Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu
Hukum UGM
Sportif. Itu kata kunci untuk menggapai
tujuan hidup bernegara. Sayang, para pejabat tinggi di negeri ini ada yang
gemar melanggar sportivitas itu. Diberi amanat jabatan, eh eh eh....
disalahgunakan untuk korupsi.
Sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus
korupsi, mangkir diperiksa KPK dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Tanpa
sportivitas, apa jadinya nasib negara dan anak cucu kita ke depan? Sportivitas
bukanlah monopoli dunia olahraga. Sebagai pencinta olahraga sepak bola, kita
dibuat kecewa berat ketika sportivitas pemain maupun klub-klub Serie A Italia
rendah.
Agar mendapatkan ganjaran penalti, sering
melakukan trick (muslihat) seolah-olah dikasari lawan, padahal dia sengaja
menjatuhkan diri. Pada tingkatan lebih tinggi, klub sebesar Juventus pernah
dihukum degradasi ke Serie B karena terlibat pengaturan skor pertandingan.
Persepakbolaan menjadi ajang kebohongan ketika sportivitas rendah. Sportivitas
sangat diperlukan dalam bernegara hukum.
Seperti sepak bola, bernegara hukum juga ada
aturan main yang perlu dimengerti, ditaati dan ditegakkan oleh semua pihak yang
terlibat. Pizzi dalam Satjipto Rahardjo (2010) pernah mengkritik sistem hukum
Amerika melalui analogi dengan dunia sepak bola. Football Amerika lebih banyak
aturan dan lebih banyak wasit dibandingkan soccer Eropa. Akibatnya, permainan
sepak bola di Amerika lebih teknis dan tidak mengalir seperti di Eropa.
Menurut Pizzi (dan saya setuju mengenai hal
ini), apa yang terjadi pada dunia sepak bola merupakan gambaran adanya
peraturan yang kompleks telah memasuki dan mencampuri urusan hidup bernegara,
terutama pengadilan dan proses peradilan. Kita di Indonesia kini juga semakin
terjebak pada urusan-urusan teknis, sementara urusan substantif bernegara hukum
menjadi terpinggirkan. Begitu banyak peraturan setiap hari ”diproduksi” dan
umumnya mengatur hal-hal teknis.
Ambil contoh, rencana revisi UU KPK. Tiga hal
diskenariokan sebagai upaya pengebirian KPK yaitu: (1) melepas wewenang KPK
dalam penuntutan, (2) penyadapan wajib izin pengadilan,dan (3) dimungkinkannya
dikeluarkan SP3 kasus korupsi. Kalau tiga hal yang bersifat teknis tersebut
lolos, bisa dibayangkan ke depan, betapa sempitnya wewenang KPK dan semakin
mudahnya koruptor lolos dari jeratan hukum.
Hal substantif yaitu meningkatkan atmosfer
perang melawan korupsi justru luput dari perhatian. Mudah diprediksi, koruptor
baru akan merajalela. Percepatan keambrukan negara akan menjadi keniscayaan.
Perang melawan korupsi perlu sportivitas. Lembaga negara, terutama lembaga
penegak hukum dan insan-insan di dalamnya, perlu memiliki sportivitas tinggi.
Nilai-nilai sportivitas seperti jujur,watak ksatria, mengakui kesalahan, lapang
dada, mau menerima kritik perlu ditanamkan pada sanubari dan senantiasa
diaktualkan sebagai perilaku spontan dalam menjalankan tugas yang diembannya.
Contoh sportivitas hidup bernegara telah
diteladankan oleh manusia terpilih—Muhammad SAW—dan keteladanannya berlaku
universal bagi siapa pun dan kapan pun. Dalam pidato di hadapan umatnya, beliau
menyatakan kesediaannya untuk menerima qishash (balasan setara dengan kesalahan
yang dibuat). Bagi mereka yang merasa pernah disakitinya, beliau menyediakan
diri untuk dibalas.
Pengakuan kesalahan secara ksatria dan
bertanggung jawab itulah yang dinamakan sportivitas. Luar biasa. Bila boleh
jujur,kebanyakan pada kita (terutama pejabat yang tertimpa dugaan kasus
korupsi) sering bersikap sebaliknya dari sportivitas keteladanan Muhammad SAW
di atas.Tidak mau mengakui kesalahan. Justru sering mencari kambing hitam dari
kesalahan yang dilakukannya.
Ambil contoh, pejabat tinggi bersikeras
menolak diperiksa KPK dengan dalih masih ada dualisme penafsiran soal wewenang
memeriksa dirinya. Aturan dikambinghitamkan. Aturan yang sudah jelas dimintakan
fatwa ke Mahkamah Agung. Inikah sportivitas bernegara hukum? Alangkah elegan
bila pejabat tinggi dan pengacaranya terbuka dan legawa datang ke KPK
mempersilakan dirinya diperiksa.
Silakan dihukum kalau terbukti bersalah.
Kalau memang bersih dari noda (unsur) korupsi, pastilah KPK melepaskannya
dengan penuh hormat. Di situlah sportivitas bernegara hukum tumbuh dan
berkembang dalam bentuk sikap dan perilaku saling menghormati. Mencaci, memaki,
berebut wewenang dan kemenangan bukanlah sportivitas. Memudahkan urusan,
mengupayakan kebenaran dan keadilan, merupakan kesalehan sosial hidup
bernegara. Itulah sportivitas.
Bukankah kita telah diseru Sang Pencipta ”Dan
janganlah kamu samarkan antara yang benar dan batil, dan (janganlah) kamu
sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui” (QS Al- Baqarah:42). Kehidupan
bersih dari korupsi merupakan bagian penting dari substansi bernegara hukum.
Kehidupan demikian hanya terwujud apabila segenap komponen bangsa sportif,
saiyeg saika kapi menegakkan hukum.
Langkah konkretnya berupa memahami,
menjalankan dan menegakkan hukum secara utuh dan otentik.Dalam keutuhan dan
keotentikannya, hukum itu ”rumahnya nilai-nilai”. Di situ, teks peraturan perundangan
merupakan satu kesatuan dengan ide, pesan moral,dan wawasan hidup bernegara.
Karenanya, sangat ditabukan menafsirkan teks peraturan perundangan secara
parsial dan tekstual hanya untuk membela diri seraya melalaikan tujuan hidup
bernegara.
Hal demikian, selain tergolong tidak
konsisten, amoral, juga cermin sikap dan perilaku tidak sportif. Sejarah
menunjukkan bahwa sebuah negara ambruk ketika bangsanya gemar berbuat zalim dan
nihil sportivitas. Sang Pencipta akan menetapkan waktu yang tepat saat
keambrukannya. Mengerikan. Kita berlindung, agar negara kita terselamatkan dari
berita buruk itu. Wallahua’lam.
Sumber: Sindo, 3 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!