Headlines News :
Home » » Dana Aspirasi dan Segentong Babi

Dana Aspirasi dan Segentong Babi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, June 08, 2010 | 10:32 AM

Oleh J Kristiadi
peneliti senior CSIS

Apakah terdapat hubungan antara dana aspirasi dan daging babi? Untuk lebih jelasnya, perlu keterangan sebagai berikut. Dana aspirasi adalah usulan, yang mengesankan ”asal usul” Partai Golkar agar setiap anggota DPR dapat jatah Rp 15 miliar per tahun. Katanya untuk membantu pemerataan di daerah pemilihan. Dana tersebut berasal dari pajak rakyat dan totalnya setiap tahun sebesar lebih dari Rp 8 triliun. Pencairannya pun difasilitasi oleh para wakil rakyat.

Sementara kosakata segentong (daging) babi, di negara asalnya, lazim disebut pork-barrel. Sebutan itu menunjuk pada praktik alokasi dana publik yang diberikan kepada konstituennya oleh anggota parlemen agar mereka dapat dipilih kembali dalam pemilu berikutnya. Praktik politik tersebut banyak dikecam dan kontroversial karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum serta rawan penyelewengan dan salah sasaran.

Konon, muasal istilah tersebut dikenal sekitar akhir abad XVIII, sebelum perang saudara di Amerika Serikat. Ceritanya, daging babi yang telah diasinkan itu diberikan sebagai hadiah kepada para budak kulit hitam untuk diperebutkan. Pemberian, tetapi sekaligus juga penistaan.

Oleh sebab itu, dapat dimengerti gagasan yang hanya mengopi dari negara lain tanpa pengkajian yang mendalam itu mendapat resistensi dari pemerintah dan sekaligus kritik tajam dari masyarakat. Kalau di negara yang demokrasinya sudah mapan saja praktik tersebut rawan penyimpangan, dapat dibayangkan apabila dilaksanakan di Indonesia ketika demokrasi baru sebatas kulit ari. Proyek Gentong Babi akan sangat rawan penyalahgunaan dan dapat menjadi lahan para fasilitator untuk mendapatkan uang jasa.

Bukan rahasia lagi bahwa penggerogotan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, terutama dana pusat, seperti dana alokasi khusus, dana alokasi umum, dan dana dekonsentrasi, menjadi lahan yang dapat mengarah kepada korupsi. Oleh karena itu, para kepala daerah rajin mencari fasilitator agar dana tersebut, selain membengkak, juga mengalir ke daerahnya.

Usulan tersebut dapat melembagakan praktik pemberian ”kembang gula” para elite politik kepada para pemilih agar mendapatkan dukungan politik. Bedanya, kalau pemberian kembang gula bersifat cash and carry dan mungkin sebagian uang pribadi, sedangkan dana aspirasi yang melalui skema yang mereka anggap lebih canggih sepenuhnya bersumber dari uang negara. Namun, intinya mirip, yakni menggelontorkan uang negara untuk kepentingan politik yang bersangkutan.

Padahal, sejumlah parpol pernah mengkritik keras kebijakan pemerintah yang dianggap memanfaatkan dana publik untuk pemenangan Pilpres 2009. Bentuknya, antara lain, adalah bantuan langsung tunai, kredit usaha rakyat, bantuan operasional sekolah, bantuan khusus mahasiswa, program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri, program pengentasan rakyat miskin di perkotaan, dan voucer pendidikan. Kebijakan itu menggunakan dana publik untuk kepentingan pemenangan pemilu presiden. Namun, praktik semacam itu tampaknya justru menjadi inspirasi untuk melahirkan gagasan dana aspirasi.

Resistensi publik pun semakin kuat karena tingkat kepercayaan rakyat rendah terhadap parpol dan lembaga perwakilan. Masyarakat masih belum sembuh sakit hatinya dengan usulan pembangunan gedung DPR yang dikatakan miring dengan rencana pagu dana hampir Rp 2 triliun.

Sebelumnya, proyek senada adalah pemasangan TV LCD di lift, pengadaan komputer, sistem pengamanan yang berlebihan di Kompleks Senayan, proyek pemagaran Kompleks DPR, dan sebagainya. Dengan demikian, wajar apabila hampir setiap usulan yang datang dari DPR selalu direaksi negatif oleh publik.

Rusak tatanan

Praktik seperti itu tidak dapat dibenarkan, selain merusak tatanan penyelenggaraan negara yang bersih dan benar. Pertama, pelaksana kebijakan, termasuk pemerataan pembangunan daerah, adalah ranah eksekutif. Fungsi DPR sangat tegas dan jelas, yaitu pengawasan, anggaran, dan legislasi.

Kedua, pemerataan di daerah sudah diatur dengan skema desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan memaksakan dana aspirasi, akan menabrak kaidah otonomi daerah karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun oleh pemerintah daerah dan disetujui lembaga perwakilan rakyat daerah, bukan oleh DPR.

Demikian pula argumentasi yang bersandar pada Pasal 15 Ayat (3) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, yang antara lain menyatakan DPR dapat mengajukan usul perubahan penerimaan dan pengeluaran RUU APBN, sangat mudah dipatahkan. Mereka lupa bahwa UU tersebut menegaskan kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada di lembaga eksekutif, bukan legislatif. Oleh sebab itu, pengguna anggaran bertanggung jawab kepada eksekutif sesuai dengan jenjang pemerintahannya sesuai dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Oleh karena itu pula, usulan yang mengesankan asal-asalan tersebut dibatalkan saja. Kalau ingin meniru praktik politik di negara yang sudah mapan demokrasinya, janganlah meniru kulit-kulitnya. Terlebih lagi kalau telah terbukti lebih banyak mudarat daripada manfaatnya bagi masyarakat.

Lebih baik meniru bagaimana menanamkan nilai-nilai demokrasi agar kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka benar-benar dipergunakan untuk mengelola negara demi mewujudkan kemakmuran dan keadilan. Sebutan yang terhormat bagi wakil rakyat bukanlah protokoler, melainkan sesungguhnya di hati sanubari rakyat.
Sumber: Kompas, 8 Juni 2010

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger