pemerhati politik dari Universitas Indonesia
Sungguh tak mudah menjadi Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat yang dipimpinnya berhasil meraih 20,85 persen suara dalam pemilu legislatif. Ia lalu terpilih secara meyakinkan sebagai presiden dengan mengantongi 60,8 persen dukungan pemilih. Namun, ketika membentuk kabinet, mau tak mau, ia harus mengakomodasi kepentingan empat partai lain penyokong pencalonannya, yang sesungguhnya secara bersama-sama ”hanya” meraih 24,15 persen suara dalam pemilu legislatif.
Jika kita gunakan logika presidensialisme murni, kemenangan mutlak yang diraih Yudhoyono semestinya membuat dia amat sangat leluasa menyusun kabinetnya. Namun, mengingat sistem multipartai yang mengantarnya ke kursi presiden, kabinetnya mau tak mau mesti mengakomodasi dan merepresentasikan kepentingan partai-partai peserta koalisi.
Siapa pun presiden Indonesia mau tak mau akan berada di tengah tarik-menarik presidensialisme dan sistem multipartai itu. Yang kemudian menegaskan kualitas politik sang presiden adalah dua kemampuan sekaligus. Pertama, seberapa jauh ia pandai mengelola hubungan mandat-akuntabilitas-keterwakilan dengan publik sebagaimana diamanatkan presidensialisme. Kedua, seberapa cerdas ia mengelola keterwakilan partai secara substantif untuk membuatnya selamat di tengah kepentingan banyak partai yang berjalin kelindan.
Saya menilai Yudhoyono cukup berhasil menunaikan dua tuntutan itu, tetapi dengan sedikit catatan berikut.
Drama Cikeas
Manakala menjalankan fungsi presidensialnya berhadapan dengan tuntutan mandat-keterwakilan-akuntabilitas publik, Yudhoyono lebih banyak bermain di level kemasan ketimbang substansi. Fakta ini terwakili oleh drama tiga hari di Cikeas.
Selama tiga hari sejumlah calon menteri berdatangan ke Cikeas untuk menjalani semacam uji kepatutan dan kelayakan. Para calon menteri itu menunggu di pendapa sebelum ”diwawancara” Yudhoyono dan wakil presiden terpilih Boediono. Lalu, selepas ”wawancara”, mereka berbicara di hadapan publik melalui corong para jurnalis.
Selepas itu, media (baca: kita) mulai membuat spekulasi mengenai siapa akan menjabat apa. Beredarlah perkiraan pengisian pos-pos departemen, kementerian negara, dan pos-pos setingkat menteri negara.
Pada titik itulah drama tiga hari di Cikeas itu lebih banyak berhenti di level kemasan, bukan substansi. Dalam format seperti itu—mengulang format serupa lima tahun lampau—audisi para calon menteri tak bisa disebut sebagai fenomena transparansi dan pertanggungjawaban publik kerja seorang presiden. Rentetan kejadian itu pun lebih banyak menjadi adegan-adegan drama yang miskin substansi.
Drama itu pun terasa mengganggu karena beberapa faktor. Publik tak diberikan penjelasan memadai tentang ”siapa hendak ditaruh di pos apa lantaran alasan apa”. Jika prosesi itu hendak dimaknai sebagai mekanisme demokratis pembentukan kabinet, selepas wawancara setiap tokoh seyogianya juru bicara presiden menjelaskan kepada publik sang tokoh hendak diposisikan di pos mana berikut alasan-alasannya. Lalu, sang tokoh berbicara untuk menceritakan identitas dirinya serta menegaskan kesiapannya mengemban tugas.
Selain itu, dengan keleluasaan waktu yang dimilikinya, presiden terpilih sesungguhnya bisa mengadakan uji kelayakan itu lebih awal. Dengan demikian, publik diberikan penerangan dalam rentang waktu yang memadai.
Dengan demikian, prosesi itu pun menjadi semacam prosesi transparansi dan akuntabilitas publik kerja presiden tanpa mencederai hak prerogatif presiden dalam menyusun pemerintahan. Prosesi itu pun terlepas dari dramatisasi berlebihan sambil tetap menjaga prinsip-prinsip pokok presidensialisme.
Sandera getok tular
Di luar kebutuhan menegakkan prinsip presidensialisme secara elegan itu, presiden juga dituntut berkemampuan mengelola keterwakilan partai. Ditilik secara statistik, Yudhoyono sukses mengelola perkara terakhir ini. Ada 19 wakil partai dan 18 tokoh nonpartai terakomodasi dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
Namun, sukses statistik itu harus diuji secara politik. Benarkah bahwa komposisi itu menggambarkan terakomodasinya kepentingan partai-partai politik dan bukan sekadar tersalurkannya kehendak segelintir elite partai? Seberapa jauh ”kabinet pelangi” ini berkemampuan menjaga disiplin koalisi selama pemerintahan berlangsung hingga lima tahun depan? Seberapa efektif kontrak politik, kontrak kinerja, dan pakta integritas yang dibuat antara Yudhoyono-Boediono dengan partai dan para tokohnya itu akan berfungsi mengefektifkan pemerintahan?
Jika komposisi kabinet yang akomodatif terhadap partai-partai itu ternyata tak mendekatkan kita pada jawaban-jawaban positif atas deretan pertanyaan di atas, boleh jadi yang kita sua di balik koalisi besar itu sekadar fenomena ”sandera getok tular”. Presiden diam-diam menyandera partai-partai dengan mengikat kepentingan segelintir elite partai itu, lalu segelintir elite partai tadi diam-diam menyandera partainya sendiri.
Jika fenomena ”sandera getok tular” itu yang kemudian terbangun, prosesi-prosesi politik selepas Pemilu 2009 akan mengakumulasikan keuntungan kepada Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sebaliknya, rentetan prosesi itu makin menumpukkan kerugian pada partai-partai peserta koalisi lainnya.
Saya berharap bukan itu yang sedang terjadi. Saya berharap lima tahun ke depan Yudhoyono bukan saja akan sukses menjaga stabilitas pemerintahannya, tetapi juga meningkatkan efektivitas presidensialisme dan produktivitas demokrasi kita.
Siapa pun presiden Indonesia mau tak mau akan berada di tengah tarik-menarik presidensialisme dan sistem multipartai itu. Yang kemudian menegaskan kualitas politik sang presiden adalah dua kemampuan sekaligus. Pertama, seberapa jauh ia pandai mengelola hubungan mandat-akuntabilitas-keterwakilan dengan publik sebagaimana diamanatkan presidensialisme. Kedua, seberapa cerdas ia mengelola keterwakilan partai secara substantif untuk membuatnya selamat di tengah kepentingan banyak partai yang berjalin kelindan.
Saya menilai Yudhoyono cukup berhasil menunaikan dua tuntutan itu, tetapi dengan sedikit catatan berikut.
Drama Cikeas
Manakala menjalankan fungsi presidensialnya berhadapan dengan tuntutan mandat-keterwakilan-akuntabilitas publik, Yudhoyono lebih banyak bermain di level kemasan ketimbang substansi. Fakta ini terwakili oleh drama tiga hari di Cikeas.
Selama tiga hari sejumlah calon menteri berdatangan ke Cikeas untuk menjalani semacam uji kepatutan dan kelayakan. Para calon menteri itu menunggu di pendapa sebelum ”diwawancara” Yudhoyono dan wakil presiden terpilih Boediono. Lalu, selepas ”wawancara”, mereka berbicara di hadapan publik melalui corong para jurnalis.
Selepas itu, media (baca: kita) mulai membuat spekulasi mengenai siapa akan menjabat apa. Beredarlah perkiraan pengisian pos-pos departemen, kementerian negara, dan pos-pos setingkat menteri negara.
Pada titik itulah drama tiga hari di Cikeas itu lebih banyak berhenti di level kemasan, bukan substansi. Dalam format seperti itu—mengulang format serupa lima tahun lampau—audisi para calon menteri tak bisa disebut sebagai fenomena transparansi dan pertanggungjawaban publik kerja seorang presiden. Rentetan kejadian itu pun lebih banyak menjadi adegan-adegan drama yang miskin substansi.
Drama itu pun terasa mengganggu karena beberapa faktor. Publik tak diberikan penjelasan memadai tentang ”siapa hendak ditaruh di pos apa lantaran alasan apa”. Jika prosesi itu hendak dimaknai sebagai mekanisme demokratis pembentukan kabinet, selepas wawancara setiap tokoh seyogianya juru bicara presiden menjelaskan kepada publik sang tokoh hendak diposisikan di pos mana berikut alasan-alasannya. Lalu, sang tokoh berbicara untuk menceritakan identitas dirinya serta menegaskan kesiapannya mengemban tugas.
Selain itu, dengan keleluasaan waktu yang dimilikinya, presiden terpilih sesungguhnya bisa mengadakan uji kelayakan itu lebih awal. Dengan demikian, publik diberikan penerangan dalam rentang waktu yang memadai.
Dengan demikian, prosesi itu pun menjadi semacam prosesi transparansi dan akuntabilitas publik kerja presiden tanpa mencederai hak prerogatif presiden dalam menyusun pemerintahan. Prosesi itu pun terlepas dari dramatisasi berlebihan sambil tetap menjaga prinsip-prinsip pokok presidensialisme.
Sandera getok tular
Di luar kebutuhan menegakkan prinsip presidensialisme secara elegan itu, presiden juga dituntut berkemampuan mengelola keterwakilan partai. Ditilik secara statistik, Yudhoyono sukses mengelola perkara terakhir ini. Ada 19 wakil partai dan 18 tokoh nonpartai terakomodasi dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
Namun, sukses statistik itu harus diuji secara politik. Benarkah bahwa komposisi itu menggambarkan terakomodasinya kepentingan partai-partai politik dan bukan sekadar tersalurkannya kehendak segelintir elite partai? Seberapa jauh ”kabinet pelangi” ini berkemampuan menjaga disiplin koalisi selama pemerintahan berlangsung hingga lima tahun depan? Seberapa efektif kontrak politik, kontrak kinerja, dan pakta integritas yang dibuat antara Yudhoyono-Boediono dengan partai dan para tokohnya itu akan berfungsi mengefektifkan pemerintahan?
Jika komposisi kabinet yang akomodatif terhadap partai-partai itu ternyata tak mendekatkan kita pada jawaban-jawaban positif atas deretan pertanyaan di atas, boleh jadi yang kita sua di balik koalisi besar itu sekadar fenomena ”sandera getok tular”. Presiden diam-diam menyandera partai-partai dengan mengikat kepentingan segelintir elite partai itu, lalu segelintir elite partai tadi diam-diam menyandera partainya sendiri.
Jika fenomena ”sandera getok tular” itu yang kemudian terbangun, prosesi-prosesi politik selepas Pemilu 2009 akan mengakumulasikan keuntungan kepada Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sebaliknya, rentetan prosesi itu makin menumpukkan kerugian pada partai-partai peserta koalisi lainnya.
Saya berharap bukan itu yang sedang terjadi. Saya berharap lima tahun ke depan Yudhoyono bukan saja akan sukses menjaga stabilitas pemerintahannya, tetapi juga meningkatkan efektivitas presidensialisme dan produktivitas demokrasi kita.
Sumber: Kompas, 27 Oktober 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!