Steph Tupeng Witin, SVD
Alumnus Magister Jurnalistik IISIP Jakarta
PADA 26 Januari 2012 lalu, di kantor Imparsial Jakarta, berlangsung diskusi dan peluncuran buku berjudul Paradoks
Papua, Pola-Pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas Pembangunan
dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif dengan Fokus di Kabupaten Keerom.
Melalui
buku itu, Cypri Paju Dale (peneliti-aktivis LSM) dan Pastor John
Djonga, Pr (penerima penghargaan HAM Yap Thian Hiem Rights Award 2009)
mengajak pembaca berziarah intelektual guna memotret realitas Papua,
khususnya di Kabupaten Keerom.
Kabupaten
ini berbatasan dengan Papua Nugini (PNG) yang merupakan pemekaran dari
Kabupaten Jayapura sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Keerom
dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama lebih kurang satu jam
dari ibu kota provinsi. Artinya, kabupaten itu memiliki akses yang lebih
dekat dengan kota provinsi yang tentu saja lebih maju dalam berbagai
aspek kehidupan dibanding wilayah lain yang terisolasi. Keerom juga
merupakan salah satu daerah sasaran transmigrasi sebelum dihentikan pada
tahun 2000.
Papua
menjadi bagian republik ini sejak tahun 1969. Dengan kata lain, sudah
setengah abad Papua menjadi bagian dari Indonesia. Ketika memegang buku
ini, pertanyaan yang muncul: apakah sesungguhnya ketidakadilan sosial
yang diderita rakyat Papua? Apakah benar bahwa di tengah derasnya
berbagai program pembangunan yang digulirkan Jakarta yang dilanjutkan
dengan eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan justru kian
meminggirkan hak asasi orang Papua atas pembangunan? Utamanya hak untuk
berpartisipasi dalam proses perencanaan dan menikmati hasil-hasil
pembangunan?
Buku
ini menganalisis persoalan Papua dengan tiga sudut pandang: keadilan
sosial, hak atas pembangunan, dan kebijakan afirmatif sebagaimana yang
menjadi komitmen otonomi khusus. Halaman-halaman buku menghadirkan
beragam informasi yang terekam melalui data dan analisis yang menggugah
untuk membaca tiga persoalan tersebut dengan nurani yang berpihak pada
rakyat Papua.
Terpinggirkan
Data
yang ditemukan menggambarkan terabaikannya eksistensi rakyat Papua
dalam arus pembangunan. Beragam kebijakan yang digulirkan kian
meminggirkan rakyat Papua. Lihat saja program transmigrasi, pembukaan
perusahaan perkebunan kelapa sawit, aktivitas ekonomi dan pemekaran yang
diikuti dengan migrasi spontan, termasuk para pegawai dan pejabat
pemerintah, menjadi medium "penyingkiran" rakyat Papua dalam segala
dimensi hidup.
Penduduk
Keerom berjumlah 48.536 jiwa. Warga asli Papua hanya 40,44 persen yang
menempati wilayah pedalaman dengan akses pembangunan (kesehatan,
pendidikan, listrik, dan transportasi) minim, sedangkan penduduk
non-Papua 59,56 persen merupakan kelompok yang menempati dan menguasai
pusat-pusat pembangunan dengan akses pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan pemerintahan yang memadai.
Penduduk non-Papua memiliki akses dan dominasi yang besar. Mereka menguasai pasar ekonomi dan politik di Papua.
Komposisi
penduduk dan akses terhadap pembangunan memengaruhi struktur pegawai
negeri sipil (PNS) dan posisi publik lain. Dari total sekitar 2.000 PNS
pada tahun 2009, sebanyak 51,1 persen adalah non-Papua. Sisanya, asli
Papua. Dari sisi komposisi, populasi berimbang. Namun, dari kepangkatan
dan peran, PNS asli Papua menduduki jabatan rendahan.
Pada
Mei 2011, misalnya, dari 39 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), hanya
tujuh orang (18 persen) yang orang asli Papua, sementara dari 21
anggota DPR-P, lima orang (23 persen) asli Papua. Tentu ada banyak
faktor yang memungkinkan komposisi tersebut. Meski demikian, apa pun
alasan dan latar belakangnya, yang pasti akses warga asli Papua dalam
ranah publik eksekutif dan legislatif lebih rendah.
Kemampuan
negara memberi pelayanan publik (pendidikan, kesehatan,
transportasi/PKT) di daerah pedalaman yang menjadi ruang hidup orang
asli Papua berbanding terbalik dengan kemampuan menghadirkan aparat
militer. Makin ke pedalaman, tambah sulit menemukan dokter atau guru,
tetapi mudah menemukan aparat keamanan.
Akses
penduduk asli Papua terhadap PKT terkait dengan ketersediaan, jarak
tempuh, dan kualitas pelayanan sangat minim. Mayoritas fasilitas
kesehatan dan sarana pendidikan umumnya berada di kota kabupaten dan
lebih dinikmati warga non-Papua yang menempati pusat pemerintahan.
Gugah Nurani
Fakta
ketidakadilan dan marjinalisasi sebagaimana yang ditemukan di Keerom
ini tentu saja tidak serentak menyimpulkan bahwa pola yang sama terjadi
di seluruh tanah Papua. Tapi, penelitian ini sekurang-kurangnya
menyingkap gejala penting sebagai jendela untuk menelusuri
kabupaten-kabupaten lain (di Papua). Tujuan negara untuk menciptakan
keadilan sosial bagi semua warga belum dirasakan warga asli Papua,
terutama yang tinggal di wilayah pedalaman.
Pelayanan
dalam bidang pemerintahan, kesehatan, pendidikan, serta pembangunan
lebih dinikmati kelompok pendatang yang memiliki kekuatan ekonomi dan
politik. Sebaliknya, tanah dan kekayaan alam Papua diambil negara secara
masif yang direpresentasi pemerintah dan aparat militer. Imparsial,
misalnya, mencatat partisipasi aparat militer dalam bisnis keamanan di
Freeport, illegal logging, konflik tanah, dan perampasan perangkat adat
(Bdk Sekuritisasi Papua. Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Kondisi HAM di Papua, Imparsial, 2011, hal 184-195).
Buku
adalah medium penggugah kesadaran nurani untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan kesadaran kemanusiaan. Sekecil apa pun persoalan
dalam kebijakan pembangunan mesti setia dikritik agar tidak membesar
menjadi bencana kemanusiaan. Fakta ketidakadilan sosial dalam
pembangunan dan marjinalisasi penduduk asli Papua melalui beragam
program pembangunan telah menjadi bencana kemanusiaan hampir setengah
abad di Papua.
Tidak
terhitung rakyat sipil dan pejuang HAM yang terkubur tanpa nama dan
identitas di rahim tanah Papua. Negara telah gagal dan abai dalam
membangun kesejahteraan rakyat. Keadilan sosial dan hak atas pembangunan
masih jauh.
Sumber: Koran Jakarta, 27 Maret 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!