Headlines News :
Home » » Menuju Pertobatan dan Pencerahan Hidup

Menuju Pertobatan dan Pencerahan Hidup

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 10, 2009 | 5:43 PM

Oleh Antonius Prakum Keraf
“TIDAK cukup lagi bagi kita untuk menyelesaikan tugas kita saja, tetapi kita harus memastikan bahwa tugas tersebut dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya,” kata Athur Twining Hadley (1856-1930), ekonom dan pendidik. Harian Pos Kupang, 25 Juli 2009, menurunkan berita yang mencengangkan masyarakat Kabupaten Lembata terkait penangkapan Lambertus Bedi Langoday, tersangka pembunuhan Yohakim Laka Loi Langoday, kakak kandungnya sendiri!

Berita itu menjadi lebih menarik dengan paparan hasil proses penyidikan tim penyidik Direskrim Polda NTT berkerja sama dengan rohaniwan Katolik, Pastor Vande Raring SVD, dkk. Bedi menangis histeris sambil berucap: “Yesus ada di dinding-dinding. Saya bersalah, saya harus mengaku sudah!” Tulisan ini merupakan sebuah refleksi balik mengurai kasus, menoreh sebuah jalan menuju pertobatan dan pencerahan hidup!

Menyesahkan dan menyedihkan

Apakah mudah menguburkan perasaan dari sebuah tindak kriminal membunuh saudara sendiri? Ternyata tidak! Sekalipun upaya itu berwujud membangun satu pembohongan berantai ke publik mulai dari diri sendiri, keluarga atau orang dekat sendiri. Secara sosio-psikologis, orang bisa membaca kalau 'maling itu teriak maling'. Senjata pamungkas ini biasa. Tetapi kekuatannya tidak seberapa untuk pahlawan kesiangan yang tengah berjuang gigih menghilangkan jejak sendiri.

Sebenarnya si pembohong itu sadar atau tidak, masyarakat tengah menganalisis keberadaannya. Nada suaranya, 'air mukanya', gerak-geriknya menyembunyikan sebuah misteri itu nyata-nyata tidak sejati, penuh kepalsuan, 'mengada-ada saja', kata orang kampung. Hanya ada kesia-siaan, hanya ada kekosongan batin di tengah pencarian makna hidup!

Mengapa? Dari ruang batinnya sendiri ada satu kekuatan kebaikan yang tengah menekan, menuduh, mempersalahkan seluruh keberadaannya. Kekuatan itu terus-menerus mendesak, bahkan mengadili nuraninya. Itulah kebenaran, satu realitas pengalaman seseorang yang sengaja ditekan, disembunyikan ke alam bawah sadarnya.

Siapa pun tidak berkuasa menguburkan kebenaran dengan cara itu. Kerja keras menguburkan kebenaran itu sia-sia. Ia hanya akan menuai kekacauan sistem-sistem dalam jaringan tubuhnya yang berakhir pada timbulnya banyak penyakit dan penderitaan. Derita paling top akhir-akhir ini adalah 'stroke'. Mungkin itu kristalisasi dari tidak berhati-hatinya perilaku seseorang dalam keseharian hidup, termasuk perilaku membunuh. Si pembunuh kebenaran –otak atau pelakunya– 'terpenjara' oleh ketakutan ciptaannya sendiri yang menyesahkan dan menyedihkan. Akhir dari semua itu adalah khaos, kekosongan dan 'kematian'!

Tanda-tanda 'kematian' itu dilansir Pos Kupang 25 Juli 2009, dalam pengamatannya tentang kondisi terakhir dua tersangka, Bedi dan Goris. "Wajah mereka lebih kusut. Tak memperlihatkan ekspresi seperti hari-hari sebelum mereka meringkuk di kamar tahanan. Wajahnya murung, tak senyum dan seperti memendam soal sangat besar'. Di ruang tahanan itu, mereka harus berani memulai babak baru dari sebuah proses penemuan kembali jati diri yang sesungguhnya, pribadi yang merdeka, lebih berhati-hati, jujur dan bertanggung jawab!

Menoreh Sebuah Jalan

Di manakah jalan menuju penemuan jati diri itu? Pertama, siapa pun yang bersalah hendaknya menemukan jati dirinya pertama-tama melalui jalan kecil dalam dirinya sendiri! Sebuah jalan kecil menuju kebenaran. Kebenaran itu hadir dalam kapasitasnya sebagai hakim agung di sebuah ruangan pengadilan sangat rahasia dan suci, yaitu lubuk hatinya sendiri. Ia tampil dalam wajah seorang kejam, menuduh dan terus-menerus mendesak pribadi bersalah untuk memilih jalan yang kini terasa sulit dan berat; sebuah jalan salib pengakuan menuju penemuan jati diri yang orisinil, asli, merdeka, dan bertanggung jawab!

Bukankah kebenaran itu sendiri telah memperkenalkan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran dan kehidupan? Bedi Langoday, Pos Kupang 25 Juli 2009, sekurangnya telah menemukan kebenaran itu dalam ucapannya, entah sadar atau tidak: “Yesus ada di dinding-dinding. Saya bersalah. Saya harus mengaku sudah!” Kini tinggal keberanian melompat keluar dari sel ketakutan menuju keperpihakan pada sang kebenaran pemilik satu-satunya jalan sulit menuju kemerdekaan jiwa dan sukacita.

Bala, salah seorang tersangka di sel tahanan itu, menurut pengamatan Pos Kupang 26 Juli 2009, telah menemukan kembali kemerdekaan jiwa dan sukacitanya. “Bala tampak lebih segar. Ketika keluar dari ruang penyidikan, Bala melempar senyum dan tertawa lepas kepada semua pengunjung. Ada spekulasi –demikian tulis Pos Kupang– ekspresi wajah Bala yang segar karena ia berterus terang mengakui keterlibatannya.” Itulah satu contoh keberanian berpihak pada jalan sulit tetapi justru melalui jalan sulit itu si klien menemukan kemerdekaan dan sukacita yang hanya berasal dari dan terberi oleh Sang Kebenaran!

Kedua, mengikuti alur proses penyidikan dengan membuka diri! Pekerjaan penyidik adalah membersihkan klien dari lilitan lumpur egoisme kejahatan, membebaskan dia dari usaha pembelaaan diri! Di ruang penyidikan tidak ada waktu berkelit, bertopeng, atau melarikan diri dari program-program kejahatan! Tugas klien, 'menyanyilah dengan baik', mengekspresikan dengan jujur isi hatimu yang rindu akan kedamaian dalam alunan gerak dan lagu kebenaran!

Itulah kiranya harapan keluarga Bedi Langoday. “Kami keluarga serahkan Bedi sepenuhnya untuk diproses hukum. Ia telah mewariskan hal yang salah. Jika mau membersihkan kasus ini, kami semua dari dalam keluarga harus bersih terlebih dahulu. Dengan begitu akan mudah membersihkan orang lain,” tandas Karolus Langoday yang sesaat lagi mengakhiri tugasnya di DPRD Lembata (Pos Kupang 26 Juli 2009).

Menuju Pencerahan Diri

Tingkat kriminalitas di Lembata sudah sangat tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Aktualita 14 Juli 2009, memuat komentar suara pengacara dan praktisi hukum Lembata. “Sejak ada Polres, kasus pembunuhan yang tidak bisa dibongkar polisi berjumlah lima belas kasus. Artinya jika dirata-ratakan, kasus pembunuhan paling tinggi terdapat di Lembata. Tercatat sudah lima belas kasus pembunuhan tidak berhasil dibongkar polisi sehingga Lembata bisa disebut sebagai wilayah paling aman bagi para pembunuh,” ucap Gabriel Suku Kotan, SH, M.Si, pengacara asal Lembata.

Sementara, praktisi hukum Lembata, Pieter Bala Wukak, menilai kasus terakhir pembunuhan Yohakim merupakan kasus kejahatan sistematis karena diskenariokan oleh 'aktor intelektual'. Itu berarti polisi harus bekerja keras membongkar dan menemukan aktor intelektual di Lembata.

Analisis itu menunjukkan, sudah saatnya Polres Lembata berbenah diri. Di bawah payung Mabes Polri dan Polda NTT, penanganan kasus Yohakim kiranya menjadi titik balik dan jalan menuju pertobatan dan pencerahan hidup bagi seluruh masyarakat Lembata. Titik balik itu mulai nyata dengan munculnya inisiatif membangun jejaring kerja sama mengagumkan dengan berbagai pihak: polisi, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat!

Proficiat untuk Mabes Polri, Polda NTT dan Kapolres Lembata yang baru. Selamat berjuang mengemban misi kemanusiaan, membela kehidupan. Seluruh elemen masyarakat yang peduli pada misi kemanusiaan menunggu hasil akhir penyidikan pak polisi dengan harapan pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya! Itulah juga harapan seorang ekonom dan pendidik, Athur Twining Hadley di awal tulisan ini.

Peminat masalah sosial, tinggal di Larantuka
Sumber: Pos Kupang, 6 Agustus 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger