Headlines News :
Home » » Malapraktik Kekuasaan

Malapraktik Kekuasaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, January 03, 2011 | 4:38 PM

Oleh Novri Susan
Pengajar di Departemen Sosiologi Fisip Unair

ANGKA Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 tidak berubah dari tahun 2009, yaitu 2,8 (Kompas, 27/10). Hal tersebut menunjukkan bahwa kepentingan sempit masih memengaruhi roda kekuasaan demokrasi negeri ini.


Seharusnya kepentingan umum menjadi filosofi kekuasaan demokrasi, agar pembangunan sebagai usaha kekuasaan mampu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, sekaligus memanusiakan manusia Indonesia. Namun, fenomena politik menyatakan lain. Proses pembangunan telah direduksi kepentingan sempit dalam struktur kekuasaan. Kepentingan yang tidak pernah berorientasi pada kebaikan bersama, berpihak pada diri sendiri dan memarjinalisasi hajat hidup orang banyak.

Malapraktik kekuasaan pun tidak bisa dihindarkan ketika kepentingan sempit mengakar menjadi nalar para elite politik. Seperti mengorupsi dana negara, menciptakan kebijakan yang tidak pro-rakyat miskin, sampai mengkhianati penegakan hukum di Indonesia.

Berbagai bentuk malapraktik kekuasaan di negeri ini telah banyak tercipta pada tahun pertama kekuasaan hasil Pemilu 2009. Sebut saja di antaranya skandal Century, para wakil rakyat yang malas masuk kerja namun rajin studi banding ke luar negeri dan menghabiskan dana negara triliunan rupiah, sampai kriminalisasi KPK.

Kepentingan sempit

Malapraktik kekuasaan telah mempercepat pembusukan kepercayaan publik terhadap para elite politik di Senayan, jajaran eksekutif, lembaga hukum, dan birokrasi pada masa pemerintahan Presiden SBY. Bagaimana tidak, kekuasaan di Indonesia didominasi oleh kepentingan sempit para elite politik yang perilakunya menyerupai serigala. Suka bergerombol buas dan siap memangsa proyek-proyek negara tanpa pandang bulu demi akumulasi rupiah di rekening pribadi. Mereka tidak mengenal etika dalam menjalankan kekuasaan, apalagi empati terhadap rakyat yang menjadi korban kebuasan mereka.

Kepentingan sempit elite politik telah menciptakan ’parlemen hitam’ yang angker, kotor, dan penuh tipu muslihat. Parlemen bukan menjadi tempat merancang kebijakan yang mampu menolong negeri ini dari jalan buntu pembangunan nasional. Bukan pula tempat merumuskan strategi penguatan fondasi sosial ekonomi kebangsaan yang berkeadilan. Namun, parlemen menjadi sarang para politisi menciptakan berbagai upaya memperkaya diri sendiri, hidup mewah, privilege dan kekuasaan.

Kepentingan sempit juga telah menciptakan ’eksekutif melempem’ yang tidak peka terhadap fakta kemiskinan, kesenjangan sosial akut, dan diskriminasi golongan-agama. Eksekutif melalui jajaran kabinet yang dipimpin Presiden SBY bahkan belum memberikan jawaban konkret pada masalah kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat miskin, kerusakan lingkungan dan infrastruktur, serta persoalan di tapal batas. Anehnya, klaim keberhasilan pembangunan suaranya sangat nyaring dan menutup diri dari kritik publik.

Akibat malapraktik kekuasaan, ekspektasi publik terhadap elite politik yang konsisten pada nilai-nilai demokrasi dan konstitusi negara bisa mengalami deprivasi (Tilly, 2004). Kondisi deprivasi atau kekecewaan batiniah atas harapan ini terlihat akut ketika secara kolektif di beberapa daerah masyarakat mengekspresikannya melalui aksi kekerasan: mulai dari aksi kekerasan antarkelompok sosial, aksi kekerasan melawan institusi keamanan, baik polisi maupun militer, serta aksi kekerasan radikalisme keagamaan.

Jika para elite politik masih mereproduksi malapraktik kekuasaan, pembusukan kepercayaan publik terhadap negara akan mengalami percepatan luar biasa. Jika pembusukan ini tidak direspons secara bijak oleh kekuasaan, selain akan memperparah penderitaan rakyat, juga akan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlawanan-perlawanan politik yang mendelegitimasi eksistensi negara berawal dari kepercayaan masyarakat yang hancur.

Orkestra penaklukan

Sangat diperlukan terobosan berani dan sistematis guna menaklukkan malapraktik kekuasaan yang mengancam eksistensi bangsa dan negara. Pada konteks ini, Presiden tetap merupakan pihak yang paling dipandang mampu, serta paling bertanggung jawab pada upaya penaklukan ini. Presiden memiliki legitimasi politik sebagai pemimpin pemerintah eksekutif sekaligus kepala negara yang dipilih langsung oleh rakyat. Paling tidak Presiden perlu dua langkah dasar yang berani dan sistematis untuk menaklukkan malapraktik kekuasaan.

Pertama, Presiden harus kembali berkomitmen pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Gerakan anti-korupsi masyarakat sipil di Indonesia melihat komitmen konkret itulah yang dipandang semakin pudar. Angka Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2010 yang stagnan tersebut adalah salah satu indikatornya.

Komitmen Presiden pada penegakan hukum dan pemberantasan korupsi bisa dimulai dengan memilih orang-orang yang kredibel profesionalitasnya, bersih, dan dipercaya oleh publik sebagai pemimpin lembaga-lembaga hukum. Seperti figur jaksa agung, walaupun sosok tersebut harus berasal dari luar lingkaran jaksa karier. Sayang sekali, publik masih saja menyaksikan tarik ulur tanpa guna bagi penegakan hukum di Indonesia oleh Presiden dan kepentingan-kepentingan sempit para elite politik.

Kedua, Presiden perlu berani menolak tuntutan serakah politisi untuk mendapatkan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Termasuk mengevaluasi satu tahun pemerintahan, agar anggota kabinet yang tidak mampu membuktikan praktik kekuasaan konstitusional bisa diganti yang lebih baik, walau anggota kabinet berasal dari partai koalisi atau bahkan dari Partai Demokrat sendiri.

Publik melihat SBY terlalu peragu, sering basa-basi, dan terlampau mengkhawatirkan stabilitas kekuasaannya. Jika Presiden adalah figur yang bersih, dan tidak memiliki dosa masa lalu, mengapa terkesan berkompromi dengan kepentingan sempit elite-elite politik?

Kalau saja Presiden berani mengelola kekuasaan eksekutifnya berdasar pada kepentingan umum, dan bukan kepentingan sempit, tentunya rakyat akan selalu memberi dukungan dan kepercayaan politik yang besar. Presiden pun bisa populer karena kualitasnya, bukan karena polesan bahasa tubuh yang artifisial. Secara ideal presiden memiliki keleluasaan dan kemampuan menciptakan orkestra penaklukan malapraktik kekuasaan para elite politik dengan kepentingan sempitnya. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan ketegasan seorang presiden.

Kutipan pernyataan Bung Karno tampaknya masih relevan direnungkan oleh elite-elite politik dalam struktur kekuasaan di negeri ini. "Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada di atas rakyat" (Cindy Adams, 2007). Maknanya jelas, bahwa kekuasaan berasal dari rakyat sehingga harus dijalankan demi kepentingan umum (rakyat).
Sumber: Kompas, 4 Januari 2011
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger