Headlines News :
Home » » Ziarah Intelektual ke Papua

Ziarah Intelektual ke Papua

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, March 27, 2012 | 11:35 AM

Steph Tupeng Witin, SVD
Alumnus Magister Jurnalistik IISIP Jakarta

PADA 26 Januari 2012 lalu, di kantor Imparsial Jakarta, berlangsung diskusi dan peluncuran buku berjudul Paradoks Papua, Pola-Pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif dengan Fokus di Kabupaten Keerom.

Melalui buku itu, Cypri Paju Dale (peneliti-aktivis LSM) dan Pastor John Djonga, Pr (penerima penghargaan HAM Yap Thian Hiem Rights Award 2009) mengajak pembaca berziarah intelektual guna memotret realitas Papua, khususnya di Kabupaten Keerom.

Kabupaten ini berbatasan dengan Papua Nugini (PNG) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayapura sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Keerom dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama lebih kurang satu jam dari ibu kota provinsi. Artinya, kabupaten itu memiliki akses yang lebih dekat dengan kota provinsi yang tentu saja lebih maju dalam berbagai aspek kehidupan dibanding wilayah lain yang terisolasi. Keerom juga merupakan salah satu daerah sasaran transmigrasi sebelum dihentikan pada tahun 2000.

Papua menjadi bagian republik ini sejak tahun 1969. Dengan kata lain, sudah setengah abad Papua menjadi bagian dari Indonesia. Ketika memegang buku ini, pertanyaan yang muncul: apakah sesungguhnya ketidakadilan sosial yang diderita rakyat Papua? Apakah benar bahwa di tengah derasnya berbagai program pembangunan yang digulirkan Jakarta yang dilanjutkan dengan eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan justru kian meminggirkan hak asasi orang Papua atas pembangunan? Utamanya hak untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan menikmati hasil-hasil pembangunan?

Buku ini menganalisis persoalan Papua dengan tiga sudut pandang: keadilan sosial, hak atas pembangunan, dan kebijakan afirmatif sebagaimana yang menjadi komitmen otonomi khusus. Halaman-halaman buku menghadirkan beragam informasi yang terekam melalui data dan analisis yang menggugah untuk membaca tiga persoalan tersebut dengan nurani yang berpihak pada rakyat Papua.

Terpinggirkan

Data yang ditemukan menggambarkan terabaikannya eksistensi rakyat Papua dalam arus pembangunan. Beragam kebijakan yang digulirkan kian meminggirkan rakyat Papua. Lihat saja program transmigrasi, pembukaan perusahaan perkebunan kelapa sawit, aktivitas ekonomi dan pemekaran yang diikuti dengan migrasi spontan, termasuk para pegawai dan pejabat pemerintah, menjadi medium "penyingkiran" rakyat Papua dalam segala dimensi hidup.

Penduduk Keerom berjumlah 48.536 jiwa. Warga asli Papua hanya 40,44 persen yang menempati wilayah pedalaman dengan akses pembangunan (kesehatan, pendidikan, listrik, dan transportasi) minim, sedangkan penduduk non-Papua 59,56 persen merupakan kelompok yang menempati dan menguasai pusat-pusat pembangunan dengan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan pemerintahan yang memadai.

Penduduk non-Papua memiliki akses dan dominasi yang besar. Mereka menguasai pasar ekonomi dan politik di Papua.

Komposisi penduduk dan akses terhadap pembangunan memengaruhi struktur pegawai negeri sipil (PNS) dan posisi publik lain. Dari total sekitar 2.000 PNS pada tahun 2009, sebanyak 51,1 persen adalah non-Papua. Sisanya, asli Papua. Dari sisi komposisi, populasi berimbang. Namun, dari kepangkatan dan peran, PNS asli Papua menduduki jabatan rendahan.

Pada Mei 2011, misalnya, dari 39 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), hanya tujuh orang (18 persen) yang orang asli Papua, sementara dari 21 anggota DPR-P, lima orang (23 persen) asli Papua. Tentu ada banyak faktor yang memungkinkan komposisi tersebut. Meski demikian, apa pun alasan dan latar belakangnya, yang pasti akses warga asli Papua dalam ranah publik eksekutif dan legislatif lebih rendah.

Kemampuan negara memberi pelayanan publik (pendidikan, kesehatan, transportasi/PKT) di daerah pedalaman yang menjadi ruang hidup orang asli Papua berbanding terbalik dengan kemampuan menghadirkan aparat militer. Makin ke pedalaman, tambah sulit menemukan dokter atau guru, tetapi mudah menemukan aparat keamanan.

Akses penduduk asli Papua terhadap PKT terkait dengan ketersediaan, jarak tempuh, dan kualitas pelayanan sangat minim. Mayoritas fasilitas kesehatan dan sarana pendidikan umumnya berada di kota kabupaten dan lebih dinikmati warga non-Papua yang menempati pusat pemerintahan.

Gugah Nurani

Fakta ketidakadilan dan marjinalisasi sebagaimana yang ditemukan di Keerom ini tentu saja tidak serentak menyimpulkan bahwa pola yang sama terjadi di seluruh tanah Papua. Tapi, penelitian ini sekurang-kurangnya menyingkap gejala penting sebagai jendela untuk menelusuri kabupaten-kabupaten lain (di Papua). Tujuan negara untuk menciptakan keadilan sosial bagi semua warga belum dirasakan warga asli Papua, terutama yang tinggal di wilayah pedalaman.

Pelayanan dalam bidang pemerintahan, kesehatan, pendidikan, serta pembangunan lebih dinikmati kelompok pendatang yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Sebaliknya, tanah dan kekayaan alam Papua diambil negara secara masif yang direpresentasi pemerintah dan aparat militer. Imparsial, misalnya, mencatat partisipasi aparat militer dalam bisnis keamanan di Freeport, illegal logging, konflik tanah, dan perampasan perangkat adat (Bdk Sekuritisasi Papua. Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Kondisi HAM di Papua, Imparsial, 2011, hal 184-195).

Buku adalah medium penggugah kesadaran nurani untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan kesadaran kemanusiaan. Sekecil apa pun persoalan dalam kebijakan pembangunan mesti setia dikritik agar tidak membesar menjadi bencana kemanusiaan. Fakta ketidakadilan sosial dalam pembangunan dan marjinalisasi penduduk asli Papua melalui beragam program pembangunan telah menjadi bencana kemanusiaan hampir setengah abad di Papua.

Tidak terhitung rakyat sipil dan pejuang HAM yang terkubur tanpa nama dan identitas di rahim tanah Papua. Negara telah gagal dan abai dalam membangun kesejahteraan rakyat. Keadilan sosial dan hak atas pembangunan masih jauh. 
Sumber: Koran Jakarta, 27 Maret 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger