Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri
Demokrasi adalah sebuah proses inklusif. Oleh
karena itu, dalam kehidupan demokrasi yang sehat, semua perspektif dari
berbagai kelompok kepentingan harus dipertimbangkan secara saksama. Kepentingan
dan pandangan kaum laki-laki, perempuan, serta kelompok minoritas, merupakan
bagian mutlak dari proses pengambilan keputusan.
Kendati begitu, alih-alih dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan, keterwakilan kaum perempuan dalam institusi
politik di Indonesia, terutama partai politik (parpol), justru sangat minimal.
Pelbagai tantangan dan kendala mengadang para perempuan untuk masuk ke dalam
parpol. Di antaranya adalah kurangnya dukungan partai, keluarga, dan masih
kentalnya iklim perpolitikan yang menonjolkan unsur kelelakian (masculine
model).
Kesetaraan gender belumlah tecermin dalam
keterwakilan perempuan dan laki-laki di bidang politik. Hingga saat ini
partisipasi perempuan dalam aktivitas kepartaian masih sangat rendah. Meskipun
jumlah perempuan di DPR kita mengalami peningkatan, yaitu dari 11,3 persen pada
Pemilu 2004 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009.
Padahal, tugas menyamakan perwakilan
laki-laki dan perempuan harus dimulai dalam tubuh partai-partai politik. Namun,
dalam konteks politik Indonesia, karakter dan ciri parpol masih banyak
menimbulkan kendala bagi keterlibatan perempuan dalam dunia politik.
Secara umum, biasanya parpol yang berkuasa
dan mapan akan mempertahankan sikap konservatif terhadap perempuan dan tidak
mau melihat, serta menyesuaikan diri dengan arus perubahan radikal yang
menggejolak di masyarakat.
Hanya parpol alternatif, dan biasanya parpol
kecil, yang dinamis mau memberikan peluang dan kesempatan lebih besar kepada
perempuan. Selebihnya, banyak parpol mengaku kekurangan sumber daya untuk
menempatkan perempuan dalam parpol. Alasan klasiknya, susah mencari kader
perempuan yang mumpuni.
Melibatkan Perempuan
Sementara itu, hak politik perempuan pada
dasarnya adalah hak asasi manusia (HAM). Dan, HAM sejatinya merupakan esensi
dari kerangka demokrasi.
Sehingga, melibatkan perempuan dan laki-laki
dalam parpol menjadi syarat mutlak bagi demokrasi. Apalagi, dalam teori
politik, jelas tidak ada dikotomi perempuan dan laki-laki. Meski kenyataannya,
hak perempuan dalam berpolitik acap dipolitisasi dan dimobilisasi atas nama
demokrasi.
Jika ditelisik, akar persoalannya adalah
parpol memang tidak mempunyai political will dan prosedur perekrutan yang
transparan untuk menempatkan perempuan dalam parpol. Bukan semata-mata
kekurangan kader perempuan yang mumpuni. Gelagat parpol seperti ini agaknya
terus saja menghalangi terpilihnya perempuan menjadi pengurus parpol meskipun
UU Parpol dan UU Pemilu terbaru sudah mengakomodasinya, 30 persen keterwakilan
perempuan.
Celakanya, kondisi ini semakin diperparah
oleh keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tempo hari resmi mencabut
aturan yang mereka tetapkan sendiri terkait syarat keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Menurut KPU, parpol
cukup memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat (4/9).
Pasal 4 Peraturan KPU No 8 Tahun 2012 mensyaratkan
parpol calon peserta Pemilu 2014, antara lain, harus menyertakan
sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, setelah konsultasi KPU dengan
pemerintah dan Komisi II DPR, KPU malah mengubah aturannya sendiri.
Menurut KPU, ketentuan keterwakilan 30 persen
perempuan dalam kepengurusan parpol pada UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD hanya di tingkat
pusat.
KPU cuma meminta kepada parpol yang tidak
mampu memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat
provinsi dan kabupaten/kota untuk memberikan penjelasan sebagai wujud
akuntabilitas.
Padahal, mestinya KPU berani mengambil
terobosan agar bisa mewujudkan afirmasi kepengurusan perempuan dalam parpol,
bukan malah takluk dengan kepentingan parpol. Terlebih, belum ada sanksi tegas
dikenakan kepada parpol, yang hingga saat ini belum melaksanakan perintah UU
Pemilu untuk menambah komposisi perempuan sebanyak 30 persen, meski hanya di
tingkat pusat.
Tindakan Afirmatif
Agar tidak terulang di kemudian hari,
tindakan afirmatif diperlukan terkait iklim parpol yang berbau maskulin. Aturan
hukum tentang parpol dan pemilu sudah saatnya berorientasi perempuan hingga ke tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Tujuannya, menyadarkan bahwa ada hak perempuan
yang selama ini terabaikan dan harus dikembalikan.
Dengan begitu, banyaknya keterwakilan
perempuan dalam parpol diharapkan akan memengaruhi kebijakan menjadi lebih pro
terhadap perempuan.
Kebijakan-kebijakan politik pada akhirnya
juga bisa dilihat dari perspektif gender. Sejauh ini, beberapa parpol memang sudah
bersedia menggunakan peraturan internal sebagai alat untuk menyertakan
perempuan dalam struktur partai.
PPP, misalnya, menetapkan 30 persen perempuan
berada di dewan pimpinan pusat dan daerah hingga ke tingkat kabupaten/kota.
Merujuk tulisan Joni Lovenduski (2005) dalam
`Feminizing Politics', kalau kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam
parpol terpenuhi di semua tingkatan, minimal ada dua gejala yang dapat
ditimbulkan. Pertama, adanya kesungguhan perempuan untuk berupaya mau terjun ke
dunia politik, setidaknya mewakili nama parpol.
Selain itu, perlu ada upaya untuk
meningkatkan kesadaran perempuan itu sendiri bahwa politik adalah domain
kebijakan kenegaraan yang mengatur arah dan tujuan negara. Sehingga, proses
pengambilan kebijakan dapat dilakukan secara politis oleh semua komponen bangsa
termasuk perempuan.
Kedua, timbul kesadaran masyarakat untuk memberikan
kesempatan kepada perempuan agar tidak saja memilih dan dipilih, tetapi juga
menjadi pengurus inti parpol. Pada akhirnya, ikhtiar ini tentu akan lebih
banyak memberikan peluang kepada perempuan berkiprah di ranah politik.
Sumber: Republika, 29 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!