Headlines News :
Home » » Demokrasi yang Perlu Dievaluasi

Demokrasi yang Perlu Dievaluasi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, November 03, 2009 | 12:48 PM


Waktu terasa berhenti di perpustakaan Fadli Zon. Buku dari Georgius Everhardus Rumphius tentang flora di Ambon dengan tahun cetak 1747 membuka diskusi tentang kekayaan bangsa.

Obrolan dilanjutkan dengan buku Von Stockum Traveller’s Hand Book Dutch Netherlands Indie, yang walaupun terbit tahun 1930, dengan presisi mencatat jadwal serta harga tiket trem. Bayangkan, dahulu di zaman penjajahan, jadwal sudah teratur,” kata Fadli Zon.

Obrolan berlanjut ke ruang paling atas, tempat Fadli memperdengarkan lagu ciptaan Presiden Soekarno tahun 1965 berjudul ”Mari Kita Bersukaria”. ”Jadi, biasa itu Presiden bikin lagu. Waktu itu zaman lagi susah. Presiden Soekarno bikin lagu yang riang gembira,” katanya.

Sambil menyantap gado-gado favoritnya, Kompas mulai mewawancarai Fadli. ”Saya tahun ini 38 tahun. Saya nggak merasa muda lagi. Sudirman jadi jenderal umur 32, Syahrir perdana menteri umur 36, Sumitro Djojohadikusumo menjadi menteri juga usia 32,” kata pria yang lahir di Jakarta, 1 Juni 1971, ini.

Bagaimana Anda melihat politik Indonesia lima tahun ke depan?
Saat ini masalahnya menyangkut identitas dan jati diri bangsa. Belum terbentuk character and nation building. Kita masih gamang. Pembangunan dan demokrasi kita tidak jelas ke mana. Demokrasi liberal belum tentu cocok buat kita. Yang kita alami, anarki politik. Transisi demokrasi kita seperti pendulum dari kerangkeng menuju ke kebebasan yang liar. Kita belum temukan format yang baik untuk bangsa.

Bung Karno dan Bung Hatta visioner. Mereka mengalami periode pertarungan ideologi, komunisme, dan kapitalisme, namun kemudian memilih ideologi yang local genius Indonesia. Ekonomi kita koperasi dengan adanya badan usaha negara yang kuat dan sektor swasta.

Bagaimana character building kita saat ini?
Saat ini politisi kita kebanyakan tak ada karakternya. Jadi, semuanya bisa diatur. Yang penting menguntungkan. Salah satu pemimpin yang kokoh itu Megawati Soekarnoputri. Ia kalau mengambil keputusan tidak bisa diubah. Kebanyakan kita negotiable. Padahal, masalahnya prinsip. Politisi kita takut miskin.

Rakyat sudah memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seharusnya SBY bisa mengubah style-nya. Bisakah dia menjadi pemimpin yang visioner dan inspiratif, membangun. Kita butuh pemimpin yang solidarity maker, bisa menggerakkan rakyat. Adalah hak rakyat mendapatkan penghidupan yang layak, pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan yang baik.

Kita ingin melakukan demokrasi, kan?
Demokrasi untuk demokrasi atau untuk kesejahteraan? Waktu saya studi development studies, tidak ada negara yang karena demokrasi jadi makmur.

Jadi, kita meningkatkan kesejahteraan baru demokrasi?
Demokrasi yang seperti apa? Demokrasi harus sesuai dengan jati diri kita. Sekarang malah demokrasi kita lebih liberal daripada Amerika Serikat (AS). Desentralisasi kita juga tidak memikirkan lagi masalah efisiensi. Desentralisasi dilakukan saat kita krisis. Padahal, di mana pun, desentralisasi dilakukan dalam keadaan stabil dulu. Yang terjadi sekarang desentralisasi korupsi dan pemborosan.

Jadi, kita harus mulai dari mana?
Ideologi pembangunan dan ekonomi kita harus jelas dulu. Apa kita mau tetap pakai paham neoliberalisme atau kita koreksi dan kembali ke ekonomi kerakyatan. Misalnya dalam masalah perdagangan. Kalau kita dalam keadaan lemah, common sense saja kita harus melindungi. Kita malah terbuka pada free trade. Seharusnya kita proteksi dan promosi dulu. Setelah kuat, baru ekspansi. Di WTO, kita ikuti keinginan negara besar karena kita ingin diperlakukan seperti negara besar. Akibatnya kita jadi melupakan kepentingan rakyat. Inti masalahnya adalah national interest kita apa.

Kita impor cabai sampai garam. Padahal, laut kita luas sekali. Kita akhirnya jadi kuli di negeri sendiri. Tidak mau menghasilkan value added.

Maksud Anda, kita harus kembali ke otoritarian?
Demokrasi yang sekarang harus kita evaluasi. Sekarang kita euforia. Kita bangga disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Padahal, kita harus belajar. Dari China, misalnya, bisa sejahtera dengan penduduk di atas satu miliar jiwa. Kita, kan, ingin sejahtera, bukan ingin sekadar jadi demokrasi. Kita ingin makmur. Demokrasi seharusnya mengarah ke kemakmuran. Demokrasi macam apa yang mengarah ke situ. Apa demokrasi liberal? Pemilu kepala daerah (pilkada) yang ratusan jumlahnya dan pemilu presiden yang jorjoran. Menurut saya, kita terlalu banyak buang waktu dan tenaga.

Apa ini berkaitan dengan kepemimpinan?
Kita perlu demokrasi agak terpimpin. Bukan terpimpin seperti Bung Karno dulu. Tetapi, ada keterpemimpinan dari figur. Kalau ada pemimpin yang berani, tegas, berani melakukan terobosan, termasuk dalam berinisiatif membuat aturan. Pemimpin yang berani untuk mengambil risiko. Sekarang kebanyakan kita ini politisi, bukan negarawan. Politisi hanya memikirkan jangka pendek. Jiwa kenegaraan ini harus dimulai.

Apakah sistem partai politik saat ini tidak berpihak menaikkan kader muda potensial?
Saat ini seperti urut kacang. Lebih memerhatikan senioritas. Sekarang ini semua diatur dengan kekuatan materi, bukan kesempatan terbuka. Misalnya, mau masuk di parpol, mau jadi calon anggota legislatif (caleg) dengan nomor urut satu harus ada kontribusi sekian. Itu baru level politik yang paling bawah. Iklim kita masih jauh karena orientasinya bukan melayani rakyat, melainkan masih dalam taraf memperbaiki tingkat hidup. Politik itu masih menjadi pekerjaan, bukan lahan pengabdian.

Selama ini kenapa terlibat di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)?
Sebenarnya saya orang yang muak dengan politik. Tetapi, seperti dikatakan Edmund Burke (politisi Irlandia), ”The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” Sekarang banyak orang baik yang tidak mau karena politik kotor dan menjijikkan. Dan, saya merasakan, dari hari-hari ini pun terasa intrik politik, fitnah-memfitnah. Tetapi, kalau orang baik itu stay away, yang menguasai nantinya preman politik. Padahal, politik yang menentukan policy semuanya, pendidikan, ekonomi, kebudayaan.

Saya yang mengusulkan untuk bikin partai politik di HKTI sebagai alat perjuangan. Banyak dorongan dari Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) dan HKTI. Saya lalu ngomong dengan Pak Hasyim (Hasyim Djojohadikusumo). Lahir Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya).

Bagaimana dengan kepemimpinan nasional saat ini?
Pertanyaan bagi siapa pun yang memimpin, dia mau bawa ke mana Indonesia ini. Dari sana seharusnya orientasi difokuskan. Misalnya, menyikapi globalisasi. Bagaimana strategi kita menghadapi globalisasi yang bermuatan neoliberal yang sangat merusak kita. Kita seperti tetap berputar-putar, sementara negara lain, seperti Vietnam dan China, mau terus.

Masih adakah harapan?
DPR bisa melakukan fungsi, tak hanya dengan standar. DPR harus bisa mengoreksi berbagai undang-udang yang membuat kita terjebak, misalnya UU Migas dan UU Penanaman Modal. Kita harus kembalikan pada kekuatan modal dalam negeri. (J Osdar dan Edna C Pattisina)

Sumber: Kompas, 3 November 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger