Headlines News :
Home » » Tambang Tanpa Timbang

Tambang Tanpa Timbang

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, September 23, 2009 | 12:36 PM

Oleh Fidel Hardjo
putra Boleng, Manggarai Barat, kini mengadu nasib di Jakarta

Sangat tidak fair kalau saya tidak menjawab koreksi berlapis Abraham Mali atas tulisan saya dan beberapa teman oponen sebelumnya. Judul tulisannya, Tidak Asal Tanggap (PK, 1/9/2009). Pesan jelas, jangan coba nimbrung kalau asal cengenges!

Sebuah kritikan dahsyat. Tetapi sayangnya, kritikannya tidak lebih pada upaya membenteng diri dan menyerang. Tidak tergetar sebuah insight baru dalam menakhodai debat tambang ini. Tidak lebih dari adu ide, losser or winner. Saya pikir, bukan ini tujuan cape-cape kita menulis di media ini. Tesis perdebatan kita perlu timbang, apa tambang sungguh memberi keuntungan bagi rakyat? Dan, jika kita ditolak, apa sungguh membawa petaka dahsyat bagi rakyat?

Selangit-langitnya perdebatan kita, tetapi mesti mendaku kepentingan rakyat. Jika Mali mampu memberi jaminan scientis dan empiris bahwa tambang adalah pintu gerbang menuju kesejahteraan rakyat, maka kita lapang dada setuju tambang. Sebaliknya, jika belum mampu memberi jaminan utuh kepada rakyat, maka perlu lapang dada juga menerima ide berseberangan, yaitu tolak tambang. Itu baru gentleman! Kita perlu pendamkan ego masing-masing, demi bonum commune.

Sekadar penjelasan informatif, tulisan saya terdahulu bukan plagiat. Tulisan itu hasil diskusi di ruang maya Allesaja. Atas persetujuan perumus ide, yaitu Tarsi Sigho, maka tulisan itu saya kemas lagi dan kirim ke Pos Kupang. Sederhana saja alasan saya. Kenapa ide brilian ini tidak dikonsumsi publik? Itulah niat dasar saya. Dalam soft copy tulisan yang terkirim kepada Pos Kupang, tertulis nama saya dan Tarsi Sigho.

Tetapi, karena Pos Kupang punya internal policy tidak menerima artikel penulis duet, maka nama saya muncul dalam publikasinya. Alasannya yang paling pas karena pengirim artikel itu adalah saya sendiri. Tanggung jawab penuh pun saya.

Kembali ke inti perdebatan. Sekali lagi, isi perdebatan kita adalah rakyat. Untuk siapa kita berdebat kalau bukan untuk rakyat? Untuk apa tambang ditambang kalau bukan untuk rakyat? Jadi, rakyat menjadi target penuh, tidak lain dari itu!

Tanah, uang, tambang dan lain sebagainya adalah premis minor. Karena itu, adalah sangat naif kita menempatkan tambang sebagai tesis primer. Memang perlu diakui bahwa kita mengurai benang kusut ini dari perspektif kita sendiri. Dari mana dan hendak ke mana pun kita menelisiknya masalah ini, tetapi kita tetap komit rakyat adalah perspektif terakhir yang perlu dirunut dan diprioritas.

Dari tulisan saya sebelumnya, terkukuh satu kata kunci. Jika pemerintah belum mampu memberi jaminan scientis dan empiris konsekuensi destruktif tambang dan seberapa besar profit untuk rakyat dan bila perlu dipublikasikan di media ini, maka perlu rendah hati mengatakan kita belum layak mengoperasikan tambang.

Mengapa? Hindari kebijakan publik tergopoh-gopoh. Hindari penyesalan terlambat. Hindari aksi saling kambinghitam, bahkan seperti kasus tambang Freeport ada adegan perang yang tidak pantas dilakonkan. Dan lebih dari itu, antisipasi caci maki dan cap generasi durhaka dari cucu-cece kita kemudian hari.

Tentu masih banyak deretan 'penghindaran'. Bukan pula kita terbalut pesimisme berlebihan. Tetapi sebuah wise choice perlu diuji mudarat plus manfaatnya. Sejak zaman Socrates hingga nenek moyang kita selalu percaya filosofi bijak, masalah apa pun tidak pernah tuntas dengan memberi solusi tetapi pertanyaan.

Karena itu pertanyaan dari perspektif rakyat perlu didengar. Apa pemerintah dan penambang sungguh memberi jaminan yang pasti kemanfaatan tambang untuk kemaslahatan hidup banyak orang? Ada kekhawatiran bahwa keputusan melegalkan tambang seperti hiruk-pikuk menangkap tanyangan iklan kecantikan.

Before and after begitulah paras tawaran iklan kecantikan. Eh.. tanpa pikir tedeng aling-aling para ibu berhura-hura membeli produk ini. Nyatanya, tidak semanis yang dijanjikan. Inilah kecemasan kita. Jangan-jangan kebijakan legal tambang di daerah kita terbawa-bawa oleh iklan hot money para mining lobbyst.

Sangat sedih kalau ini sungguh terjadi. Karena iklan para mining lobbyst tak lebih dari gambling. Tuan gambling hampir pada umumnya selalu menang. Biasanya, losser adalah gamblers. Tetapi anehnya, gamblers selalu ketagihan. Belajarlah dari pengalaman. Berapa banyak kebijakan publik di NTT, dan khususnya Flores dan Lembata, yang tidak diawali dengan keputusan matang? Mulai dari bikin rumah jabatan, jalan raya, irigasi, jagung, singkong dan lain-lain. Semuanya bablas di tengah jalan. Umumnya, tidak ada satu pun yang mengakui diri sebagai penanggung jawab. Semua orang cuci tangan, kambing hitam seru. Tentu, inilah yang kita tidak inginkan di balik aksi tambang di Flores.

Saya pikir ini poin penting yang perlu digegap-gempitakan di balik pro kontra aksi tambang di Flores. Tapi sayangnya, Mali tidak sama sekali menyentuh esensi perdebatan. Mali justru bereuforia membolak-balik idenya sakadar membela diri. Ada kesan Mali berwawasan luas dengan parade aksi tambang sejagat. Hanya, orang dan situasi di Flores tidak pas dibanding dengan akrobat tambang di mana pun belahan bumi ini. Jangan bandingkan dengan Australia atau Las Vegas. Jangan pula dibanding ritme hidup orang Flores dan Jakarta. Kalau di Australia dan Las Vegas ada tambang, mereka punya hukum solid dan manusianya pun solid. Apakah kita secara hukum dan homo laborens solid? Susah dijawab.

Demikian pun bicara soal pergerakan kapital. Di Jakarta memang uang di atas segala-galanya. Tanah tidak ada tetapi hidup jalan terus. Sebaliknya, orang Flores meski uang tidak ada, tetapi sejengkal tanah adalah mahkota hidup. Jadi bisa saja orang mengomel. Tambang di Jakarta berbeda dengan tambang di Flores. Kalau begitu, siapa tahu tambang di Flores nanti berbeda outputnya? Pengandaian seperti ini berbahaya karena rakyat menjadi kelinci percobaan.

Itulah sebabnya saya sangat berseberang pendapat dengan Mali. Ketika ia mengait-ngaitkan aksi tambang mulai dari Eropa sampai dengan gaya hidup di Ibu kota Jakarta dengan kampung halaman di Flores. Apalagi, mengaitkan kemajuan orang Flores akhir-akhir ini dengan berapa besarnya royalti tambang. Apa benar bung? Bahkan, menyebut kemegahan gereja sejagat (Flores?) selama ini merupakan kucuran uang-uang tambang.

Jika betul ada kaitan nafas kehidupan orang Flores dengan royalti tambang, tolong tunjukkan data valid supaya kami berubah pikiran. Untuk apa kita tutup-tutupi data itu jika benar? Demikian pun sebaliknya. Tidak perlu main di gelap.

Bukan hanya lobi di ruang gelap tetapi keputusan pun ditancap di dalam kegelapan. Operasionalnya pun lebih gelap lagi. Pintu entrance disegel peringatan keras "Dilarang masuk, kawasan berbahaya". Ada ke(gelap)an?

Rakyat lebih gelap lagi. Sampai tidak tahu, apakah aksi tambang masih ada atau sudah tuntas. Apakah janji investor sudah terpenuhi atau belum? Berapa besar profit tambang tak satu pun yang tahu. Siapa yang bisa kontrol? Dan, ke mana rakyat mengadu jika ada bencana di lokasi tambang? Ini perlu titik terang.

Saya tidak perlu ambil contoh jauh-jauh. Di Manggarai Barat, tepatnya di Tebedo desa Pota Wangka, tempat saya lahir, pada tahun 1990-an diizinkan operasi tambang. Waktu itu saya masih duduk di bangku SMA. Sebagai anak kecil waktu itu, saya merasa tercengang dengan kepungan buldozer masuk kampung kami. Waktu itu tidak ada perjanjian hitam di atas putih dengan orang kampung, selain mempekerjakan anak-anak muda untuk membantu mengeruk tambang itu.

Seingat saya dulu, ada janji dari investor akan dibuka jalan raya (baca: aspal) dari Nggorang menuju Wangkung sebagai kado balas budi penduduk setempat. Sampai sekarang apa yang didapati oleh warga Tebedo dan sekitarnya, yaitu lubang pencungkilan tambang terbentang menganga di mana-mana di sekitar Tebedo. Sampai kami tidak tahu, penambang sudah bawa pergi jarahannya. Tetapi, entah kenapa janji penambang itu tidak terpenuhi sama sekali.

Hutan digunduli sapu bersih meninggalkan kelongsoran tanpa akhir bagi warga. Mata air di Wae Sipi yang menjadi mata air kehidupan orang Tebedo dan Nggorang (penduduk dekat Labuan Bajo) kian terancam pengeringan abadi. Jalan raya yang dibuka pemerintah dari Nggorang menuju Tebedo, yang akan tembus ke Terang tidak berkutik mengatasi bahaya pelongsoran tiap saat di sekitar kawasan bekas pertambangan itu. Siapa yang bertanggung jawab sekarang, semua cuci tangan. Eh, rakyat lagi yang kedapatan pil pahitnya!

Dan, sekarang investor (baru?) datang lagi ke Tebedo untuk menambang kawasan yang sama, yang sejalan dengan munculnya tambang di Batu Gosok yang ramai ditolak akhir-akhir ini. Ini semacam, menginjak-injak anjing sekarat.

Jadi, tolak tambang bukan sekadar aksi cengeng tetapi lahir dari isak tangis warga di ujung mulut kubur. Gali tambang tanpa timbang, nakhoda, destinasi dan meditasi menggigit sama artinya kita menggali kubur untuk diri sendiri.
Sumber: Pos Kupang, 17 September 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

  1. dahsyat.. semua untuk rakyat.... jangan kita tersesat...bahkan bisa sakarat...karena ini bukan sesaat.... begitu kan sobat.... KAWAN MASUKIN JUGA OPINI TTG GURU YA... TRIMS

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger