dan berdiri sejak 1960-an. Kini menjadi pusat pemerintahan.
Kantor bupati kedua di Lusikawak yang dibangun sejak 2000 namun kini mubazir dan menjadi 'tempat rekreasi' ternak. Padahal, pembangunannya menelan Rp 7 miliar lebih. Kemudian, kantor bupati ketiga sedang dibangun di Laranwutun, Kecamatan Ile Ape, dengan biaya tidak kurang dari Rp 7,6 miliar.
Kedua, banyak gedung dibangun dan kemudian ditelantarkan. Sebut saja rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput ternak kambing; tempat pelelangan ikan yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor kecamatan, dan lain-lain. Pemkab Lembata menghabiskan dana miliaran rupiah. Padahal, sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin.
Ketiga, banyak dinas pemerintah belum memiliki kantor. Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua. Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di Lembata belum memiliki kantor sendiri dan masih menyewa rumah warga untuk kantor.
Keempat, daerah rawan bencana dijadikan area pertambangan. Hasil eksplorasi umum oleh beberapa kuasa pertambangan menunjukkan, secara geologi Lembata termasuk daerah yang memiliki potensi bahan galian vital, seperti emas dan tembaga. Artinya, kabupaten ini memiliki potensi investasi di sektor pertambangan. Meski potensi industri pertambangan dimiliki oleh Lembata, bukan berarti bahwa industri pertambangan layak dikembangkan di pulau ini. Kelima, Pemkab dan DPRD Lembata menghalalkan segala cara untuk mempercepat proses penambangan. Upaya meloloskan proyek pertambangan ini mereka tempuh dengan berbagai cara. Padahal, gelombang penolakan masyarakat sangat deras.
Perlu dicatat, sejak otonomi dan desentralisasi, dana APBN banyak yang mengalir ke daerah-daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan bagi hasil. Jika dipelototi, kata Khudori, hanya 35 persen belanja APBN yang merupakan belanja pemerintah pusat murni. Sisanya adalah belanja pemerintah daerah serta belanja pemerintah pusat di daerah melalui dana dekonsentrasi, tugas perbantuan serta subsidi.
Sayangnya, meskipun 65 persen APBN berputar di daerah, dana tersebut tidak linier dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 18 dari 33 propinsi mengalami peningkatan jumlah warga miskin, di 15 propinsi sisanya jumlah kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan presentase penduduk miskin rentang 2006û2007 hanya 0,5, bahkan mendekati nol (Koran Tempo, 26/8 2009).
Rakyat Lembata patut bertanya, ke mana DAU, DAK, dana bagi hasil, dekonsentrasi, tugas perbantuan, dan subsidi pusat yang digelontorkan untuk daerahnya? Lembata selama hampir 10 tahun otonomi masih dibelit berbagai ketertinggalan. Wajah kelam ini membutuhkan komitmen dan tanggung jawab moral DPRD baru bersama eksekutif guna merumuskan strategi pembangunan yang pro growth, pro jobs, dan pro poor. Jika komitmen dan tanggung jawab moral itu ada dalam sanubari anggota DPRD baru maka mimpi Lembata untuk maju terwujud. Akhirnya, selamat mengemban tugas titipan rakyat demi mengubah wajah lewotana ke arah yang lebih baik dan bermartabat.
Sumber: Pos Kupang, 31 Agustus 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!