alumnus Pascasarjana Sosiologi UI
Kasus Gayus HP Tambunan, sejak awal hingga kepergian ke Bali, merupakan simpul dari beberapa persoalan mendasar bangsa ini. Pertama, ini berkaitan secara serius dengan problem desolasi demokrasi di negeri ini. Kehancuran yang mendera aspek-aspek utama kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Hukum yang melempem. Kewibawaan kekuasaan yang lumpuh. Perilaku para pejabat yang memukul publik dengan hinaan.
Pada aras ini, kasus Gayus telah membangun semacam persekitaran sosial di antara oknum-oknum yang telah meraih privelese politik di dalamnya. Mutualisme ekonomi yang mengalir dari persekongkolan tengik ini meninggalkan luka yang semakin parah pada tubuh bangsa. Bukan saja pada aspek rasa keadilan masyarakat, tetapi juga pada titik konsistensi negara demokratik untuk menjamin perlindungan politik dan hukum bagi semua warga negara.
Kedua, kebalikan dari hal pertama di atas, kasus Gayus semestinya menjadi titik sasaran awal untuk memulai proses restorasi kehidupan bangsa. Namun, ini hanya dapat terjadi manakala lingkaran pejabat negara yang bermukim di posisi-posisi puncak kekuasaan memiliki kehendak politik yang kuat untuk menyelesaikan silang sengkarut persoalan Gayus dengan jernih dan adil. Yang diandaikan dalam konteks ini bukan hanya kesungguhan tersamar membedah tragedi ini, melainkan juga membangun pertanggungjawaban politik konkret.
Pada titik ini, penjelasan-penjelasan rasional yang bergerak dalam jangkauan rasa keadilan publik amat dibutuhkan untuk membersihkan ruang sosial dari luapan-luapan apatisme politik. Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan demikian. Bahwa para penyelenggara negara harus menyadari dan mengakui garis batas perilaku mereka dengan mempertimbangkan dan menghargai keseluruhan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Tanpa kesadaran semacam ini, kasus Gayus akan menjadi contoh yang baik bagi kejahatan-kejahatan politik yang menunggu di banyak tikungan jalan.
Chaos
Ketiga, bergerak menuju desolasi atau restorasi amat ditentukan aspek kemauan dan kemalasan politik para penguasa. Di atas kepentingan mana (siapa) mereka menunjukkan sikap politik. Posisi ini akan menentukan seberapa besar harapan publik berkaitan dengan perbaikan kehidupan bersama mendapatkan jawaban yang benar dari ruang kekuasaan. Dalam ungkapan yang jelas, apa yang sudah kelihatan gamblang dalam kasus Gayus, sepertinya dibuat menjadi suram, tidak terjamah. Berbelit-belit.
Soal berikutnya jelas terungkap dalam Editorial Media Indonesia (20/11). Bagaimana mungkin para pelaku kekuasaan mampu meretas kebuntuan yang ada ketika tangan-tangan kekuasaan politik terborgol dalam kasus-kasus busuk di negeri ini. Usaha meluruskan apa yang mengalami kebengkokan luar biasa dalam segenap perilaku politik kekuasaan bagaikan menumbuk lutut sendiri. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari praktik hukum dan politik sampai sejauh ini.
Apa yang sedang dibisikkan publik beberapa hari terakhir ini adalah kebutuhan yang semakin mendesak atas kualitas kepemimpinan politik di level negara. Gambaran yang persis adalah keberanian para pemimpin politik dalam mengurus bencana hukum dan politik yang ada. Seperti pengaduan Editorial Media Indonesia (18/11) agar pimpinan negara ke luar dari persembunyian kekuasaan untuk mengurus negara dengan wewenang politik yang ada.
Menganggap remeh keluhan publik akan menimbulkan keadaan yang semakin runyam. Jika masih ada kejujuran untuk memberikan kesaksian tentang politik kekuasaan di negeri barangkali salah satu ungkapan yang tepat adalah situasi chaotic yang tidak bisa dihentikan. Melubernya masalah hukum, korupsi, mafia pajak dan perilaku pejabat publik yang merisaukan merupakan penjelasan yang tidak terbantahkan dari kondisi political-chaotic ini. Kekuasaan yang terborgol memurukkan kehidupan bersama.
Total
Sekali lagi terbukti bahwa demokrasi di negeri ini belum mampu menjamin tumbuhnya perilaku kekuasaan yang adil. Peradaban politik yang menjunjung keadilan dan kebersamaan sosial mengalami kehancuran mengerikan akibat akumulasi kejahatan yang menggerogoti semua aspek kehidupan. Sikap saling melempar tanggung jawab yang diperagakan institusi penegakan hukum dan penjamin kehidupan publik menunjukkan totalitas situasi chaos yang mengurung kita. Sama sekali tidak ada kebanggaan yang bisa ditemukan dari sikap semacam ini.
Kekuasaan politik (ekonomi) tidak lagi menjadi alat bantu produktif terhadap ekspresi pemihakan demokrasi melainkan membeku sebagai alasan untuk memuluskan ambisi parsial antipublik. Demokrasi berada pada level mencemaskan ketika kebebasan negatif (negative liberty) seolah menjadi bagian dari demokrasi. Lihatlah bagaimana seorang Gayus yang telah merusakkan keadilan dan merontokkan kewibawaan negara dapat terus melenggang dalam aksi-aksi memuakkan.
Ini ekspresi dari serangkaian kebebasan negatif. Perilaku yang menistakan kehidupan bersama. Perilaku yang mengunci negara dalam bidikan kepentingan orang per orang, kelompok per kelompok, yang memiliki segala kekuatan (kekuasaan) yang dibutuhkan untuk mendirikan imperium of evil di Indonesia. Ini yang dikatakan filsuf Martha Nussbaum bahwa negative liberty adalah jebakan yang muncul dari euforia demokrasi yang tidak dibarengi dengan perbaikan sistem dan etika politik yang benar.
Ekstrem
Sungguh tidak hanya sekadar seperti makanan pencuci mulut ketika publik meneriakkan sikap-sikap politik paling ekstrem yang harus ditunjukkan para pemimpin di negeri ini. Berhenti menakar kekuatan citra politik yang sejak lama seolah melalaikan sikap tanggap serba cepat dan gesit atas berbagai masalah sosial politik yang ada. Sikap bertele-tele dalam mengusut berbagai macam dugaan kejahatan politik akan membantu recovery kepercayaan publik atas negara dan para pelaku kekuasaan.
Para penguasa tahu benar apa yang harus dilakukan. Langkah paling pertama barangkali berusaha melepaskan diri dari borgol-borgol yang menyandera positive liberty. Kebebasan dan kemerdekaan nurani dan politik yang diabdikan sepenuh hati kepada kebaikan bersama (publik). Membangun jarak kritis atas kekuasaan yang ada dalam genggaman merupakan langkah penting untuk meluputkan pelaku dan tubuh kekuasaan dari rasa enak yang menyuburkan kejahatan politik dan hukum. Pada masa yang semakin genting, ini yang belum terlihat dalam sepak terjang kekuasaan di negeri ini.
Sumber: Media Indonesia, 24 November 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!