Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Sebuah poster berukuran dua kali kertas kuarto,
semuanya hitam. Hanya ada tiga kata warna putih dengan bercak merah. Tertulis,
”KPK Harus Mati”.
Hari-hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terus diserang dari berbagai titik dan dengan eskalasi yang terus meningkat.
Siapa yang paling keras melawan suatu komisi yang sedang memberantas korupsi?
Pasti koruptor!
Upaya melemahkan institusi pemberantasan korupsi
bukan hal baru. Di sini, lembaga negara yang bertugas melawan korupsi patah
tumbuh hilang berganti. Tahun 1957 ada Panitia Retooling Aparatur Negara
(Paran) yang bertugas mendata kekayaan pejabat saat itu. Paran kalah terhadap
pembangkangan. Bahkan, orang- orang seperti AH Nasution, M Yamin, dan Roeslan
Abdulgani pun tidak cukup kuat menghadapi resistensi para pejabat yang enggan
melaporkan kekayaannya. Padahal, kewajaran kepemilikan kekayaan dibandingkan
dengan penghasilan yang sah adalah salah satu alat mengukur korup atau tidaknya
seorang pejabat negara.
Ada lagi Operasi Budhi tahun 1963, dipimpin AH
Nasution. Dalam perjalanannya, fitnah terhadap personel lembaga ini berkembang
hingga akhirnya dibentuk Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi).
Meski Presiden Soekarno menjadi ketua dibantu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani,
upaya ini akhirnya stagnan juga.
Pada era Orde Baru, sejumlah lembaga antikorupsi
berdiri. Ada Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jaksa Agung, Komisi Empat,
dan Operasi Tertib. Pada era Reformasi, kita masih ingat nasib Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang bubar ketika sedang mengusut
dugaan suap sejumlah hakim agung. Sebuah putusan judicial review di Mahkamah
Agung mematikan lembaga ini.
Kabarnya pidato Gus Dur di depan DPR dulu, terkait
rencana penerbitan Perppu Pembuktian Terbalik, tidak disambut baik. Ada juga
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian dibubarkan
dan dibentuklah KPK berdasarkan UU No 30/2002.
Revisi UU KPK
Saat ini tengah bergulir proses yang mungkin akan
melumpuhkan KPK. Berselimut kewenangan legislasi, DPR menyusun rancangan
undang-undang inisiatif DPR untuk merevisi UU No 30/ 2002 tentang KPK.
Berdasarkan berkas yang diperoleh Indonesia
Corruption Watch (ICW) per Februari 2012, tersirat jelas keinginan untuk
melumpuhkan KPK. Memang, kelembagaan KPK tetap ada, tetapi kewenangan
penuntutan akan dipangkas dan proses penyadapan dipersulit.
ICW mencatat 19 pasal kontroversial dalam draf
rancangan itu, enam di antaranya mengancam pemberantasan korupsi.
Pertama, mencabut kewenangan penuntutan KPK.
Terdapat 15 bagian pasal yang mengandung unsur ”penuntutan” dihilangkan, mulai
dari kewenangan KPK menuntut koruptor secara mandiri di pengadilan hingga
kewenangan untuk sekadar menyupervisi proses penuntutan di kejaksaan.
Upaya memangkas kewenangan penuntutan ini ternyata
tidak hanya terjadi dalam proses penyusunan draf RUU KPK. Sebelumnya, ketika
RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibahas, ada politisi menyisipkan pasal
yang menghilangkan kewenangan KPK menuntut di pengadilan tipikor.
Bersyukur saat itu publik tidak tertipu dan ada
ketegasan dari Presiden agar kewenangan penuntutan KPK tetap. Hari ini,
seharusnya sikap yang sama juga ditunjukkan jika kita masih ingin mempunyai KPK
yang kuat, dengan kewenangan yang integratif mulai dari penyelidikan hingga
penuntutan.
Selama ini, salah satu faktor yang membuat
penanganan kasus korupsi berjalan lamban adalah proses bolak-balik perkara
antara penyidik dan penuntut umum, bahkan terbuka peluang mengintervensi
kejaksaan hingga bisa menghentikan penuntutan.
Posisi kejaksaan yang berada di bawah presiden akan
membuat penanganan kasus korupsi rentan karena di bawah kendali kepentingan
politik. Koruptor dari partai penguasa akan sulit disentuh. Upaya pemberantasan
korupsi bahkan bisa menjadi alat membunuh lawan politik.
Kedua, di RUU KPK adalah terbukanya peluang
penghentian penuntutan kasus korupsi di kejaksaan. Hal ini merupakan
konsekuensi dari pemangkasan kewenangan penuntutan KPK.
Ketiga, penyadapan akan lebih rumit. Padahal, kita
tahu, selama ini penyadapan yang dilakukan KPK berperan penting di balik
sejumlah penangkapan pelaku suap, baik anggota DPR, hakim, maupun jaksa.
Kalaupun ada sejumlah pihak yang meragukan akuntabilitas penyadapan selama ini,
seharusnya yang dilakukan adalah audit penyadapan. Agar lebih fair, audit harus
dilakukan pada semua institusi penegak hukum dan intelijen dengan kewenangan
penyadapan.
Keempat, tampak upaya memutihkan perkara korupsi
yang terjadi sebelum KPK terbentuk dengan menghilangkan Pasal 68 UU KPK.
Padahal, ini menjadi dasar hukum untuk memproses kasus seperti Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus lain pada era Soeharto yang
penanganannya belum selesai saat KPK dibentuk. KPK pernah membentuk tim untuk
mengusut skandal BLBI yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Tanpa Pasal
68, para koruptor BLBI akan diuntungkan.
Putusan MK
Selain empat poin di atas, poin kelima adalah draf
ini melanggar putusan MK tentang tidak adanya kewenangan KPK menghentikan
penyidikan dan konsep steger mechanism dalam kepemimpinan KPK.
Keenam, dengan dalih KPK harus diawasi, disisipkan
pasal Dewan Pengawas KPK. Kita setuju semua kekuasaan harus diawasi, tetapi
melihat pasal ini tampak adanya upaya untuk memperbesar kewenangan DPR memilih
anggota Dewan Pengawas. Potensi intervensi politik terhadap penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi semakin terbuka. Hal ini terasa sangat paradoks di tengah
sejumlah proses hukum yang menjerat para petinggi partai politik dengan tuduhan
korupsi.
Selain itu, argumentasi yang menyesatkan dan
ahistoris sering kali disampaikan sejumlah anggota DPR. Dengan alasan KPK
adalah lembaga ad hoc, dalam pengertian bersifat sementara waktu, DPR menolak
anggaran pembangunan gedung baru, perekrutan penyidik independen, pembentukan
kantor cabang, dan hal-hal lain untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan
korupsi.
Padahal, jika diperhatikan, dalam proses pembahasan
UU No 30/2002 tentang KPK, hanya satu Fraksi Golkar yang menyatakan bahwa KPK
bukanlah lembaga permanen. Itu pun disampaikan pada pendapat mini fraksi dan
kemudian tidak ditemukan pada pendapat akhir fraksi.
Tampaklah bahwa argumentasi hukum, sosial, dan
politik yang mendukung penguatan KPK akan dikubur dan dibuang jauh- jauh bagi
koruptor dan konco- konconya, yang penting, KPK harus mati!
Pada sebuah poster lain, di bawahnya tertulis, ”Jika
Sudah Begini, Apakah Anda Akan Diam Saja? Bangkit! Lawan Korupsi!”
Para politisi bersih dan masyarakat sepatutnya
bergabung dalam perang melawan korupsi. Perang melawan para vampir.
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!