Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Mari sejenak kita renungkan,
setiap hari berapa banyak kita menerima pertolongan orang lain? Berapa kali
pula menyakiti hati orang?
Tentu saja sulit untuk
menghitungnya secara persis. Namun, pasti keduanya terjadi pada diri kita.
Karena itu, sangat tepat pendidikan orang tua dan guru agar sejak kecil
anak-anak diajari membiasakan ucapan terima kasih dan selalu menyampaikan
permohonan maaf dalam pergaulan sehari-hari. Meminjam istilah Carol S Pearson
tentang teori archetype, dalam diri setiap orang terdapat struktur kejiwaan
yang disebut orphan yang secara harfiah berarti yatim-piatu.
Yang dia maksudkan adalah
bahwa setiap orang selalu memiliki sifat, kecenderungan, dan perilaku layaknya
anak kecil yang selalu mendamba pertolongan orang lain karena banyak kebutuhan
hidup yang tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang. Layaknya seorang
bayi,perilaku ini akan selalu melekat, bahkan semakin tinggi jabatan seseorang
akan semakin banyak memerlukan bantuan orang lain. Jadi, sekalipun seseorang
memiliki jabatan menteri atau presiden, dalam dirinya tetap memerankan orphan.
Ibarat bangunan rumah, semakin tinggi dan besar, semakin banyak perlu
penyangga.
Sadar bahwa setiap orang bagaikan
anak yatim yang selalu membutuhkan sandaran dan uluran tangan, maka yang mesti
dikembangkan adalah sikap dan kultur gotong-royong, saling bantu, kerja sama,
dan membiasakan diri menghargai jasa orang dan menyampaikan terima kasih secara
tulus. Karenanya, sungguh sedih dan sungguh tidak tahu diri kalau seorang
pejabat tidak bisa menghargai jasa anak buahnya serta sangat pelit mengucapkan
terima kasih.Tanpa anak buah dan tanpa bantuan orang lain, mereka bukan apa-apa
dan bukan siapa-siapa. Ini juga berlaku dalam kehidupan rumah tangga.
Khususnya terhadap pekerja
rumah tangga yang sering disebut pembantu, orang tua mesti memberi contoh yang
baik pada anak-anak bagaimana memperlakukan dan menghargai mereka. Biasakanlah
mengucapkan terima kasih agar dicontoh oleh anak-anak. Kalau ingin memerintah
pun mulailah dengan ungkapan minta tolong. Karena sesungguhnya mereka kita
undang untuk dimintai pertolongan dan bantuan sehingga mereka disebut pembantu.
Berkat pendidikan, sekarang setiap orang semakin sadar akan hak-hak dan
martabat dirinya sehingga bentuk komunikasi dan relasi sosial semakin mengarah
pada pola kerja sama horizontal.
Hubungan
kontraktual-transaksional yang semata mengandalkan uang sebagai jasa timbal
balik tidak akan awet dan kokoh dalam sebuah hubungan sosial. Maka menjadi
penting untuk membiasakan saling minta maaf dan saling memaafkan serta
membangun relasi dengan cinta yang tulus. Ini konsekuensi logis-empiris sebagai
orphan, sang yatim piatu yang selalu kita perankan setiap hari dengan kadar
intensitas dan frekuensi yang berbedabeda pada tiap orang. Dalam hal membuat
kesalahan dan menyakiti hati,yang sulit menyadari adalah mereka yang jadi
pemimpin.
Bawahan yang kadang terkena
marah, meski tidak selalu salah, lebih merasakan bagaimana disakiti hatinya.
Ini mirip menyoal keadilan. Mereka yang jadi korban kezaliman lebih paham dan
merasakan bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil. Tetapi yang berbuat zalim
mungkin saja kurang merasakan apa yang diperbuatnya. Dengan demikian, di
samping kita melakukan introspeksi dan sebaiknya seorang pimpinan mengadakan
evaluasi secara reguler dan terbuka, lebih baik membiasakan minta maaf dan
terima kasih untuk menjaga keharmonisan sosial.
Hal yang mesti kita sadari dan
awasi, sisi negatif dari sifat orphan ialah mengondisikan seseorang untuk
bermental miskin, senangnya meminta,menerima dan mengambil kepunyaan orang
lain.Dia merasa senang ketika menerima, bukannya memberi.Ini menyangkut sikap
mental. Jadi, meskipun secara finansial seseorang telah kaya raya,namun masih
juga mau melakukan korupsi jika yang dominan pada struktur kejiwaannya adalah
or-phan, pribadi yang lemah dan miskin. Ini mirip anak kecil yang senangnya
mengambil dan berebut mainan, belum terbiasa berbagi.
Coba saja perhatikan perilaku
kita dan orang-orang di sekitar kita.Tak ubahnya perilaku anak kecil atau anak
yatim yang selalu mengharapkan pemberian dan pertolongan orang. Jika sampai tua
karakter ini yang menonjol, maka akan gagal menjadi pemimpin untuk memajukan
sebuah bangsa.Jangan-jangan banyak di antara kita atau pejabat publik yang
mentalnya seperti itu, yang selalu merasa lemah dan miskin. Bagaimana memajukan
dan memakmurkan bangsa kalau para pejabat publik mentalnya miskin? Demikianlah
sekilas tentang orphan, archetype berikutnya yang akan kita bahas adalah apa
yang disebut wanderer.
Sumber: Sindo, 21 September
2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!