Oleh Fransiskus Welirang
Pelaku Usaha; Peminat Masalah Sosial Kemasyarakatan
Pelaku Usaha; Peminat Masalah Sosial Kemasyarakatan
Pada masyarakat Jawa, ada ungkapan, ana dina ana upa (ada hari ada nasi). Makna yang terkandung dalam ungkapan itu, tidak perlu khawatir, asal mau bekerja keras, tiap hari pasti ada yang dimakan.
Cara pikir demikian secara perlahan masuk ke alam bawah sadar tiap orang. Penduduk yang sebelumnya terbiasa dengan jagung, sagu, atau singkong sebagai makanan pokok secara terencana diperkenalkan dengan nasi sehingga mereka akhirnya bergeser mengonsumsi nasi. Akibatnya, para pembuat keputusan cenderung mengabaikan pengembangan sumber pangan alternatif sebagai medan terakhir bagi ketahanan dan kemandirian pangan nasional.
Selain itu, kebiasaan makan nasi juga meneguhkan budaya menanak nasi. Kita terbiasa menanak nasi (bulir-bulir beras), bukan menanak bahan pangan lain yang bentuknya bukan bulir-bulir. Realitas ini akhirnya menjadi salah satu hambatan bagi gerakan mengonsumsi sumber pangan alternatif.
Budaya menanak
Polemik tentang impor pangan yang mencuat dalam beberapa hari terakhir menandai lahirnya kembali kesadaran bersama tentang persoalan ketahanan pangan nasional. Saya optimistis, jika semangat kebangkitan seperti itu dipelihara secara konsisten, bukan saja devisa negara sebesar Rp 50 triliun yang dibelanjakan untuk impor pangan akan aman, tetapi kita juga bisa mengekspor hasil pertanian dan laut. Kalaupun lompatan itu tidak berhasil, setidaknya Indonesia bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.
Jika swasembada pangan tercapai, terbuka peluang bagi para penentu kebijakan untuk mengubah alam bawah sadar rakyat agar terlepas dari jebakan pangan, terutama beras. Kini, posisi pangan dunia ditempati gandum 29 persen, beras 26 persen, jagung 25 persen, barley 10 persen, shorgum 4,0 persen, dan lain-lain.
Jika pendekatan membalik cara pikir itu terwujud, Indonesia bisa mengayuh biduk ketahanan dan keberlangsungan pangannya mengikuti arus sumber pangan alternatif yang dimiliki negeri sendiri, seperti jagung, shorghum, ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong, kimpul, kacang bogor, kedelai, kacang hijau, kacang gude, kacang tanah, kacang tunggak, sukun, dan pisang. Semua umbi-umbian dan biji-bijian itu adalah sumber karbohidrat yang tak kalah baiknya dengan beras dan gandum yang menjadi budaya pangan dunia.
Masalahnya terletak pada budaya menanak nasi yang telanjur membelit kita. Secara umum masyarakat enggan menanak dan makan bahan pangan lain karena bentuknya tidak seperti beras. Dalam konteks ketahanan dan kemandirian pangan, budaya menanak itu tidak perlu dibunuh, tetapi perlu disiasati. Salah satunya dengan mengolah sumber bahan pangan menjadi tepung, lalu diproses menjadi bulir-bulir yang menyerupai beras sehingga bisa ditanak. Dengan demikian, kita menukik masuk alam bawah sadar masyarakat dan menghancurkan hambatan psikologis yang ada.
Jika gerakan itu dilakukan secara masif, sistematis, dan berkesinambungan, diyakini penerimaan masyarakat pada sumber pangan alternatif akan meningkat. Hal serupa pernah terjadi. Dulu masyarakat enggan mengonsumsi makanan dari tepung-tepungan. Namun, setelah diadakan gerakan sosialisasi dengan jargon ”penganekaragaman makanan untuk memantapkan tersedianya pangan melalui budaya makan tepung-tepungan”, masyarakat menerima makanan berbasis tepung, dan banyak yang menggemarinya.
Telur Columbus
Bagi Indonesia, kini saatnya menegakkan telur Columbus baru, yaitu mengolah sumber pangan alternatif yang sudah ditepung menjadi bulir-bulir yang menyerupai beras. Dengan demikian, ia bisa langsung diterima oleh budaya menanak di masyarakat. Teknologi untuk membuat bulir-bulir menyerupai beras itu juga telah tersedia. Dan jika diproduksi massal, biaya produksinya pasti akan amat murah.
Gerakan menegakkan telur Columbus itu tidak akan pernah berhasil jika semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, tidak terlibat aktif. Ia harus menjadi aksi nasional dan mimpi bersama bangsa. Karena itu, semua komponen bangsa harus secara sinergis dan simultan terlibat pembalikan cara pikir masyarakat. Alam bawah sadar masyarakat harus diisi pemahaman bahwa makan bulir-bulir menyerupai beras menjamin variasi makanan dengan nutrien dan gizi seimbang.
Sehubungan dengan hal itu, tantangan utama yang dihadapi para pemangku kepentingan adalah menciptakan ”kulinologi”, yaitu ilmu kuliner dan teknologi yang dapat mengolah tepung dalam jumlah besar untuk menjadi makanan siap saji. Artinya, membawa tepung ke mulut juga merupakan masalah krusial. Tanpa kulinologi semacam itu, akan sulit terbangun budaya makan bulir-bulir menyerupai beras yang berasal dari umbi-umbian dan biji-bijian hasil bumi sendiri. Ada hari, ada nasi? Pepatah itu rasanya tidak salah.
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!