Rohaniwan,
Lulusan Program Doktor
Universitas
Pontificio Istituto di SpiritualitàTeresianum, Roma;
Bekerja
dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia
Artikel ”Puasa dan
Kesalehan Publik” yang ditulis Masdar Hilmy (Kompas, 4 Agustus 2012) menegaskan
bahwa sejauh ini terminologi agama hanya mengenal kesalehan individual-vertikal
dan kesalehan sosial-horizontal. Maka perlu ditambahkan kesalehan publik-diagonal
yang mengatur pola relasi warga masyarakat dengan struktur negara.
Kesalehan
publik-diagonal meniscayakan hubungan timbal balik warga negara dengan struktur
negara. Menurut Masdar, hubungan itu dimediasi oleh seperangkat peraturan
perundang-undangan yang diinspirasi nilai-nilai substantif agama.
Namun, dalam
praktiknya justru ada dua persoalan yang muncul dalam proses mediasi dan
perumusan aturan perundang-undangan di atas.
Negara dan Agama
Persoalan pertama
menyangkut bentuk mediasi yang melibatkan warga negara, negara dan agama. Yang
sering tampak di ranah publik adalah kekaburan peran negara. Negara yang
mendefinisikan diri sebagai bukan negara agama dan sekaligus bukan negara
sekuler, seperti Indonesia, kesulitan menentukan peran dalam mediasi. Keterlibatan
negara sering memicu polemik karena tidak jelas sebagai mediator atau campur
tangan dalam urusan internal agama.
Absennya kesalehan
publik tidak bisa dibebankan sepenuhnya pada agama-agama. Bukan wewenang agama
untuk merumuskan undang-undang dan mengatur struktur negara. Kesalehan publik
harus diwujudkan dalam kehidupan berwarga negara melalui penerapan nilai-nilai
kewarganegaraan di ranah publik, yakni keutamaan publik.
Persoalan kedua
berkaitan dengan reduksi dan politisasi nilai substantif agama di ranah publik.
Isu-isu publik yang berinspirasi keagamaan dan yang diusung sangat diseleksi
dan tidak komprehensif menanggapi kebobrokan kehidupan publik. Isu-isu tertentu
diberi bobot keagamaan hanya untuk meraup atau pencitraan kekuasaan.
Politisasi
nilai-nilai substantif agama di ranah publik tidak hanya terjadi Indonesia. Di
Amerika Serikat, moralitas seksual dan gerakan pro-life dianggap sangat
penting, tetapi dijadikan seakan-akan satu-satunya isu publik demi kekuasaan.
Sering dilupakan usaha mengadakan transformasi kultural, pertobatan kultural,
maupun konstruksi kultural sebagai bagian dari praktik iman (Richard G Malloy,
A Faith that Frees, 2007: 58-59).
Pembangunan
keutamaan publik perlu karena merupakan satu-satunya landasan bagi sebuah negara
merdeka. Keutamaan publik berbeda sekaligus berkaitan dengan keutamaan pribadi.
Keutamaan pribadi berurusan dengan nilai-nilai seperti integrasi diri,
kejujuran, dan kemampuan mengontrol diri, sedangkan keutamaan publik lebih
menunjuk pada nilai-nilai publik yang perwujudannya berupa pengorbanan
kepentingan pribadi demi pembelaan kepentingan lebih besar sebuah bangsa.
Ketika kedua
kalinya terpilih sebagai presiden AS, George Washington (menjabat 1789-1797)
menulis, ”It would be the greatest sacrifice of my personal feelings and wishes
that ever I have been called upon to make” (tugas itu akan menjadi pengorbanan
terbesar perasaan dan harapan pribadi yang pernah dituntut dariku untuk
dilakukan). Tugas presiden adalah pengorbanan diri bagi kepentingan bangsanya.
Kurang Keutamaan
Publik
Indonesia dalam
logika di atas semakin hari semakin tidak berdaya membangun keutamaan publik
para pemimpinnya. Ada kekosongan dalam kaderisasi kepemimpinan. Partai-partai
politik menjadi sekadar perahu menuju samudra kekuasaan dan harta. Makin
sedikit atau bahkan tidak ada pemimpin negara, birokrat, dan politisi yang rela
mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan rakyat. Kejujuran, rasa malu,
dan rasa bersalah absen kendati kebijakannya mengkhianati publik. Kesejahteraan
rakyat dirampok dan kekuasaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran penguasa.
Dalam hal keutamaan
publik, Korea Selatan dipuji-puji dunia internasional. Budaya paternalistik,
kerja keras, dan sikap solider disulap menjadi budaya bangsa maju dan pemenang.
Mereka menjadi maju dalam bidang seni, musik, penguasaan teknologi modern, dan prestasi
perolehan medali olimpiade di London (Corriere della Sera, 7/8/2012).
Sebagai negara
multikultural, multietnis, dan multiagama, Indonesia dianugerahi kekayaan
nilai-nilai secara berkelimpahan. Namun, diperlukan kemauan politis dan
tanggung jawab negara untuk membangun nilai-nilai itu menjadi keutamaan publik.
Sumber: Kompas, 3
September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!