Ketua
Ikatan Dosen dan Instruktur Penerbangan Curug
ICAO membagi
tahapan dekade keselamatan pe nerbangan dalam tiga tahapan, yaitu fragile
system (1920-1970), safe system (1970-1990), dan ultrasafe
system (1990 ke depan). Dalam tahapan fragile system upayaupaya
peningkatan keselamatan penerbangan diarahkan kepada manajemen risiko
individual dengan mengedepankan pelatihan-pelatihan yang intensif.
Pendekatan itu
digabungkan dengan mengambil pembelajaran dari hasil-hasil investigasi
kecelakaan pesawat. Pada kurun waktu ini terjadi satu kecelakaan setiap seratus
kegiatan penerbangan.
Dalam
tahapan safe system peningkatan keselamatan penerbangan
dilakukan melalui pendekatan teknologi dan regulasi, yaitu teknologi penerbangan
yang makin canggih dan regulasi yang semakin ketat. Dalam periode itu
pembelajaran diambil dari hasil-hasil investigasi insiden di samping
investigasi kecelakaan. Target kecelakaan ialah satu kecelakaan setiap sepuluh
ribu penerbangan.
Dalam tahapan ultrasafe
system pendekatan yang dilakukan ialah peningkatan keselamatan dengan
pola manajemen bisnis (safety management system). Pembelajaran bukan
hanya dari hasil-hasil investigasi kecelakaan dan insiden, melainkan juga dari
hasil-hasil observasi terha dap operasi normal penerbangan sehari-hari. Dalam
kurun waktu itu diharapkan kecelakaan fatal hanya terjadi satu kali dalam
sejuta penerbangan.
Ultra = Safe
System
Sungguh sangat
tragis, di celah program ultrasafe system ICAO, dengan ban dar udara dan ATC
serta maskapai penerbangan harus secara bertahap melaksanakan SMS (safety
management system) kita dihadapkan pada realitas tragis pesawat angkut
komersial Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) yang sedang mempromosikan diri. Dalam
dunia penerbangan kita tidak boleh bertanya siapa yang salah.
Pertanyaan siapa
yang salah ialah pertanyaan pidana yang sangat tidak efektif dalam upaya
peningkatan keselamatan penerbangan. Pertanyaan yang benar ialah apa yang
salah? Ketika ada indikasi human error dalam suatu kecelakaan, investigasi
justru baru dimulai, yaitu apa yang salah dalam sistem penerbangan? Human error
merupakan konsekuensi sistem yang kurang baik dan sistem memang tidak pernah
sempurna karena di dalamnya terdapat berbagai konflik dan kontradiksi.
Dalam tahapan safe
system ICAO dikatakan bahwa pada bahwa pada kurun waktu 1970-1990
pendekatan yang dilakukan ialah investigasi insiden. Pendekatan itu berdasarkan
pada teori yang mengatakan dari 600 insiden bisa terjadi satu kecelakaan fatal.
Negara kita telah
mencantumkan kewajiban melaporkan setiap insiden dalam Undang-Undang
Penerbangan No 1 Tahun 2009. Pelaksanaan wajib lapor dan analisisnya bukan
pekerjaan mudah. Negara kita sangat luas dengan ratusan bandar udara dan
kemungkinan ribuan insiden per tahun. Pelaksanaan investigasi insiden
memerlukan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia dan perubahan struktur
organisasi.
Pelaksanaan
investigasi insiden juga sangat berkaitan erat dengan budaya. ICAO membagi
negara dalam tiga tahapan budaya penerbangan, yaitu patologis, birokrasi, dan
generatif. Pelaksanaan wajib lapor dan investigasi insiden tidak dapat
dilaksanakan di negara yang masih dalam tataran patologis dan birokrasi.
Di negara
patologis laporan insiden selalu disembunyikan dan kegagalan (failures)
ditutupi. Di negara birokrasi laporan insiden diabaikan dan kegagalan dimaafkan
tanpa penelitian. Di negara generatif laporan insiden selalu dicari dan
kegagalan diteliti dengan cermat untuk kemudian diperbaiki.
Situational
Awareness
Salah satu hal yang
harus diperhatikan dalam penerbangan ialah situational awareness, yaitu
faktor-faktor yang merupakan ancaman (threat) yang harus menjadi
perhatian penerbang. ICAO telah mengungkapkan beberapa faktor tersebut,
yaitu passengers, terrain, ATC, call sign, time pressure,
flight diversion, system malfunction, missed approach, automation, airport,
heavy traffic, ground crew, maintenance, weather, cabin crew, dan distraction.
Faktor-faktor
tersebut harus diperhatikan penerbang, konsekuensi dan risikonya dikalkulasi,
dan diambil tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga faktor-faktor tersebut
tidak membentuk human error. Pengelolaan ancaman (threat
management) yang tidak benar akan menumbuhkan human error dan
pengelolaan kesalahan manusia (human error management) yang tidak benar
akan menumbuhkan gerakan pesawat yang tidak dikehendaki (undesired state of
aircraft). Pengelolaan yang tidak benar terhadap gerakan pesawat yang salah
itu akan menumbuhkan kecelakaan atau insiden.
Dalam
penerbangan SSJ100, ancaman yang harus diwaspadai penerbang ialah terrain(gunung,
bukit yang tidak diketahui dengan baik oleh penerbang), heavy
traffic (lalu lintas udara yang padat di Jakarta Control Area dan
Jakarta Control Zone), time pressure (tekanan untuk melakukan
demo berkali-kali), weather (cuaca di sekitar Jakarta yang
masih musim hujan, banyak pembentukan awan), dan system malfunction (sistem
peringatan dini atau ground proximity warning system/GPWS ketika
terbang terlalu rendah yang mungkin tidak berfungsi).
Tidak
mengenal terrain (bukit, gunung) dengan baik akan
menumbuhkan human error, yaitu minta turun ke ketinggian 6.000
kaki. Bila human error ini tidak dikelola dengan baik (tidak dikoreksi teman
sejawat), jadilah gerakan pesawat yang tidak benar, yaitu turun ke ketinggian
6.000 kaki. Bila gerakan tidak benar itu tidak dikoreksi dengan baik melalui
GPWS, jadilah tragedi menabrak gunung.
Dalam
dokumen Human Factors ICAO tentang Organisasi dan Manajemendiungkapkan
tentang kasus DC-10 yang menabrak Gunung Erebus di Kutub Selatan. Pesawat
tersebut dalam penerbangan wisata (joy flight) membawa penumpang yang
ingin melihat gunung di Kutub selatan. Dalam hasil investigasi diungkapkan
bahwa salah satu faktor yang berkontribusi dalam kecelakaan ialah keputusan
manajemen yang memasang kapten pilot dan kopilot yang sama-sama belum pernah
terbang ke daerah tersebut sehingga ketika terjebak fenomena white-out,
pilot tidak menyadari pesawatnya menuju dan kemudian menabrak gunung.
Mengapa SSJ100
menabrak gunung? KNKT tentunya nanti yang akan memberikan jawaban. Semoga
kecelakaan itu bisa menjadi bahan pembelajaran di masa depan.
Sumber: Media
Indonesia, 12 Mei 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!