Saat ini, tingkat lulusan Perguruan Tinggi (PT) lebih kurang satu juta orang yang menganggur. Menyadari kondisi ini, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) RI Prof Dr Fasli Jalal mengemukakan, pihaknya sedang berupaya keras agar ada proses yang membuat mereka menganggur, dicari dan diperbaiki pendidikannya.
“Pada tahun 1971, Undang-Undang yang mewajibkan pendidikan tinggi harus berada di semua provinsi memungkinkan lonjakan mahasiswa itu menjadi sekitar 750 ribu orang. Saat ini, kita punya mahasiswa 4,5 juta orang. Jadi, sebenarnya loncatannya sudah cukup baik. Tapi, kalau kita bandingkan dengan negara tetangga kita, angka partisipasi anak usia pendidikan tinggi yang berada di pendidikan tinggi baru sekitar 18 persen. Bandingkan dengan Thailand yang sudah mencapai 45 persen atau Malaysia sebesar 35 persen,” ujar Fasli Jalal ketika tampil sebagai pembicara dalam acara Seminar Setengah Hari Pendidikan Berkualitas untuk Semua dengan tema CEO Care for Quality Education for Everyone dan peluncuran Buku Emas Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI) di Museum Nasional RI, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 25/6.
Seminar dan peluncuran buku HUT ke-10 YBAI yang diselenggarakan yayasn itu menghadirkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Prof Dr Ir Purnomo Yusgiantoro, MA, M.Sc yang memberikan pidato kunci bertajuk Peranan Sektor Energi dan Pertambangan dalam Membangun Perekonomian dan Peradaban di Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informasi RI Prof Dr Muhammad Nuh yang membawakan topik TV Digital Indonesia dan Jaringan Internet di Desa-desa di Seluruh Wilayah Nusantara – Tonggak Pembangunan Peradaban Baru Indonesia.
Sejumlah pembicara yang diundang tampil antara lain Duta Baca Indonesia Tantowi Yahya yang membawakan materi Mengangkat Peradaban Bangsa Indonesia Melalui Duta-duta Baca, CEO State Oil Company PT Pertamina (Persero) Ms Carren Agustiawan dengan materi Peran Pertamina dalam Mendorong Pendidikan Berkualitas di Indonesia Sejak tahun 1970, CEO Badan Usaha Pertambangan PT Aneka Tambang Tbk, Ir Alwin Syah Loebis yang membawakan materi Peran Aneka Tambang Dalam Penyediaan Akses Pendidikan Bekualitas, CEO Lufthansa System AG, Germany, Mr Wofgang FW Gohde dengan tema The Lengkong Quality Junior High School, in the Eyes of CEO Multinational Company, dan CEO Badan Usaha Perbankan, President Director Bank BII Ridha Wirakusumah dengan materi Kepedulian Bank BII Dalam Mendukung Penyediaan Akses Pendidikan Berkualitas Untuk Semua. Seminar dipandu moderator yang juga praktisi pendidikan dan Ketua Yayasan Nurani Dunia Dr Imam B Prasodjo.
Dalam pemaparan yang dipandu Ketua Umum YBAI Dr Rizal Sikumbang, Fasli menguraikan, jika dibandingkan satu negara yang over educated yaitu Korea Utara dan Korea Selatan maka Korea Selatan, 9 dari 10 anak usia pendidikan tingginya sudah duduk di pendidikan tinggi. “Mulai dari pendidikan vokasi sampai dengan pascasarjana. Tapi, menambah itu saja tidak gampang karena kalau kita menyiapkan pendidikan yang tidak kontekstual, tidak relevan, tidak betul-betul membumi di kehidupannya maka kita akan melahirkan pengangguran-pengangguran terdidik. Di tingkat lulusan Perguruan Tinggi saat ini, lebih kurang satu juta anak lulusan Perguruan Tinggi menganggur. Dan kita sedang berupaya keras agar proses yang membuat mereka menganggur itu kita cari, kita perbaiki sejak dari pendidikannya,” kata Fasli lebih lanjut.
Jumlah Siswa
Pada bagian awal, Fasli menjelaskan, saat ini jumlah siswa mulai dari sekolah dasar (SD) sampai SMA/SMK, termasuk Madrasah Ibtidayah, Tsanawiah dan Aliah, jumlahnya lebih kurang 52 juta orang. Jika ditambah dengan pendidikan anak usia dini, di mana pembentukan karakter, potensi, minat, dan kemampuan dia di dalam berbagai kecerdasan jamak, itu sudah harus dimulai sejak dari kehamilan terutama tiga tahun pertama dan kemudian dilengkapi lima tahun.
“Dalam lima tahun sebetulnya hampir sebagian potensi kecerdasan anak sudah selesai. Tinggal lagi memanfaatkan, menstimulasi, dan memperkaya jaringan antar sel otak yang jumlahnya lebih dari 10 triliun, yang dalam istilah ilmu saraf used it or losed it. Artinya, dipakai atau menghilang, mengkerut dan mati,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Fasli, sekarang kecenderungan pendidikan betul-betul mulai dari bawah. Stimulasi sedini mungkin perlu dilakukan, sehingga lebih kurang 10 triliun sel otak dengan jalan-jalan tol yang membawa informasi antarsel itu dengan kecepatan yang luar biasa, bisa dipiara dan dikembangkan. Jadi, jika ditambahkan dari 28 juta dengan 52 juta maka ada 80 juta anak Indonesia dalam proses belajar.
Artinya, belum lagi yang belum masuk ke dalam sistem pendidikan karena di SD masih mengejar lebih kurang 3–4 persen anak-anak yang belum terjangkau. Anak-anak ini kadang-kadang karena kebutuhan khusus atau tinggal di daerah-daerah terpencil atau putus sekolah sejak awal karena mereka terpaksa membantu ekonomi orangtua. Atau ketiadaan akses terhadap pendidikan.
“Sekarang di SMP kita punya masalah sekitar hampir satu juta anak-anak SMP harus kita kejar untuk bisa menyelesaikan wajib belajarnya. Kemudian di SMA dan SMK baru sekitar 65 persen dari anak usia 16 atau 18 tahun mendapatkan akses. Jadi, 1/3 dari lebih kurang 13 juta anak usia 16 atau 18 tahun masih memerlukan pendidikan. Kalau kita rujuk pada pendidikan tinggi, lebih menyedihkan. Sebetulnya pada saat kemerdekaan kita baru punya mahasiswa yang jumlahnya tidak sampai 500 orang,” katanya.
Menurut Fasli, merujuk pada pola pendidikan yang dirintis dan dikembangkan YBAI di Desa Lengkong Wetan, Kabupaten Tangerang, Banten, ada yang bisa dipelajari dan dilakukan bersama semua komponen masyarakat ke depan. Pemihakan terhadap komunitas-komunitas, apalagi komunitas yang memiliki sejarah panjang heroik seperti Lengkong Wetan, tidak bisa dilihat seperti setitik noktah dari peta Indonesia. Namun, culture of exelence, culture of heroism yang lahir di sana harus ditumbuhkan dan dikembangkan. “Pendidikan yang kita berikan sejak dini paling tidak merupakan bentuk terima kasih kita kepada anak-anak. Mudah-mudahan apa yang disumbangkan orangtua mereka terhadap perjuangan republik diteruskan oleh mereka dalam bentuk yang lebih canggih sesuai kompetisi jaman,” tandas Fasli.
Artinya, perlu keharusan bagi semua pihak untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak-anak didik terhadap akses pendidikan sedini mungkin, tetapi mereka tidak tercerabut dari lingkungannya. Mereka selalu peka terhadap kondisi masyarakat sekitarnya. Ilmu apapun yang mereka peroleh di jenjang manapun baik jalur formal maupun non formal, hendaknya bisa dimanfaatkan hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun oleh keluarga dan lingkungannya. “Inilah pembelajaran yang komprehensif, yang kadang-kadang saat ini tidak bisa kita dapatkan di sebagian besar pendidikan karena seakan-akan anak diantar ke sekolah, semua proses di sekolah terjadi. Kemudian anak diterima kembali di pintu sekolah tetapi apa yang dipelajari di sekolah belum tentu relevan dengan masalah, dinamika, dan kebutuhan di masyarakat sekitar,” katanya.
Rasa memiliki masyarakat terhadap pendidikan anak-anak mereka bukan karena dibantu oleh orang lain begitu saja tetapi karena mereka ingin berdaya. Selain itu juga karena mereka memiliki sejarah heroik dan ingin meneruskan peran besar mereka yang dimulai sejak kemerdekaan, sekarang berada dalam kondisi di mana persaingan itu makin canggih. “Jadi saya setuju sekali model ini kita piarah, kita mulai menggabungkan antara pendidikan non formal dengan formal. Kemudian SMP sebagai ujung dari Wajib Belajar Sembilan Tahun ini kita perkokoh. Life skill-nya kita perbanyak sebagaimana sudah dimulai oleh Lengkong Wetan. Ya, mudah-mudahan wirusahanya juga dikembangkan dan nantinya sebagian mereka masuk perguruan tinggi, sebagian mereka masuk vokasi. Di tingkat sekolah menengah kejuruan inilah akan lahir anak-anak yang langsung memberikan kontribusi kepada dunia usaha. Tetapi, sebagian yang pintar-pintar itu bisa kita papah sampai menempuh pendidikan pascasarjana,” katanya menambahkan.
Peran CEO
Saat tampil dalam pidato kunci, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prof Dr Purnomo Yusgiantoro mengemukakan apa sesungguhnya peran para CEO yang bergerak di sektor pertambangan dan energi, di mana perusahaan-perusahaan mereka mempunyai Program Pengembangan Masyarakat atau Community Development. “Community Development ini cukup besar dari waktu ke waktu. Tentu ini menjadi pemikiran bahwa sebagian dari Community Development, dengan persetujuan para CEO diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk kemajuan pendidikan. Insya Allah setelah pertemuan ini akan para CEO merasa terketuk, tersentuh untuk bisa bersama-sama YBAI membangun satu sistem pendidikan yang sudah dimulai di Lengkong Wetan,” ujar Purnomo.
“Ketua Dewan Pembina YBAI Prof Dr Subroto pernah mengundang saya berkunjung ke Lengkong Wetan, tetapi saya belum berkesempatan. Saya kira dengan community development atau dalam istilah BUMN itu ada dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) bisa ikut membantu pendidikan. Kalau program kemitraan itu adalah kredit yang harus dikembalikan tetapi sangat lunak. Tetapi, yang namanya Bina Lingkungan itu harus dalam artian diberikan sebagai salah satu bentuk carity, sumbangan bagi suatu kegiatan tertentu,” lanjutnya.
Menteri Purnomo juga mengapresiasi Prof Dr Subroto dan Dr Rizal Sikumbang atas kelahiran YBAI tatkala mereka menunaikan tugas-tugas pokok dalam Organisasi Pengekspor Minyak atau OPEC di Wina, Austria pada 1998. Yayasan ini, jelas Purnomo, lahir sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan putra putri Indonesia. “Upaya yang telah dilakukan pemerintah saya kira dengan meningkatkan anggaran pendidikan. Secara bertahap 20 persen anggaran pendidikan dari APBN tentunya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Melalui kesempatan ini tentu muncul pertanyaan, apa peran perusahaan-perusahaan dalam upaya meningkatkan pendidikan di Indonesia,” kata Purnomo yang juga pernah menjabat Sekjen dan Presiden OPEC di Wina, Austria.
Masalah Pokok
Sementara itu, Prof Dr Subroto mengemukakan alasan lahirnya YBAI tatkala ia dan sekretarisnya, Dr Rizal Sikumbang bertugas dalam organisasi OPEC di Wina, Austria. “Waktu itu, Pak Afrizal (Rizal Sikumbang-red) mempunyai pikiran bahwa masalah Indonesia adalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Muncul pertanyaan, bagaimana mengatasinya. Ya, cara mengatasinya adalah melalui pendidikan yang berkualitas, terutama anak-anak didik. Ini adalah ide pokoknya,” kata Prof Subroto kepada penulis.
Namun, menurut Prof Subroto, ada alasan lebih jauh di balik kelahiran yayasan nirlaba tersebut. Pertama, salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia adalah bagaimana dapat menghasilkan anak-anak cerdas, sehat, mandiri, dan berakhlak di seluruh pelosok Tanah Air. Kedua, pendidikan dan pelatihan untuk generasi penerus menjadi kunci utama. Proses pembaharuan terjadi secara cepat dan ditemui sepanjang masa. Pembentukan kepribadian dan watak harus dimulai sejak dini guna melahirkan generasi penerus yang berkualitas, mandiri, dan berakhlak.
Ketiga, budaya membaca di kalangan anak-anak dan generasi muda masih sangat memprihatinkan. Salah satu sebabnya adalah karena tidak tersedianya sarana dan prasarana yang kondusif. Untuk mendapatkan itu semua, langkah yang paling awal yaitu harus menyediakan perpustakaan di sekolah dan tempat yang mudah dikunjungi anak-anak. Keempat, melalui kebiasaan membaca buku, anak-anak dan masyarakat luas dapat mengembangkan daya nalar dan pengertian tentang kehidupan dan dunia secara luas. Kelima, anak-anak termasuk di pelosok-pelosok desa di seantero nusantara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan berkualitas.
Visi yayasan ini adalah menjadikan yayasan sebagai penggerak dan pencetak generasi penerus yang cerdas, trampil, peduli, berakhlak, mempunyai komitmen, dan tanggungjawab terhadap diri sendiri, keluarga, bangsa, dan negara. Sedangkan visinya adalah (i) menanamkan budaya membaca, menulis, menghitung, dan musik (4 M), (ii) menyediakan dan mengembangkan saransa dan prsasarana perpustakaan bagi anak-anak di seluruh pelosok Tanah Air, dan (iii) menyelamatkan anak-anak putus sekolah dan kurang gizi.
Fakta Membaca
Duta Baca Indonesia Tantowi Yahya menguraikan fakta tentang membaca di Indonesia. Tahun 1992, jelas Tantowi, International Association for Evaluation of Educational (IEA) melakukan riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV 30 negara di dunia. Kesimpulan riset itu menyebutkan bahwa Indonesia menempatkan urutan ke-29. “Masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV sebesar 85,9 persen dan mendengarkan radio sebesar 40,3 persen ketimbang membaca koran sebesar 23,5 persen,” kata Tantowi, calon legislatif (caleg) terpilih DPR RI dari Sumatera Selatan ini.
Penyebab utamanya karena orang tua yang kurang suka membaca dan enggan membelikan anaknya buku. Kebiasaan masyarakat langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca. Selain itu, kurangnya komitmen sekolah untuk memberikan tugas-tugas yang membiasakan anak untuk membaca. Juga kurang berkembangnya perpustakaan-perpustakaan di lingkungan warga atau perpustakaan keliling yang memungkinkan anak selalu mempunyai akses dan fasilitas untuk membaca.
Mengutip budayawan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, kata Tantowi, peradaban tumbuh dari kebudayaan yang dikembangkan, dimodifikasi, dan ditingkatkan. Sebaliknya, jika kebudayaan dibiarkan saja tanpa perawatan dan pengembangan, yang terjadi adalah kemunduran peradaban. Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk merawat dan mengembangkan kebudayaan. Membaca adalah jantungnya pendidikan. “Peradaban menjadi hanya akan maju dan terangkat karena berkembangnya keberaksaraan, literacy. Kebangkitan peradaban Indonesia dapat dinilai dari peningkatan jumlah judul buku yang terbit, tumbuhnya perpustakaan dan taman baca, naiknya anggaran belanja buku perkapita, dan juga maraknya diskusi atau seminar,” katanya.
Sumber: Majalah EDUCARE, edisi Agustus 2009
Ket foto: Suasana peluncuran Buku Emas YBAI dan diskusi setengah hari di Museum Nasional RI, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 25/6. Foto (2) Dirjen Dikti Depdiknas Prof Dr Fasli Jalal.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!