Headlines News :
Home » » Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat

Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, August 12, 2009 | 3:44 PM

Oleh Ignas Kleden
Pembaca Sastra

DI DALAM ilmu silat tidak ada juara nomor dua, di dalam ilmu surat tidak ada juara nomor satu,” begitu kata WS Rendra saat menerima Hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975.

Kalimat itu bagai meringkas sekaligus menujumkan apa yang dilakukannya dalam kebudayaan. Ilmu silat merujuk kepada persaingan kekuatan dan keunggulan; segala petarung lain harus disingkirkan untuk menghasilkan satu pemenang. Ilmu surat sebaliknya berhubung dengan perbedaan- perbedaan dalam pandangan tentang masyarakat dan kebudayaan. Di dalam persaingan kekuatan ada kalah- menang, tetapi di dalam perbedaan selera dan sudut pandang, dua atau tiga pendapat bisa sama-sama diterima.

Ditempatkan dalam konteks yang lebih makro, ilmu silat merujuk kepada persaingan kekuatan dalam politik, dan ilmu surat adalah metafor untuk berbagai nuansa dalam estetik. Siapa yang sempat mengikuti sajak-sajak Rendra, atau menonton pertunjukan teaternya, tak bisa mengelak kesan bahwa sebagai penyair, perhatiannya terhadap masalah kekuasaan mungkin lebih luas dari para politisi, dan keterlibatannya dalam masalah kemasyarakatan mungkin lebih intens dari para ahli ilmu sosial.

Dia menulis tentang mazmur yang dinyanyikan bunga mawar, tetapi juga amat pandai melukiskan pesan pencopet kepada pacarnya, atau perasaan seorang serdadu yang berdoa sebelum bertempur dan membunuh. Dia merekam semua pengalaman hidupnya dalam sajak: surat cinta dan lamaran nikah, doa malam dan doa pagi, cerita tentang mertua kepada ibunda, undangan kawin, pengamatan tentang Jakarta, kesan tentang Hongkong, Pyongyang, dan Moskwa, atau kota-kota lain di dunia yang sempat dikunjunginya, dan pembelaannya yang berani terhadap para pelacur kota Jakarta.

Berulang kali dia berbicara tentang kesadaran alam dan kesadaran kebudayaan. Alam tidak diciptakan manusia dan, karena itu, terhadap alam orang hanya dapat menyesuaikan diri dengan tangkas atau kikuk.

Namun, kebudayaan dan susunan masyarakat dibuat oleh manusia sendiri dan, karena itu, selalu bisa berubah dan dapat diubah. Estetik merupakan kebajikan Rendra dalam berhadapan dengan alam, yang akhirnya menjelma dalam lirik.

Tentu saja pembagian ini terlihat sebagai dikotomi, tetapi dalam praktiknya selalu berlangsung dialektik yang serba intens di antara keduanya. Sungai Ciliwung dilihatnya sebagai ”teman segala orang miskin/timbunan rindu yang terperam” (sajak ”Ciliwung yang manis”). Demikian pun di Sungai Musi ditemukannya ”air yang coklat mengalir lambat bagai mengangkat derita yang sarat” (sajak ”Sungai Musi”). Pada Rendra alam dan masyarakat, lirik dan politik saling menjadi penanda satu sama lain. Dalam ”Sajak Orang Kepanasan” yang garang, kita menemukan kuplet penutup yang sepenuhnya diangkat dari alam ”Karena kami arus kali/dan kamu batu tanpa hati/maka air akan mengikis batu”. Pada sebuah perayaan hari kemerdekaan pada 17 Agustus, para pejabat berpidato dan bendera berkibar di seantero kota, sementara seorang anak yang gemetar karena influenza tidur melengkung dalam keranjang bawang dan bertanya ”apaan sih itu merdeka?” Penyair kita lalu memberi catatan ”ya, apakah artinya sebuah kata yang ditulis di atas pasir?/apalah artinya undang-undang yang dicetak di atas air?” (sajak ”Ketika Udara Bising”).

Pada Rendra kita menemukan sebuah jalan keluar dari dilema estetik yang diajukan oleh para pemikir dari Mazhab Frankfurt: apakah estetik harus menjadi ekspresi dari konflik yang dialami orang-orang yang tak mendapat tempat dalam masyarakat yang mengambil jalan kapitalis, ataukah estetik menjadi tempat pelarian terakhir untuk mereka yang kalah bersaing? Dengan sajak-sajak dan teaternya, Rendra memberi jawaban tegas: estetik tak bisa membenarkan penyairnya melarikan diri dari politik, dan lirik tidak mengharamkan penyair menyampaikan kritiknya. Sajak dan puisi bukan sekadar tempat untuk menyendiri dan mencari sunyi, tetapi dapat (dan kadang harus) dilibatkan dalam perjuangan untuk memperbaiki keadaan masyarakat.

Meski demikian, Rendra menempuh jalan yang lain daripada yang pernah dirintis oleh para seniman Lekra. Politik baginya bukan panglima, tetapi adalah tugas. Seni baginya bukanlah suatu daerah istimewa dengan otonomi khusus yang tak terjangkau oleh sektor kehidupan lain. Seni adalah pekerjaan yang tidak banyak bedanya dengan bertani, bekerja di kantor, atau menjalankan perdagangan. Persoalan yang perlu diperhatikan hanyalah bahwa puisi bukanlah pidato dengan kata-kata indah dan teater bukanlah rally politik. Rendra melakukan percobaan yang penuh risiko: menulis puisi pembangunan tentang siswa sekolah menengah yang hilang akal menghadapi seonggok jagung di kamarnya, karena pikirannya terikat pada buku, dan impiannya mandek pada sepeda motor kawannya. Dalam ”Sajak Sebotol Bir” dia berkata dengan geram ”hiburan kota besar dalam semalam,/sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa!/Peradaban apakah yang kita pertahankan?”.

Penyair dan khususnya Rendra melihat dirinya dalam tiga dimensi utama. Pertama, dia berada dalam persoalan yang muncul dari posisi dan penghadapannya terhadap alam. Maka, lahirlah tema-tema seperti hari ini dan esok, makna atau tanpa makna, kekuatan dan kedaifan, kesepian dan kegembiraan, hidup dan maut. Kedua, dia melihat dirinya berhadapan dengan masyarakatnya dengan segala ketegangan dalam hubungan itu: kemerdekaan dan penindasan, keadilan dan eksploitasi, kejujuran dan pengkhianatan, kebaikan dan kejahatan. Ketiga, dia melihat dirinya dalam berhadapan dengan dirinya sendiri dan menghadapi soal-soal seperti otentisitas atau kepalsuan, moralitas atau anarki, harapan atau absurditas, penerimaan atau penolakan.

Dalam berhadapan dengan alam, lahir kegelisahan metafisik yang membawa penyair kepada lirik, yang menerjemahkan gerak-gerik manusia menjadi gerak-gerik alam, dan menjadi saat gerak-gerak lahiriah bermetaformosa menjadi gerak-gerik batin. Dalam ”Doa Orang Lapar” Rendra berkata: ”O Allah,/Kelaparan adalah burung gagak/jutaan burung gagak/bagai awan yang hitam/menghalang pandangku/ke sorgaMu!” Dalam hubungan dengan masyarakat lahir kegelisahan politis, yang membawa penyair kepada dramatik, yang mengintensifkan gerak-gerik batin menjadi tingkah laku lahiriah dalam ukuran dan proporsi yang dilebih-lebihkan: ”Tanganku mengepal/ketika terbuka menjadi cakar/aku meraih ke arah delapan penjuru” (sajak ”Tangan”). Sedangkan dalam berhadapan dengan dirinya, lahir kegelisahan eksistensial yang dapat diungkapkan secara liris maupun secara dramatis. Dalam sajak ”Bumi Hangus” Rendra berkata: ”Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?/Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/kita harus pergi ke mana, di mana rumah kita?/Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/bimbang kalbu oleh cedera/Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/hari ini maut giliran siapa?”

Ada satu fasilitas yang dipunyai Rendra dalam ukuran yang berlimpah-limpah, yakni kemampuan yang spontan untuk menciptakan citra-citra yang kaya dan orisinal. Membaca sajaknya selalu berarti menghadapi citra atau pengertian yang dilukiskan dalam citra yang amat dekat dengan pancaindra kita. Rendra tak pernah menuliskan sajak yang gelap, jauh dari kecenderungan untuk memakai kata-kata abstrak yang tanpa warna, bunyi, atau bau hutan. Apa pun yang ditulisnya (bahkan dalam esai-esainya yang memikat) selalu menyebabkan pembaca membayangkan suatu gambaran yang konkret yang menyentuh pengalaman.

Kesanggupan ini rupanya dimungkinkan oleh kedekatan Rendra dengan alam dan pertumbuhan kepenyairannya yang membuatnya lebih awal mengembangkan kesadaran alam sebelum berpindah ke kesadaran kebudayaan atau kesadaran politik. Hidup dan mati bagaikan melaksanakan amanat penyair Goethe: semua idealmu tak dapat menghalangiku, menemukan jati diriku, baik dan buruk seperti alam. Apa yang dikatakannya tentang ibunya dapat diterapkan pada hidup itu sendiri. Berkata: ”Kuciumi wajahmu wangi kopi/dan juga kuinjak sambil pergi/karena wajah bunda adalah bumi/cinta dan korban tak bisa dibagi”. Dan kini, hidup dan mati tak bisa dibagi.
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger