Oleh Umbu TW Pariangu
Dosen Fisipol Undana, Kupang
KEPERGIAN 13 anggota Dewan Perwakilan Rakyat ke Brasil selama tujuh hari untuk belajar proses penganggaran partisipatif menuai kontra. Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi menyebutkan, dana kunjungan Rp1,629 miliar tak lebih sebagai mekanisme pemborosan anggaran.
Bahkan Menko Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pernah mengkritik rencana kunjungan kerja Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat ke Eropa dan Afrika. Sikap Hatta tersebut terkait upaya pemerintah melakukan penghematan anggaran. Jika kunjungan kerja itu dilakukan untuk membahas produk undang-undang, cukup dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi (internet). Menurutnya, anggaran untuk penyelamatan APBN yang dicapai pemerintah sebesar Rp18,9 triliun masih perlu ditingkatkan lagi dengan menggencet pos-pos pengeluaran yang tidak terlalu penting (Tempo, 3/4/2012).
Studi banding memang tengah menjadi tren mobilitas politi(k)si kita saat ini. Meminjam bahasa Carol Pearson dalam The Hero Within (1998), alih-alih berada di level sikap suka berkorban (altruist), politisi kita masih berkanjang pada mental pengembaraan (wanderer) lewat pelesir ria ke berbagai negara berkedok studi banding dan berkelahi (warrior) berebut jatah proyek hingga menuntut kenaikan tunjangan sambil meninggalkan rakyatnya terkubur dalam siklus penderitaan (orphan).
Masih kuat dalam ingatan kita, pertengahan 2012, hasil Survei Soegeng Sarjadi Snydicate (14-24 Mei 2012) pernah memosisikan DPR sebagai lembaga terkorup. Tersua banyak penyimpangan kebijakan (policy distortion) yang dimainkan DPR dengan melibatkan jejaring inti negara. Inilah yang menyebabkan tergerusnya kepercayaan publik terhadap institusi politik akhir-akhir ini (Stapenhurst and Kpundeh, 1999).
Secara inferensial, ini menunjukkan sirkulasi elite pasca-Orde Baru belum sejalan dengan transformasi nilai dan pranata berdemokrasi substantif sehingga hanya menelorkan relokasi basis kekuasaan--yang notabene lekat dengan adagium power tends to corrupt. Kalau dulu kekuasaan bercokol di pihak eksekutif (Istana), di era reformasi, kekuasaan bermutasi ke lembaga legislatif (Senayan).
Ini didukung oleh tiga faktor. Pertama, politik berbiaya mahal (rekrutmen, biaya logistik hingga kampanye). Pemberlakuan sistem suara terbanyak memaksa politisi bersaing tidak saja dengan kader di partai lain, tetapi juga dengan sesama kader dengan modal jumbo. Kedua, budaya masyarakat transaksional-pragmatis yang menghendaki di setiap kampanye harus ada yang "ditinggalkan", baik dalam bentuk uang maupun natura, berdampak maraknya praktik rent seeking. Ketiga, lemahnya proses penegakan hukum, minus aboliosionistik dan kompromistik yang gagal memberikan efek preventif dan shock therapy terhadap koruptor.
Jika di zaman Hindia Belanda kongkalikong antara penjajah, pejabat dan pengusaha dalam menilep uang rakyat terjadi secara delinkuen-terstruktur (Piliang, 2003), di era reformasi terjadi proses ekspansif korupsi melibatkan politisi, pengusaha, dan penegak hukum.
Modus Korupsi
Praktik kekuasaan, khususnya di DPR, memiliki banyak titik rawan, mulai dari penerimaan fee dari penyusunan APBN-P yang melibatkan Badan Anggaran; menjadi makelar/calo proyek; meminta konsesi tambang, hutan atau lahan; penentuan kebijakan pemerintah dan penyusunan undang-undang yang sarat kepentingan; penentuan pejabat publik yang memerlukan persetujuan DPR seperti penentuan pejabat KPK, Komnas HAM, KPPU, Deputi Gubernur BI, KPU, OJK, ORI dan lain-lain; sebagai pelindung pejabat di pusat maupun daerah yang bermasalah, baik di KPK, Polri maupun kejaksaan; sebagai calo dalam jabatan strategis di lembaga, termasuk kementerian maupun di daerah, dan lain-lain.
Terkini modus korupsi dana Al Quran diduga melibatkan politisi DPR (Fraksi Golkar, Komisi VIII dan Banggar), pengusaha dan elite Kementerian Agama di dua titik: pembahasan anggaran dan perencanaan pengadaan. Bahkan komisi III DPR pun diduga ikut terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Simulator SIM yang membuat beberapa petinggi Mabes Polri ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.
Ada sejumlah keresahan, makin banyaknya politisi yang terjerumus dalam korupsi belakangan ini kian memelorotkan reputasi politik di mata publik karena politik dipenuhi jual-beli kepentingan. ICW pernah mencatat, persentase pengusaha yang menjadi anggota DPR dari pemilu ke pemilu mengalami kenaikan. Pada periode 2009-2014 mencapai 44,6 persen, lebih tinggi dari profesi pengacara, akademisi dan jurnalis. Sebelumnya, pada periode 1999-2004 hanya 33,6 persen dan 2004-2009 sebanyak 39,09 persen.
Ini menandakan, naiknya partisipasi politik hanya berlaku bagi kaum berduit (berlatar belakang pengusaha) ketimbang mereka yang rudin --tapi berkualitas-- karena tingginya ongkos politik sehingga lahir berbagai pembajakan kewenangan DPR oleh politisi pragmatis (bdk, Plato, 1987; Aditjondro, 2006).
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), Goethe Institut dan "Friederich Naumann Foundation for Liberty" (FNF) menunjukkan, ketertarikan pemuda Muslim terhadap politik rendah. 23,1 persen responden tertarik politik, sementara yang tidak tertarik sama sekali 28,9 persen responden, dan yang kurang tertarik 41,4 persen responden (Kompas,14/6/2011). Apatisme ini ancaman terhadap regenerasi politik Indonesia dalam melahirkan gagasan-gagasan politik yang segar, visioner dan mesianik. Jika ini tak dibenahi, dunia politik tak ubahnya rimba bernaungnya kepentingan "serigala-serigala" politik.
Mendesak
Hal paling mendesak saat ini, bagaimana mereformasi sistem kepartaian secara radikal, mulai dari transparansi dan akuntabilitas keuangan, regenerasi dan meritokrasi partai untuk menghasilkan efisiensi biaya politik sekaligus kader-kader politisi amanah untuk direkrut pada jabatan-jabatan politik. Ini mutlak dilakukan dengan serius sebagaimana ungkapan aktor dan penulis Inggris, Peter Alexander Ustinov (1921-2004): corruption is nature's way of restoring our faith in democracy (korupsi salah satu cara untuk menyadarkan kita tentang titik-titik lemah dari keyakinan kita mengenai demokrasi).
Masyarakat politik dan penegak hukum hendaknya secara sadar dan radikal memperbaiki, mengontrol dan mengendalikan sistem dan performa kerja lembaga politik sehingga lebih demokratis dan amanah ke depan.
Sumber: Jurnal Nasional, 5 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!