Ketua Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua yang diselenggarakan hari ini tidak
bisa dianggap sebagai pilkada biasa.
Tidak hanya warga
DKI akan memilih satu di antara dua pasangan kandidat (Foke-Nara dan
Jokowi-Basuki) sebagai gubernur dan wakil gubernur untuk lima tahun mendatang,
tapi yang lebih penting dari itu: menjadi pertaruhan yang krusial bagi
kelangsungan masa depan demokrasi. Pilkada DKI adalah barometer demokrasi
nasional. Ia diamati banyak pihak, tidak saja seluruh masyarakat Indonesia,
tetapi juga dunia internasional. Karena itu, kita semua berharap pesta rakyat
ini dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib, jujur, adil, dan demokratis.
Tentu jumlah kelas
menengah yang besar di DKI akan memberikan dampak positif bagi terselenggaranya
pilkada yang lancar. Pemilih Jakarta merupakan pemilih dengan tingkat melek
media yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Makanya dari
berbagai hasil survei, kecenderungan pilihan warga Jakarta lebih digerakkan
faktor figur: integritas, moralitas, komitmen, konsistensi, rekam jejak,
keberpihakannya kepada rakyat, dan kemampuan komunikasi politik.
Warga DKI kita
harapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik supaya Pilkada DKI dapat
menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Para elite yang bertarung maupun tim
sukses di belakangnya juga harus mempunya kesadaran politik yang tinggi agar
kompetisi ini dapat berlangsung elegan dan demokratis tanpa adanya
penyimpangan- penyimpangan. Karena, bagaimanapun, wajah masa depan demokrasi
Indonesia ditentukan di Jakarta. Bayangkan saja, Jakarta adalah pusat dinamika
politik, pusat aktivitas ekonomi, dan pusat gerakan sosial dan budaya. Apa yang
terjadi di Jakarta dirasakan dentumannya sampai ke pelosok-pelosok Tanah Air.
Karena itu, hanya ada satu pilihan: Pilkada DKI harus lebih baik dari pilkada
daerah-daerah lain.
Pemerkuat Sistem
Pilkada
Meskipun kita
optimistis pelaksanaan pilkada di DKI akan berjalan lancar, dengan segala macam
hiruk-pikuknya Pilkada DKI harus menjadi momentum untuk mengoreksi
penyelenggaraan pilkada secara keseluruhan. Belakangan ini kita rasakan banyak
muncul perdebatan wacana apakah sebaiknya pilkada dipertahankan ataukah
dikembalikan kepada DPRD seperti praktik masa lalu.
Tentu pertanyaan
ini terlihat sederhana, tetapi memiliki arti yang dalam. Sebagaimana konsensus
nasional pascaotoritarianisme, pemilihan kepala daerah secara langsung
merupakan pilihan yang demokratis untuk menggantikan mekanisme pemilihan kepala
daerah melalui perwakilan politik (DPRD). Sebab, pilkada menjadi jembatan
penghubung rakyat dengan kedaulatannya di mana terjadi proses pelibatan rakyat dalam
memilih pemimpin secara langsung.Setidaknya,ada beberapa makna substantif di
balik penyelenggaraan pilkada.
Pertama, kedaulatan
rakyat ditegakan karena adanya partisipasi rakyat secara langsung.Kedua, kepala
daerah yang terpilih mempunyai basis legitimasi yang kuat.Ketiga, pilkada
menjadi ajang pendidikan politik rakyat. Dan, keempat, ada kegairahan
masyarakat dalam pesta penyelenggaraan pilkada yang tidak hanya dinikmati para
elite. Maka dari itu, semua pihak, terutama para penyelenggara negara dan partai
politik, harus memperkuat pilkada agar kelemahan-kelemahan yang selama ini
muncul dapat teratasi.
Selama ini memang
masih banyak kelemahan mendasar yang perlu diperbaiki. Pilkada masih
diselenggarakan sekadar prosedural, belum sesuai dengan tujuan substantifnya.
Kita lihat saja dari aspek budaya politik. Belum terbangun budaya politik yang
demokratis. Kita mafhumi semua kontestan yang berlaga pasti mengejar
kemenangan. Namun, selaiknya yang penting adalah bagaimana kemenangan itu
dicapai. Tidak perlu menghalalkan segala cara yang biasanya mengakibatkan
ongkos pilkada menjadi mahal, high cost economy.
Begitu juga
partisipasi politik masyarakat harus didorong secara lebih sehat.Tugas partai
politik adalah bagaimana mendorong pendidikan politik agar ada kesadaran
politik dari rakyat dalam menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Rakyat
sepertinya hanya didekati jelang pilkada dan pemilu.Setelah itu,pendidikan
politik rakyat terabaikan. Ini yang membuat kenapa indeks demokrasi kita secara
global masih cukup rendah.
Economist, sebuah
majalah bergengsi yang berpusat di Kota London, pada 2011 lalu merilis hasil
survei global democracy index yang di dalamnya dari 167 negara yang disurvei,
Indonesia berada di peringkat ke-67 dengan kategori flawed democracy (demokrasi
yang masih lemah, belum mencapai taraf full democracy). Variabel penting yang
diukur adalah pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan,
partisipasi politik, dan budaya politik. Posisi itu lebih rendah dari peringkat
India di urutan ke-40,Thailand (57), Papua Nugini (59),dan bahkan lebih rendah
dari peringkat sebuah negara baru seperti Timor Leste yang berada di urutan
ke-42.
Artinya, peringkat
tersebut menjadi potret betapa pemilu, partisipasi politik, dan budaya politik
masih lemah. Kelemahan inilah yang menjadikan penyelenggaraan pilkada di
Indonesia selama ini banyak berakhir dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi
(MK). Menurut pemaparan Ketua MK pada saat rapat konsultasi dengan pimpinan DPD
RI beberapa bulan lalu, dari 440 pilkada sejak 2008, sekitar 392 berakhir di
MK. Ini menandakan ada permasalahan yang serius dalam pilkada di Indonesia.
Baik itu menyangkut
kecurangan, ketidakdewasaan elite dalam berdemokrasi maupun konflik
antarpendukung, termasuk keinginan menang dengan menghalalkan segala cara. Di
sisi lain, ongkos politik yang dikeluarkan para kandidat juga begitu mahal.Harus
diakui, jumlah uang yang dikeluarkan para kandidat dalam pengalaman berbagai
pilkada di daerah begitu besar sehingga terkadang pilkada menjadi ajang adu
uang, bukan lagi adu ide dan program.
Ada yang
mensinyalir bahwa banyaknya kepala daerah yang tersandera secara hukum karena
penyimpangan kekuasaan (korupsi) salah satunya diakibatkan motif untuk
mengembalikan modal pilkada yang jumlahnya begitu besar. Tentu saja, dalam
memperbaiki kualitas penyelenggaraan pilkada ke depan, kelemahan-kelemahan
tersebut harus menjadi renungan bersama, tetapi dengan prinsip bahwa sebaiknya
pilkada diperkuat agar sistem demokrasi semakin kukuh.
Karena,
bagaimanapun, demokrasi adalah sistem yang dapat menjamin partisipasi rakyat,
kebebasan berpolitik, penegakan hukum tanpa diskriminasi, akses ekonomi yang
terbuka, jaminan atas hak asasi manusia,dan perlindungan kepada kelompok
minoritas. Karena itu, prinsip yang harus dikedepankan adalah bagaimana pilkada
sebagai sistem yang demokratis harus kita perkuat demi terjaminnya partisipasi
rakyat dan hak-hak rakyat dalam berdemokrasi. Karena itu, kelemahan-kelemahan
yang ada harus diantisipasi dengan beberapa pilihan sistem.
Apakah
penyederhanaan waktu penyelenggaraan pilkada dilakukan serentak secara nasional
yang terpisah dari pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Ataukah pilkada dilakukan serentak secara
nasional bersamaan dengan pemilihan pimpinan eksekutif (presiden dan wakil
presiden). Tentu penyederhanaan ini dapat menutup ruang lemah penyelenggaraan
pilkada selama ini. Jika pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD
seperti pada masa lalu, sebenarnya kita mengalami kemunduran demokrasi di mana
akan muncul oligarki elite, pemasungan hak-hak rakyat, dan secara ekonomis
rakyat tidak diuntungkan.
Melalui DPRD yang
mendapatkan keuntungannya hanyalah elite-elite politik. Bandingkan jika
pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat, dampaknya
secara ekonomi dapat dirasakan rakyat di mana belanja iklan untuk baliho,
spanduk, stiker, kartunama, kaus, dan iklan di media cetak dan media elektronik
ikut menggerakkan ekonomi rakyat. Karena itu, lewat Pilkada DKI ini, kita
harapkan ada pembelajaran demokrasi yang penting bagi bangsa ini. Sebab,
bagaimanapun, ada harapan besar yang kita gantungkan pada pelaksanaan Pilkada
DKI kali ini.
Kesuksesan dan
kelancaran serta capaian kualitas yang demokratis dari Pilkada DKI ini akan
memberikan dampak yang besar bagi masa depan demokrasi Indonesia, khususnya
dalam memperkuat sistem pilkada. Karena itu, siapa pun yang menang sejatinya
menjadi kemenangan warga Jakarta, juga kemenangan demokrasi. Kita pun berharap,
proses pemungutan suara hari ini akan berjalan lancar, aman, tertib, jujur,
adil, dan demokratis.
Sebagai lembaga
perwakilan daerah, hari ini DPD RI akan melakukan pemantauan langsung di
beberapa TPS bersama KPU dan Bawaslu dengan tujuan untuk mendapatkan masukan
agar Pilkada DKI dapat menjadi contoh bagi pilkada-pilkada di daerah lain demi
masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
Sumber: Sindo, 20
September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!