Headlines News :
Home » » Obituari: Titik-titik Tirta

Obituari: Titik-titik Tirta

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 09, 2010 | 4:20 PM

Di sebuah restoran bernuansa Jawa klasik di Jakarta, pria itu menyandarkan punggungnya di kursi kayu. Di atas sana langit mendung. Ia bergumam, "Dunia yang penuh keluhuran itu sudah tidak kembali lagi." Saat itu, empat tahun lalu, usianya sudah 71 tahun. Sebuah tongkat yang selalu membantunya berjalan bersandar di dekatnya. Kakinya-yang dulu dipakai untuk menyusuri jalanan di Yogyakarta dan Solo guna meneliti batik kuno-sudah goyah. Dia sudah lelah.

Sabtu akhir Juli lalu, segala kelelahan itu berakhir. Di usianya yang ke-75, Nusjirwan Tirtaamidjaja (Iwan Tirta) telah menorehkan titik terakhir dalam batik kehidupannya. Setelah dirawat sepuluh hari di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta, karena penyakit jantung dan paru-paru, dia berpulang. Selepas asar, di Karet Bivak, dia berbaring di samping ibunya.

"Batik itu berasal dari dua kata: amba yang berarti menulis, dan titik. Maksudnya, menulis lewat titik-titik yang terhubungkan, seperti halnya hidup," katanya di restoran itu. Ya, Iwan adalah batik. Dua pertiga hidupnya didedikasikan untuk kain tradisional ini. Awalnya dia mempelajari batik untuk mencari jawaban atas pertanyaan banyak orang asing saat dia sekolah di Amerika Serikat (pascasarjana hukum Universitas Yale).

Kebetulan, pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, itu kemudian mendapat hibah dari Yayasan John D. Rockefeller III untuk mempelajari tarian Keraton Kesunanan Surakarta. Tapi, dibanding tariannya, Iwan justru lebih tertarik pada apa yang dipakai para penari: batik.

Ia mendatangi satu per satu abdi dalem keraton (Solo dan Yogyakarta) untuk menanyakan motif batik klasik yang sudah punah, memelototi foto hitam-putih para penari bedaya dari abad silam, dan kemudian merekonstruksi (membuat kembali) batik-batik kuno yang tak lagi dibuat itu. Dari penelitian itu, pada 1966, dia mengeluarkan buku pertamanya tentang hal ini: Batik, Patterns and Motifs.

Tapi Iwan sadar, merekonstruksi batik yang sudah musnah saja tidak cukup. Kain klasik itu hanya akan menjadi koleksi museum. Batik akan sedikit demi sedikit hilang karena hanya dipakai orang tua. Untuk menghidupkan batik di masa modern, Iwan harus menjadikan kain itu busana orang modern. Hanya dengan demikian anak muda mau memakainya. Maka sejak 1970-an Iwan mulai dikenal sebagai perancang busana.

Menjadi perancang mode bukanlah tujuan utamanya. Dia hanya menjadikan hal itu sebagai alat untuk mempopulerkan batik. Karena itu, hampir semua koleksi busananya memakai batik. "Beliau berani membuat kain yang sebelumnya hanya menjadi bawahan dan basahan itu menjadi baju," kata perancang busana Poppy Dharsono.

Keberanian Iwan ini kemudian diikuti oleh para juniornya. Batik pun terlihat lebih muda dan populer. Di sinilah sumbangan terbesar Iwan terhadap batik. Dia tidak hanya mampu mengabadikan motif batik klasik, tapi juga membuatnya bernapas di kehidupan nyata. Membuatnya menjadi tren. Bahkan, beberapa tahun terakhir, Iwan mendesain batik untuk peralatan keramik.

Yang menarik adalah perlakuan Iwan terhadap batik. Meski untuk membuat baju dia harus memotong kain, Iwan tak mau memotong kain batik sembarangan. Dia menghargai batik lebih dari sebuah karya seni. "Di masa lalu, sebelum membatik, orang harus puasa dulu. Ada prosesi, ada kesungguhan, dedikasi," katanya di restoran itu. "Pemakainya juga merawatnya dengan baik, ditaburi bunga di lemari agar wangi. Tapi, sekarang, batik yang sudah sedikit lusuh langsung dibuat lap dan gombal. Dunia yang penuh keluhuran itu sudah tidak kembali lagi." (Qaris Tajudin)
Sumber: Tempo, edisi 24/39 tanggal 9 Agustus 2010
Ket foto: Nusjirwan Tirtaamidjaja (Iwan Tirta)

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger