Oleh Anis Hidayah
Direktur Eksekutif Migrant CARE
HANYA berselang dua hari setelah Presiden SBY membentuk tim penuntasan kasus Sumiati dengan menunjuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI sebagai ketua, kita kembali dikejutkan kabar yang tak kalah ekstremnya mengenai penganiayaan keji terhadap pembantu rumah tangga migran Indonesia di Arab Saudi.
Menurut kabar KBRI di Arab Saudi, jasad Kikim Komalasari ditemukan di tempat sampah di kota Abha, Arab Saudi. Diduga kuat Kikim merupakan korban penyiksaan dan pemerkosaan hingga meninggal dunia. Banyaknya luka dan lebam pada jasad itu menjadi bukti kuat bahwa korban meninggal dunia karena disiksa.
Hiruk-pikuk pemerintahan SBY-Boediono dalam merespons kasus Sumiati dan Kikim sama persis dengan yang pernah ditunjukkan pada kasus Ceriyati dan buruh migran lain apabila mengemuka di hadapan publik. Hingga kini kasus Ceriyati dan banyak kasus lain tak berpengujung dengan rasa keadilan bagi buruh migran.
Belum ada sanksi hukum bagi Ivone Sew, majikan Ceriyati, yang mungkin saat ini juga telah kembali mempekerjakan pembantu rumah tangga (PRT) migran dari Indonesia. Kita tak pernah tahu bagaimana sang majikan memperlakukan PRT yang baru.
Tidak adanya pola dan mekanisme baku dalam penyelesaian masalah buruh migran menegaskan, pemerintah masih reaktif menghadapi setiap persoalan buruh migran. Hingga kini, pemerintah belum memiliki mekanisme bantuan hukum yang permanen untuk semua negara tujuan buruh migran Indonesia. Hal ini sangat ironis mengingat terlalu banyak pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia di sejumlah negara.
Entah sudah berapa tim yang telah dibentuk SBY dalam merespons kasus-kasus buruh migran, tetapi tak dapat efektif menuntaskan kasus-kasus yang terjadi. Bahkan, tim gabungan tiga kementerian (Luar Negeri, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Hukum dan HAM) untuk pembelaan bagi ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati September lalu juga belum tampak nyata kinerjanya.
Kini, SBY kembali membentuk tim lintas kementerian untuk kasus Sumiati. Lalu bagaimana dengan Kikim, Nurhatin (disiksa hingga buta di Arab Saudi)? Sebuah berita yang dilansir Arab News (2/11) juga menyatakan ada satu PRT migran Indonesia yang akan dieksekusi mati di Arab Saudi setelah Lebaran Idul Adha. Hingga kini pemerintah belum melakukan validasi atas kebenaran berita ini.
Evaluasi menyeluruh
Derita luar biasa yang dialami Sumiati memang telah ditegaskan Presiden sebagai penyiksaan luar biasa dan di luar koridor perikemanusiaan. Jika kita tidak mampu memetik pelajaran dari kasus ini, maka sungguh sangat keterlaluan kita sebagai bangsa yang beradab dan berdaulat.
Setidaknya ada tiga poin utama yang harus jadi perhatian kita bersama. Pertama, kasus ini mestinya jadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penempatan dan perlindungan buruh migran yang terbukti gagal memberikan perlindungan.
Evaluasi ini untuk melihat efektivitas keseluruhan kebijakan yang ada, baik UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, nota kesepahaman dengan sejumlah negara tujuan, maupun peraturan lain. Termasuk kinerja 18 instansi berwenang dalam penempatan dan perlindungan buruh migran tetapi tak efektif bersinergi.
Kedua, evaluasi terhadap kinerja legislatif secara menyeluruh, baik pada tingkat legislasi, pengawasan, maupun anggaran. Tahun 2010, revisi UU No 39 Tahun 2004 telah jadi prioritas Prolegnas DPR. Akan tetapi, progres proses pembahasan belum tampak sama sekali. Bahkan, hingga kini DPR belum selesai membuat draf legal, padahal tahun 2010 tinggal sebulan.
Ditundanya pembahasan RUU PRT yang sejatinya prioritas 2010 juga pertanyaan besar dalam situasi di mana PRT migran Indonesia di sejumlah negara minim perlindungan. Tersendatnya penuntasan revisi MoU RI-Malaysia mengenai penempatan domestic workers yang sudah berjalan 1,5 tahun salah satunya karena Pemerintah Indonesia belum memiliki legislasi nasional untuk perlindungan PRT.
Ratifikasi konvensi buruh migran mestinya jadi concern bersama. Namun, ironisnya, ratifikasi ini tidak masuk dalam agenda Prolegnas DPR 2009-2014.
Ketiga, evaluasi terhadap kinerja kabinet, terutama menteri tenaga kerja dan menteri luar negeri. Terulangnya kembali kasus serupa dan tak hanya sekali bisa jadi pertimbangan bagi SBY untuk mengevaluasi kinerja kabinetnya. Masyarakat menunggu ketegasan SBY untuk secara obyektif dan tegas memberikan penilaian terhadap kinerja kabinet yang terbukti lemah dan tak punya kompetensi layak.
Diplomasi tingkat tinggi
Melengkapi buruh migran dengan telepon seluler, seperti dinyatakan SBY pascarapat kabinet (19/11), layak menuai kritik. Persoalan buruh migran sejatinya persoalan kegagalan negara menyediakan lapangan kerja dan kegagalan melindungi warga negara di luar negeri. Inti dari persoalan ini: lemahnya perlindungan hukum, penegakan HAM, penegakan hukum, dan diplomasi pemerintah yang tak bisa dijawab dengan alat komunikasi.
Penyelesaian kasus Sumiati sesungguhnya menuntut diplomasi tingkat tinggi antarkepala negara. SBY semestinya menyatakan protes langsung ke Raja Arab Saudi atas penganiayaan keji terhadap Sumiati dan menuntut tanggung jawab untuk menuntaskan kasus ini melalui proses hukum yang fair. Hal ini sungguh lebih strategis di mata internasional daripada pejabat negara setingkat menteri mendatangi rumah korban. Meskipun hal ini juga tidak salah, mestinya para pejabat memiliki skala prioritas dalam menuntaskan kasus-kasus buruh migran.
Moratorium
Sepanjang 2010, Migrant CARE setidaknya mencatat 5.635 PRT migran Indonesia mengalami persoalan serius di Arab. Persoalan meliputi penyiksaan, kekerasan seksual, tidak digaji, kerja over-time, dan kerja tak layak. Terjadinya kasus-kasus tersebut, termasuk kasus Sumiati, tak relevan dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan PRT migran. Ini lebih karena lemahnya perlindungan hukum kedua negara dan masih kuatnya praktik perbudakan di Arab Saudi.
Kasus Sumiati harus jadi daya dorong bagi Indonesia dan Arab Saudi untuk segera membentuk kesepakatan bilateral bagi perlindungan PRT migran Indonesia. Dalam proses menuju ke arah itu, pemerintah harus segera menyatakan moratorium atau penghentian pengiriman buruh migran ke Arab Saudi dan menyatakan Arab Saudi zona merah karena terbukti tak menghormati HAM.
Untuk itu, moratorium tak sekadar dipahami sebagai sikap politik, tetapi harus jadi momentum evaluasi menyeluruh sehingga terjadi perubahan dan perbaikan bagi perlindungan buruh migran.
Sumber: Kompas, 24 November 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!