Oleh Charles Beraf
Pegiat Bisnis PT. ANI - Ende
Pegiat Bisnis PT. ANI - Ende
TENTANG tambang, pada 18 Juni 2007 lalu, saya pernah menulis di harian ini artikel berjudul "Jangan Bertindak Bodoh", yang ditanggapi sekitar 20-an penanggap (penulis). Di antara para penanggap, hanya ada dua yang cukup bijaksana seperti Abraham Runga Mali (Pos Kupang, 1 September 2009) yang menjelaskan duduk persoalan tambang, yakni Yustino Kapitan (Pos Kupang, 26 Juni 2007) dan Bruno Ulanaga Dasion, SVD (Pos Kupang, 23 Juli 2007).
Sebagian besar penanggap memiliki kecenderungan sepihak menolak dengan argumentasi hampir serupa Steph Tupeng (Pos Kupang, 25 Agustus 2009), Mikhael Pruhe Unaraja (Pos Kupang, 21 Agustus 2009), Fidel Hardjo (Pos Kupang, 26 Agustus 2009). Perbedaan semacam itu tentu tidak menjadi masalah. Namun sangat disayangkan, dalam hampir semua argumentasi penolakan, yang tampak adalah pemburukan total atas pertambangan dengan data sepihak (negatif).
Totalisasi semacam itu menidakkan bagi publik (pembaca) alternatif berpikir lain untuk bisa sendiri berpikir dan menentukan sikap menolak atau mendukung. Totalisasi, sebaliknya, merupakan sebentuk pembodohan publik (atau mungkin bisa dikatakan sebagai mekanisme penyeretan publik dalam kebodohan serupa?)
Tanpa ikut terseret dalam mekanisme pembodohan dan atau kebodohan itu, saya menilai bahwa belum berujungnya (tanpa muara) perang argumentasi (pro dan kontra) seputar tambang yang bahkan mengerucut pada masalah totalisasi itu, cukup kuat mengindikasikan selain lemahnya pengetahuan tentang seluk-beluk dunia pertambangan, juga mandegnya demokrasi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dua hal itu, hemat saya, perlu dicermati lebih jauh, selain demi terhindarnya penilaian terlampau ekstrem terhadap tambang (pemburukan total), juga demi mendongkrak partisipasi masyarakat yang luas, yang bermuara pada kebijakan yang benar-benar demokratis.
Soal Tambang
Pertama-tama saya perlu dan harus menjelaskan duduk persoalan penambangan di NTT sebagaimana pernah saya jelaskan dua tahun yang lalu di harian ini (Pos Kupang, 18 Juni 2007). Berkenaan dengan kebijakan penambangan, oleh pemerintah daerah selalu dikantongi Materi Sosialisasi Rencana Pembangunan Industri Pertambangan Terpadu.
Dalam materi itu ditandaskan bahwa pengembangan pertambangan di daerah merupakan salah satu wujud konkret dari implementasi program strategis yaitu percepatan peningkatan kemampuan keuangan daerah dan kemampuan investasi daerah. Hal itu ditempuh pemerintah dengan dua (2) cara, yakni pertama, melalui peningkatan promosi dan kerja sama investasi, dan kedua, melalui pengembangan kemitraan yang sinergis antara pemerintah daerah dan dunia usaha/swasta.
Dua cara itu secara detail terungkap dalam beberapa strategi pengembangan pertambangan, antara lain strategi pemetaan potensi sumber daya pertambangan, strategi penyelidikan/ eksplorasi, strategi promosi berkelanjutan potensi pertambangan, strategi penindaklanjutan MoU. Pertama, berkenaan dengan strategi pemetaan potensi sumber daya pertambangan, pemerintah membuat inventarisasi sumber daya pertambangan berdasarkan hasil survai dan penyelidikan.
Di NTT survai dan penyelidikan telah dilaksanakan sejak 1924 yang melibatkan kurang lebih 12 perusahaan yang berkompeten, baik dari lingkup swasta maupun dari lingkup pemerintahan. Data inventarisasi itu menunjukkan bahwa di NTT terdapat potensi bahan galian, baik dari golongan A (panas bumi/geotherm) maupun dari golongan B (emas, barit dan sebagainya). Potensi bahan galian, jika dieksplorasi, maka bukan tidak mungkin dapat mendongkrak kemajuan masyarakat NTT pada umumnya.
Kedua, berkenaan dengan strategi eksplorasi, dibuat penyelidikan geologi, geokimia dan geofisika untuk mengetahui kadar endapan sumber daya pertambangan. Ketiga, berkenaan dengan strategi promosi berkelanjutan potensi sumber daya pertambangan, pemerintah membuka keluasan bagi para investor untuk mengelola berbagai sumber daya dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian ekologi.
Keempat, pelaksanaan sebuah proyek, apalagi proyek mega seperti tambang tidak dilepaskan dari Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah yang melibatkan DPRD sebagai pihak pertama (1) dan perusahaan penambang sebagai pihak kedua (2). Dalam MoU itu akan ditegaskan bahwa upaya survai dan investasi yang akan dilaksanakan pihak kedua (2) tidak terlepas dari tanggung jawabnya dalam hal penciptaan iklim sosial, politik dan ekonomi yang kondusif, sosialisasi rencana investasi, komunikasi yang intensif di antara investor, pemerintah dan masyarakat, penyusunan master plan pembangunan dan penciptaan suasana bisnis yang kondusif, yang tidak bisa tidak didasarkan pada Kerangka Acuan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Kelola Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan).
Keempat strategi penambangan itu sama sekali tidak dijalankan secara simultan, melainkan dilaksanakan secara bertahap, yakni mulai dengan tahap penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi hingga ke tahap operasi. Namun patut diingat bahwa tidak semua tahap itu semestinya atau otomatis dilewati atau dipenuhi jika misalnya dalam tahap tertentu terbukti tidak layak atau tidak harus dilaksanakan penambangan.
Di beberapa daerah di NTT, seperti di Lembata, tahap penyelidikan umum memang sudah dilewati dan sudah dan sedang disiapkan tahap berikutnya, yakni tahap eksplorasi, meski hal itu sekarang tak pernah sepi dari kritikan. Jika dalam tahap eksplorasi atau pun nanti dalam tahap studi kelayakan misalnya, ada indikasi 'ketidaklayakan' untuk dilakukan penambangan, maka tahap konstruksi dan operasi (eksploitasi) otomatis dibatalkan. Sebaliknya, tahap eksploitasi (atau bisa disebut sebagai tahap penambangan) hanya bisa dilakukan sejauh tahap-tahap lain sudah dilewati dan terbukti secara meyakinkan bahwa tambang bisa dijalankan.
Secara khusus dalam tahap studi kelayakan, yang hendak dicapai adalah Kerangka Acuan AMDAL, RKL dan RPL dan tahap konstruksi sebagai persiapan akhir penambangan. Seturut Undang-undang No. 23 /1997 tentang Pengelolaan Lingkungan, tambang tidak bisa tidak didasarkan pada kerangka acuan itu. Kerangka Acuan AMDAL, RKL dan RPL tidak bisa tidak dikantongi baik oleh pemerintah maupun oleh pihak penambang.
Yang terjadi di NTT, orang suka ribut dengan sikap yang sangat ekstrem: memburukkan tambang secara total, meski beberapa tahap belum sama sekali disentuh (baca: dilewati), baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak penambang.
Di sini tidak hendak dikatakan bahwa ribut soal tambang itu tidak penting. Sebaliknya, meributkan tambang dengan basis pengenalan yang utuh tentang tambang tentu akan jauh lebih menguntungkan. Saya sudah sangat sering mendengar dan membaca dari media lokal bahwa beberapa LSM dan kelompok (yang mengklaim mewakili komunitas), seperti JPIC SVD dan JPIC OFM sangat getol mengkampanyekan penolakan terhadap tambang hingga ke kampung-kampung (terutama kampung sasaran tambang) dengan basis argumentasi yang sangat sepihak dan tidak berdasar.
Bapak Alo G Tapoona, seorang nelayan dari Lamalera, Lembata pernah mengeluh tentang materi katekese tambang, yang pernah dibawakan sekelompok frater dari Ledalero beberapa waktu lalu: "Kami diminta untuk tolak tambang sebagai harga mati, tapi saya sendiri tidak mengerti kenapa tolak dan kenapa yang lain mau tambang."
Hemat saya, pengenalan yang utuh tentang tambang itu selain akan berdampak secara kualitatif pada hal meributkan soal tambang, juga pada hal membangun pencerahan kepada masyarakat, yang nota bene masih bisa terhitung lemah dan terbatas terhadap akses informasi tentang tambang.
Masyarakat tidak bisa diseret (dibodohkan) begitu saja untuk percaya bahwa penolakan adalah sebuah harga mati tanpa diberi ruang dan otonomi untuk menentukan sikap sendiri. Bila tim advokasi atau siapa pun yang beradvokasi cukup bijak dan terbuka untuk mengatakan (tanpa menyeret) kepada masyarakat bahwa tahap eksplorasi, misalnya, sangat bergantung pada Kerangka Acuan AMDAL, RKL dan RPL yang dihasilkan dari beberapa tahap itu serta rekomendasi pihak-pihak yang (dianggap) kompeten dalam bidang-bidang tertentu yang berkaitan dengan penambangan (pakar lingkungan, sosial, budaya dan sebagainya), maka pembodohan dan atau kebodohan tidak begitu gampangnya menjangkiti masyarakat.
Kuatkan Demokrasi
Ribut soal tambang bisa dimaknai sebagai menggeliatnya demokrasi di daerah ini. Namun meributkan tambang tanpa dasar pengetahuan dan data yang utuh dan seimbang (obyektif) bisa berbuah pada perang argumentasi yang semu dan yang tak kunjung berujung.
Kalau kita cukup cerdas dalam mengenal dan memahami baik substansi maupun prosedur proyek tambang, maka kita pun tak gampang terseret dalam advokasi murahan, melainkan cukup cerdas pula memilih cara berdemokrasi yang tepat di hadapan masalah tambang.
Tidak asal ribut, apalagi dengan menciptakan pembodohan, mengklaim diri sebagai wakil komunitas tertentu (SVD atau OFM), mengkompilasi sejumlah pendapat orang atau memplagiasi pendapat orang menjadi (seolah-olah) pendapat sendiri.
Cara berdemokrasi yang tepat yang dimaksudkan di sini adalah cara berdemokrasi yang didasarkan terutama pada deliberatio (Latin: musyawarah, konsultasi, menimbang-nimbang) , bukan sentimen-sentimen murahan tertentu. Demokrasi deliberatif sudah tentu meniscayakan partisipasi yang deliberatif pula, termasuk di dalamnya kontrol terhadap pengambil dan pelaksana kebijakan tertentu.
Andaikan tim advokasi atau kelompok dari komunitas tertentu tidak terlalu bodoh dalam menanggapi soal tambang, ribut soal tambang tentu tidak serumit yang terjadi belakangan ini di Manggarai atau di Lembata. Kalau diplomasi atau forum diskusi yang dipilih dan bukan demonstrasi maka argumentasi yang dilontar-tawarkan menjadi lebih efektif, bukan terlampau sloganistis.
Kalau yang dibentuk adalah tim independen yang kompeten secara moral dan intelektual dalam memantau atau mengontrol pelaksanaan studi kelayakan misalnya dan bukan kelompok demonstran hasil mobilisasi, maka tambang tidak serta merta atau tergesa dinilai secara total sebagai proyek yang jelek bagi masyarakat.
Cara berdemokrasi yang deliberatif melalui partisipasi yang deliberatif pula, di NTT, memang tampaknya masih jauh panggang dari api. Saya yakin, siapa pun orang NTT tentu tidak pernah bermimpi tentang kehancuran NTT seperti yang terjadi di Porong, Sidoarjo dengan semburan lumpur panasnya.
Sebaliknya, kita patut mafhum juga bahwa tidak sempurna juga apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah. Karena itu, terhadap itu penguatan demokrasi melalui cara-cara yang elegan dan argumentatif amat dibutuhkan. Ini mungkin terwujud kalau kita tidak sedang menjadi orang-orang bodoh yang tergesa mengatakan kepada publik bahwa ada hantu bernama kehancuran sedang mengintai dari balik tambang.
Sebagian besar penanggap memiliki kecenderungan sepihak menolak dengan argumentasi hampir serupa Steph Tupeng (Pos Kupang, 25 Agustus 2009), Mikhael Pruhe Unaraja (Pos Kupang, 21 Agustus 2009), Fidel Hardjo (Pos Kupang, 26 Agustus 2009). Perbedaan semacam itu tentu tidak menjadi masalah. Namun sangat disayangkan, dalam hampir semua argumentasi penolakan, yang tampak adalah pemburukan total atas pertambangan dengan data sepihak (negatif).
Totalisasi semacam itu menidakkan bagi publik (pembaca) alternatif berpikir lain untuk bisa sendiri berpikir dan menentukan sikap menolak atau mendukung. Totalisasi, sebaliknya, merupakan sebentuk pembodohan publik (atau mungkin bisa dikatakan sebagai mekanisme penyeretan publik dalam kebodohan serupa?)
Tanpa ikut terseret dalam mekanisme pembodohan dan atau kebodohan itu, saya menilai bahwa belum berujungnya (tanpa muara) perang argumentasi (pro dan kontra) seputar tambang yang bahkan mengerucut pada masalah totalisasi itu, cukup kuat mengindikasikan selain lemahnya pengetahuan tentang seluk-beluk dunia pertambangan, juga mandegnya demokrasi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dua hal itu, hemat saya, perlu dicermati lebih jauh, selain demi terhindarnya penilaian terlampau ekstrem terhadap tambang (pemburukan total), juga demi mendongkrak partisipasi masyarakat yang luas, yang bermuara pada kebijakan yang benar-benar demokratis.
Soal Tambang
Pertama-tama saya perlu dan harus menjelaskan duduk persoalan penambangan di NTT sebagaimana pernah saya jelaskan dua tahun yang lalu di harian ini (Pos Kupang, 18 Juni 2007). Berkenaan dengan kebijakan penambangan, oleh pemerintah daerah selalu dikantongi Materi Sosialisasi Rencana Pembangunan Industri Pertambangan Terpadu.
Dalam materi itu ditandaskan bahwa pengembangan pertambangan di daerah merupakan salah satu wujud konkret dari implementasi program strategis yaitu percepatan peningkatan kemampuan keuangan daerah dan kemampuan investasi daerah. Hal itu ditempuh pemerintah dengan dua (2) cara, yakni pertama, melalui peningkatan promosi dan kerja sama investasi, dan kedua, melalui pengembangan kemitraan yang sinergis antara pemerintah daerah dan dunia usaha/swasta.
Dua cara itu secara detail terungkap dalam beberapa strategi pengembangan pertambangan, antara lain strategi pemetaan potensi sumber daya pertambangan, strategi penyelidikan/ eksplorasi, strategi promosi berkelanjutan potensi pertambangan, strategi penindaklanjutan MoU. Pertama, berkenaan dengan strategi pemetaan potensi sumber daya pertambangan, pemerintah membuat inventarisasi sumber daya pertambangan berdasarkan hasil survai dan penyelidikan.
Di NTT survai dan penyelidikan telah dilaksanakan sejak 1924 yang melibatkan kurang lebih 12 perusahaan yang berkompeten, baik dari lingkup swasta maupun dari lingkup pemerintahan. Data inventarisasi itu menunjukkan bahwa di NTT terdapat potensi bahan galian, baik dari golongan A (panas bumi/geotherm) maupun dari golongan B (emas, barit dan sebagainya). Potensi bahan galian, jika dieksplorasi, maka bukan tidak mungkin dapat mendongkrak kemajuan masyarakat NTT pada umumnya.
Kedua, berkenaan dengan strategi eksplorasi, dibuat penyelidikan geologi, geokimia dan geofisika untuk mengetahui kadar endapan sumber daya pertambangan. Ketiga, berkenaan dengan strategi promosi berkelanjutan potensi sumber daya pertambangan, pemerintah membuka keluasan bagi para investor untuk mengelola berbagai sumber daya dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian ekologi.
Keempat, pelaksanaan sebuah proyek, apalagi proyek mega seperti tambang tidak dilepaskan dari Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah yang melibatkan DPRD sebagai pihak pertama (1) dan perusahaan penambang sebagai pihak kedua (2). Dalam MoU itu akan ditegaskan bahwa upaya survai dan investasi yang akan dilaksanakan pihak kedua (2) tidak terlepas dari tanggung jawabnya dalam hal penciptaan iklim sosial, politik dan ekonomi yang kondusif, sosialisasi rencana investasi, komunikasi yang intensif di antara investor, pemerintah dan masyarakat, penyusunan master plan pembangunan dan penciptaan suasana bisnis yang kondusif, yang tidak bisa tidak didasarkan pada Kerangka Acuan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Kelola Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan).
Keempat strategi penambangan itu sama sekali tidak dijalankan secara simultan, melainkan dilaksanakan secara bertahap, yakni mulai dengan tahap penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi hingga ke tahap operasi. Namun patut diingat bahwa tidak semua tahap itu semestinya atau otomatis dilewati atau dipenuhi jika misalnya dalam tahap tertentu terbukti tidak layak atau tidak harus dilaksanakan penambangan.
Di beberapa daerah di NTT, seperti di Lembata, tahap penyelidikan umum memang sudah dilewati dan sudah dan sedang disiapkan tahap berikutnya, yakni tahap eksplorasi, meski hal itu sekarang tak pernah sepi dari kritikan. Jika dalam tahap eksplorasi atau pun nanti dalam tahap studi kelayakan misalnya, ada indikasi 'ketidaklayakan' untuk dilakukan penambangan, maka tahap konstruksi dan operasi (eksploitasi) otomatis dibatalkan. Sebaliknya, tahap eksploitasi (atau bisa disebut sebagai tahap penambangan) hanya bisa dilakukan sejauh tahap-tahap lain sudah dilewati dan terbukti secara meyakinkan bahwa tambang bisa dijalankan.
Secara khusus dalam tahap studi kelayakan, yang hendak dicapai adalah Kerangka Acuan AMDAL, RKL dan RPL dan tahap konstruksi sebagai persiapan akhir penambangan. Seturut Undang-undang No. 23 /1997 tentang Pengelolaan Lingkungan, tambang tidak bisa tidak didasarkan pada kerangka acuan itu. Kerangka Acuan AMDAL, RKL dan RPL tidak bisa tidak dikantongi baik oleh pemerintah maupun oleh pihak penambang.
Yang terjadi di NTT, orang suka ribut dengan sikap yang sangat ekstrem: memburukkan tambang secara total, meski beberapa tahap belum sama sekali disentuh (baca: dilewati), baik oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak penambang.
Di sini tidak hendak dikatakan bahwa ribut soal tambang itu tidak penting. Sebaliknya, meributkan tambang dengan basis pengenalan yang utuh tentang tambang tentu akan jauh lebih menguntungkan. Saya sudah sangat sering mendengar dan membaca dari media lokal bahwa beberapa LSM dan kelompok (yang mengklaim mewakili komunitas), seperti JPIC SVD dan JPIC OFM sangat getol mengkampanyekan penolakan terhadap tambang hingga ke kampung-kampung (terutama kampung sasaran tambang) dengan basis argumentasi yang sangat sepihak dan tidak berdasar.
Bapak Alo G Tapoona, seorang nelayan dari Lamalera, Lembata pernah mengeluh tentang materi katekese tambang, yang pernah dibawakan sekelompok frater dari Ledalero beberapa waktu lalu: "Kami diminta untuk tolak tambang sebagai harga mati, tapi saya sendiri tidak mengerti kenapa tolak dan kenapa yang lain mau tambang."
Hemat saya, pengenalan yang utuh tentang tambang itu selain akan berdampak secara kualitatif pada hal meributkan soal tambang, juga pada hal membangun pencerahan kepada masyarakat, yang nota bene masih bisa terhitung lemah dan terbatas terhadap akses informasi tentang tambang.
Masyarakat tidak bisa diseret (dibodohkan) begitu saja untuk percaya bahwa penolakan adalah sebuah harga mati tanpa diberi ruang dan otonomi untuk menentukan sikap sendiri. Bila tim advokasi atau siapa pun yang beradvokasi cukup bijak dan terbuka untuk mengatakan (tanpa menyeret) kepada masyarakat bahwa tahap eksplorasi, misalnya, sangat bergantung pada Kerangka Acuan AMDAL, RKL dan RPL yang dihasilkan dari beberapa tahap itu serta rekomendasi pihak-pihak yang (dianggap) kompeten dalam bidang-bidang tertentu yang berkaitan dengan penambangan (pakar lingkungan, sosial, budaya dan sebagainya), maka pembodohan dan atau kebodohan tidak begitu gampangnya menjangkiti masyarakat.
Kuatkan Demokrasi
Ribut soal tambang bisa dimaknai sebagai menggeliatnya demokrasi di daerah ini. Namun meributkan tambang tanpa dasar pengetahuan dan data yang utuh dan seimbang (obyektif) bisa berbuah pada perang argumentasi yang semu dan yang tak kunjung berujung.
Kalau kita cukup cerdas dalam mengenal dan memahami baik substansi maupun prosedur proyek tambang, maka kita pun tak gampang terseret dalam advokasi murahan, melainkan cukup cerdas pula memilih cara berdemokrasi yang tepat di hadapan masalah tambang.
Tidak asal ribut, apalagi dengan menciptakan pembodohan, mengklaim diri sebagai wakil komunitas tertentu (SVD atau OFM), mengkompilasi sejumlah pendapat orang atau memplagiasi pendapat orang menjadi (seolah-olah) pendapat sendiri.
Cara berdemokrasi yang tepat yang dimaksudkan di sini adalah cara berdemokrasi yang didasarkan terutama pada deliberatio (Latin: musyawarah, konsultasi, menimbang-nimbang) , bukan sentimen-sentimen murahan tertentu. Demokrasi deliberatif sudah tentu meniscayakan partisipasi yang deliberatif pula, termasuk di dalamnya kontrol terhadap pengambil dan pelaksana kebijakan tertentu.
Andaikan tim advokasi atau kelompok dari komunitas tertentu tidak terlalu bodoh dalam menanggapi soal tambang, ribut soal tambang tentu tidak serumit yang terjadi belakangan ini di Manggarai atau di Lembata. Kalau diplomasi atau forum diskusi yang dipilih dan bukan demonstrasi maka argumentasi yang dilontar-tawarkan menjadi lebih efektif, bukan terlampau sloganistis.
Kalau yang dibentuk adalah tim independen yang kompeten secara moral dan intelektual dalam memantau atau mengontrol pelaksanaan studi kelayakan misalnya dan bukan kelompok demonstran hasil mobilisasi, maka tambang tidak serta merta atau tergesa dinilai secara total sebagai proyek yang jelek bagi masyarakat.
Cara berdemokrasi yang deliberatif melalui partisipasi yang deliberatif pula, di NTT, memang tampaknya masih jauh panggang dari api. Saya yakin, siapa pun orang NTT tentu tidak pernah bermimpi tentang kehancuran NTT seperti yang terjadi di Porong, Sidoarjo dengan semburan lumpur panasnya.
Sebaliknya, kita patut mafhum juga bahwa tidak sempurna juga apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah. Karena itu, terhadap itu penguatan demokrasi melalui cara-cara yang elegan dan argumentatif amat dibutuhkan. Ini mungkin terwujud kalau kita tidak sedang menjadi orang-orang bodoh yang tergesa mengatakan kepada publik bahwa ada hantu bernama kehancuran sedang mengintai dari balik tambang.
Sumber: Pos Kupang, 9 September 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!