Profesor Riset, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
SETIAP diskursus mengenai wilayah perbatasan (border areas) lebih banyak dirangkaikan dengan isu keamanan, garis batas, ancaman dan aspek-aspek negatif lainnya. Reorientasi diskursus tentang wilayah perbatasan terjadi sejak berakhirnya 'Perang Dingin' (Cold War), tatkala perhatian dunia beralih kepada isu-isu ekonomi dan kesejahteraan. Di Indonesia, pendekatan keamaman begitu menyita perhatian di bawah pemerintahan Soeharto, kemudian berangsur direduksi tatkala potensi ancaman keamanan antar negara-negara di wilayah perbatasan berkurang.
Kendatipun berbagai kebijakan pembangunan wilayah perbatasan, MoU, Komite, Badan sudah dibentuk untuk mengurusi wilayah terpinggirkan ini, tetapi hasilnya sangat minim. Tumpang tindih program, ego sektoral, minimnya perhatian pemerintah pusat dan daerah mengakibarkan semua masalah menjadi terakumulasi hingga saat ini. Kelemahan utama dalam menangani wilayah perbatasan adalah rendahnya komitmen pemerintah untuk membangun SDM dan memahami sejarah serta kebudayaan masyarakat. Pembangunan fisik penting, tetapi tidak selalu koheren dengan mengkonstruksi kesadaran masyarakat mengenai wilayah perbatasan.
Border, Boundary dan Frontier
Di samping kata 'border', setiap studi mengenai wilayah perbatasan akan bersinggungan dengan istilah boundary dan frontier. Border adalah garis batas internasional; ketika perbatasan dilihat sebagai sebuah zona, hal itu sering dinamakan sebuah wilayah perbatasan (borderland). Pengertian wilayah perbatasan bertumpangtindih dengan garis batas (frontier), dan wilayah perbatasan terkadangkala dipakai juga untuk zona garis batas. Garis batas adalah zona atau titik temu dengan atau tanpa sebuah batas/wilayah (boundary) tertentu. Dengan demikian, perbatasan diartikan sebagai sebuah entitas fisik; di mana perwujudan relasi timbal balik dan saling ketergantungan sosial cukup intens antara berbagai kelompok masyarakat di dalam dan di luar garis batas.
Dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi berarti negara mengakui eksistensi dari setiap kelompok masyarakat, yang berada di dalam wilayah satu negara dan negara tetangga (NTT-NDTL), sehingga wilayah perbatasan dapat bermakna dalam batas-batas teritorial dan hak-hak warga masing-masing negara tetangga. Tipologi seperti ini ditandai oleh adanya pemukim, ada sarana dan prasarana, ada pemerintah serta ada negara tetangga, kendatipun jarang penduduknya, banyak terhampar tanah yang tidak digarap dan sering terjadi pelanggaran batas oleh penduduk, maka sifat perbatasan seperti itu dinamakan active border, seperti Indonesia dan Malaysia.
Border atau perbatasan dikaitkan juga dengan garis lurus (linearity) dan daerah atau wilayah (zonality); yang saling bersentuhan saat isu perbatasan dijadikan sebuah diskursus. Konsep linearity timbul tatkala munculnya negara moderen yang mengklaim diri mereka sebagai penguasa berdaulat terhadap wilayah perbatasan, seperti NTT, Kaltim, Kalbar dan Papua, yang memahami isu perbatasan dengan setiap batasnya; dan menerapkan jurisdiksi sebagai sebuah pijakan politis. Pemahaman akan linearity atau borderline menjadi dasar formil, ketika perjanjian batas antar negara (internasional) disahkan.
Dalam konsep zonality, border dipahami dalam konteks sosial dan ekonomi dari pada hukum; sebagaimana dihayati oleh penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten Belu, dan wilayah perbatasan Indonesia lainnya. Tingkat kesadaran ini diwujudkan oleh pemerintah Malaysia dengan membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, jalan lintas batas, jalan utama, fasilitas perbatasan, puskesmas, perumahan dan sekolah, seperti di Sarawak dan Tawau. Kendatipun kondisi wilayah perbatasan Malaysia lebih baik, tetapi pergeseran tapal batas atau pencurian sumberdaya alam yang mengganggu kedaulatan dan hak-hak teritorial NKRI sering terjadi.
Pemindahan tapal batas di wilayah NTT dan RDTL, pencurian kayu, perdagangan dan illegal logging adalah contoh, bagaimana rapuhnya wilayah perbatasan Indonesia, kendatipun mayoritas penduduk berasal dari etnis yang sama (e.g. Dawan). Atau, kewarganegaraan kelompok etnis berbeda negara, tidak menjamin kedaulatan dan keamanan negara tetangga. Konsep kontemporer tentang border berasal dari Pakta Perdamaian Westphalia tahun 1648, yang mengkonstruksikan sebuah sistim negara modern yang berdaulat, dan pengembangan kepemilikan pribadi. Keseriusan membahas tentang isu perbatasan terjadi saat setiap pemerintah mulai merumuskan mengenai batas-batas wilayahnya; seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan Malaysia dan Australia.
Di wilayah perbatasan, pemukim diklasifikasikan dalam tiga tipe, seperti: 1) pemukim yang berada pada garis batas internasional (Kalimantan-Malaysia) dan bepergian untuk tujuan perdagangan, bertamasya dan pola-pola kegiatan ini bersifat rutin. 2) Pemukim yang berada selalu dalam potensi konflik sebab faktor teritorial atau kontroversi politik, seperti Indonesia-RDTL dan Malaysia-Indonesia. 3) Pemukim di wilayah perbatasan yang berinteraksi dengan kelompok etnis (Papua-PNG), dan telah bergenerasi hidup bersama dalam keharmonisan, sebab faktor sejarah nilai dan perilaku warganya.
Sejak konsep negara dikembangkan hingga awal abad ke-20, klaim pemilikan dan konflik baik antarindividu, kelompok maupun antarnegara (al. kasus Pulau Ambalat, Ligitan dan Sepadan, antara Indonesia dan Malaysia, Pulau Pasir/Ashmore Reef antara nelayan Pulau Rote dan Australia) terus berlangsung. Setiap negara berdaulat tidak dapat bebas dari klaim-klaim wilayah, dan agar dapat eksis dan berdaulat, maka penetapan dan pengawasan serta pengembangan wilayah berhubungan erat dengan konsep tentang border, borderlands, boundary dan frontier. Perhatian NKRI terhadap wilayah perbatasan meliputi isu ekonomi, politik, keamanaan, tetapi sangat minim perhatian kepada isu-isu sosial dan kebudayaan.
Kajian-kajian tentang sejarah dan etnografi sangat membantu; untuk memahami isu etnisitas dan wilayah perbatasan dengan proses integrasinya ke dalam negara bangsa, di mana terdapat perbedaan konsep tentang makna perbatasan (fisik dan budaya); di antara Pemerintah Indonesia dan kelompok etnis di wilayah perbatasan NTT, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur serta Papua. Mengkaji kondisi wilayah perbatasan di sejumlah negara lainnya membuktikan bahwa; di wilayah perbatasan itu berlangsung juga relasi tidak setara di antara berbagai komunitas etnis dan negara.
Isu Perbatasan: Batas Imajiner?
Indonesianis, Benedict Anderson yakin bahwa apa yang dinamakan dengan identitas nasional adalah sesuatu yang dikreasikan melalui jalur komunikasi. Khususnya untuk istilah nation (bangsa). Ia menyebutkannya sebagai sebuah entitas yang 'terbayangkan' (imagined community), dan identitas nasional merupakan konstruksi yang dirajut, dan diikatkan dengan simbol dan ritual beserta klasifikasi geografis dan administratif. Bagi negara-negara bangsa yang baru timbul, seperti Indonesia dengan batas-batasnya terkini adalah warisan kolonial, yang kemudian diadopsi dan dijustifikasi dengan perjanjian antarnegara tetangga.
Pertimbangan politik dan ekonomi menjadi faktor penting dalam penentuan demarkasi wilayah antara negara penjajah pada abad 19 dan 20, sebagaimana yang dilakukan oleh pihak Belanda pada tahun 1846, kemudian dibicarakan kembali dengan pihak Inggris tahun 1891 dan diratifikasikan tahun 1915 melalui Traktat London. Ratifikasi itu dilakukan jauh di London atau pun Den Haag, tanpa sepengetahuan para subyek-subyek jajahan mereka. Atau pertimbangan kultural, agama, linguistik, pola mobilitas maupun formasi-formasi hubungan sosial maupun jaringan perdagangan tradisional; seperti kasus nelayan NTT dan Australia di Pulau Pasir, tidak pernah menjadi dasar bagi penentuan batas negara. Batas-batas Negara Asia Tenggara dewasa ini tidak berpotongan dengan batas-batas kultural secara persis.
Pengakuan konstitusional atas wilayah perbatasan sebagai bagian integral NKRI, tidak serta merta menjadi jaminan akan perlakuan yang setara dan adil untuk semua kelompok etnis, teristimewa mereka yang berbeda dan jauh dari sentra-sentra pemerintahan, ekonomi, bisnis dan pendidikan. Kebijakan pembangunan yang sentralistik selama tiga dekade oleh pemerintahan Orde Baru merupakan antitesa terhadap amanah konstitusi mengenai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wilayah perbatasan Indonesia seperti Kalimantan Timur (Nunukan) dengan Tawau, Kalimantan Barat (Entikong) dengan Sarawak, Kabupaten Belu dengan NDTL, Papua dengan PNG, Sulawesi Utara (Miangas) dan Filipina menjadi contoh; bagaimana pembenahan wilayah perbatasan Indonesia yang tidak tersinergikan, apalagi minimnya jaminan terhadap hak-hak kelompok etnik (minoritas), seperti Dayak, Papua, Dawan.
Realitas Kekinian
Karakteristik umum wilayah perbatasan Indonesia, termasuk NTT adalah terkebelakang dalam pembangunan, rendahnya infrastruktur, terjadinya pelintas batas ilegal, perdagangan barang ilegal, pemindahan tapal batas secara sepihak, dan label negatif lainnya terhadap halaman depan negara itu. Rendahnya produktivitas kendatipun menetap di lingkungan yang kaya akan sumberdaya alam, belum terintegrasinya sistim ekonomi pasar ke dalam aktivitas ekonomi masyarakat merupakan isu-isu kritikal untuk memahami, dan mencari solusi bagi masyarakat di daerah perbatasan.
Menyadari akan kondisi sosial, ekonomi dan kebudayaan itu, maka berbagai kelompok masyarakat perlu dipertimbangkan eksistensi dan hak-haknya yang telah mereka 'serahkan' kepada NKRI. Aspek kebudayaan di antara kelompok etnis yang sama dan memiliki hubungan sejarah tidak diselesaikan secara politik, ketika Indonesia menyatukan semua etnis berbeda di bawah NKRI. Kendatipun demikian, kebudayaan kelompok etnis (minoritas) akan bertahan melawan semua barikade politik dan hukum-hukum formal.
Oleh karena terbatas dan sering terjadi kontestasi antara kelompok etnis dan negara yang dicirikan oleh identitas, sebagaimana dikonfigurasi oleh sentral kekuasaan, dengan konsekuensi masyarakat harus menyelaraskan diri mereka, sesuai dengan pengalaman-pengalaman dalam berinteraksi. Atau, bagaimana berbagai identitas itu direkonstruksikan oleh para pihak berkepentingan dengan masyarakat dan wilayah perbatasan.
Perlu juga ditegaskan bahwa setiap kajian tentang wilayah perbatasan, menjadi menarik dan menimbulkan kesadaran bahwa isu perbatasan berkaitan erat dengan identitas nasional sebagai akibat dari politisasi etnisitas. Memusatkan perhatian kepada wilayah perbatasan, tidak otomatis mengkristalkan identitas nasional yang disandang oleh kelompok-kelompok etnis dengan hak-hak mereka. Dari sejumlah pengalaman hubungan kelompok etnis dan negara terpampang jelas bahwa identitas nasional terjadi ketika etnisitas dipolitisasikan dalam upaya untuk mencapai penentuan nasib sendiri (self-determination). Terkadang, proses self-determination memarjinalkan kelompok etnis minoritas oleh kelompok mayoritas tentang pembangunan bangsa, seperti yang dialami oleh kelompok etnis Dayak, Dawan dan Papua.
Minimnya perhatian terhadap daerah perbatasan berdampak pada munculnya rivalitas di antara warga sesama kelompok masyarakat. Saat ini di setiap wilayah perbatasan Indonesia, sementara berlangsung redefenisi identitas, rekonseptualisasi makna dan repetisi kesejarahan masa silam. Rekonseptualisasi tentang hubungan antara masyarakat wilayah perbatasan dan pemerintah pusat diharapkan dapat menuntaskan sejumlah kasus, seperti PT Freeport di Papua, HPH di Kalimantan, Perusahaan Tambang Batubara Bumi Resources di Sangata, Kalimantan Timur, teristimewa isu Timor Gap serta Ashmore Reef/Pulau Pasir antara Indonesia, RDTL dan Australia.
Dalam konteks NTT, tampaknya pemerintah (pusat dan daerah) memiliki peran signifikan di pusat kekuasaan, tetapi lunglai di daerah perbatasan yang serba terbatas itu. Indikasinya, masih terlantarnya masyarakat dengan kondisi hidup sosial dan ekonomi yang sangat memrihatinkan, seakan-akan mereka bukan warga resmi di NKRI. Kunjungan rutin para pejabat, pembentukan berbagai organisasi untuk menangani wilayah perbatasan, merupakan selebrasi birokrasi, tetapi masyarakat sekadar menjadi penonton di rumah mereka sendiri. Tanpa membenahi wilayah perbatasan Indonesia (NTT) secara komprehensif dan serius, maka wacana tentang kedaulatan NKRI, tidak lebih dari impian sesaat dalam diskusus berbangsa dan bernegara.
Sumber: Pos Kupang, 8 Februari 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!