Headlines News :
Home » » Kekerasan Terhadap Pers

Kekerasan Terhadap Pers

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, June 22, 2013 | 2:45 PM

Oleh Ansel Deri
Tenaga Ahli Anggota DPR RI Dapil Papua;
tinggal di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur 

SETELAH reformasi tahun 1998, kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia terus menemukan ruangnya. Kemerdekaan dan kebebasan itu dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) sebagai pengganti Undang-Undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982 yang dianggap represif dan memborgol kemerdekaan dan kebebasan pers.

Seiring dengan hadirnya ruang kemerdekaan dan kebebasan, pada saat bersamaan pers kerap melewati masa kelam. Pada 2010, misalnya, sejumlah wartawan meregang nyawa. Sekadar menyebut beberapa nama seperti Ardiansyah Matrais, wartawan Merauke TV dan Ridwan Salamun, kontributor Sun TV di Tual, Maluku. Bahkan banyak dari wartawan di sejumlah daerah di Indonesia trauma setelah mendapat ancaman pembunuhan dari penguasa atau politisi dan anggota DPRD menyusul berita yang disajikan menyinggung “privacy” bersangkutan. 

Kasus teranyar, pada Senin, 17 Juni 2013, wartawan Trans7 Jambi Antonius Nugroho Kusumawan terkena peluru aparat saat meliput aksi demo ratusan orang dari sejumlah elemen dan organisasi mahasiswa. Aksi demo menolak kenaikan BBM tersebut dimulai di Simpang BI hingga Telanaipura, kemudian dilanjutkan ke Gedung DPRD Jambi. Antonius terluka di bagian pelipis kanan, akibat serpihan peluru gas airmata polisi. Gas air mata ditembakkan untuk membubarkan aksi mahasiswa yang siang itu berjumlah sekitar 500 orang.

Insiden serupa menimpa Roby Kelerey, fotografer harian Mata Publik Ternate. Roby tertembak di paha kiri saat meliput aksi demontran yang sedang bergerak menuju ke arah kota Ternate, sekitar 1,5 kilometer dari Universitas Negeri Khairun, Ternate. Dari dua kasus terakhir, nampak kekerasan terhadap wartawan dipertontonkan secara vulgar. Pers kembali seperti melewati lorong gelap dan pengap dalam menunaikan tugasnya. Ada kesan negara melalui aparatusnya nyaris tak mampu memberikan jaminan keamanan.

Sejarah pers nasional mencatat dengan baik bagaimana kekerasan demi kekerasan beranak pinak menimpa pers secara kelembagaan maupun para pekerjanya (wartawan). Dewan Pers mencatat, selama 2010 tercatat sedikitnya 66 kasus kekerasan dialami wartawan dan media massa. Kekerasan tersebut di antaranya berupa kekerasan fisik, kekerasan verbal atau ancaman, perusakan peralatan wartawan, perusakan terhadap kantor media massa, dan bahkan sampai pada ancaman hingga pembunuhan. Karena itu, Dewan Pers terus mendorong semua pihak menghormati profesi pers dan melindungi kebebasan pers.

Peran Pers

Dasar hukum kemerdekaan dan kebebasan pers secara jelas dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 4 UU tentang Pers. Pasal 2 menyebutkan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 4 ayat: (1), kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; (2), terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran; dan (3), usaha menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Bdk. Penyelesaian Sengketa Pers ; 2007).

Merujuk dasar hukum di atas, pers memainkan peran sebagai pemberi informasi (to inform), edukasi (to educate), koreksi/sosial kontrol (to influence), rekreasi (to entertain), dan mediasi (to mediate). Peran itu strategis sehingga masuk dalam poin penting dari sembilan rekomendasi Forum Pemimpin Redaksi se-Indonesia 2013 kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Nusa Dua Bali pada Kamis, 14 Juni 2013.

Pertama, kebebasan pers adalah untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara, pemerintahan, dunia usaha, dan semua lembaga yang ada agar tercapai tata kelola yang bersih dan berwibawa. Kedua, forum bersepakat untuk menggunakan kebebasan pers secara profesional dan menjalankannya dengan berpedoman kepada kode etik jurnalistik. Ketiga, di bidang media, forum sepakat secara konsisten mengawal dan mendorong terwujudnya konvergensi media yang dapat membawa manfaat sebesar-besarnya bagi pencerahan masyarakat dan adanya sistem yang adil, transparan, dan proporsional bagi para pelakunya di era globalisasi.

Jauh sebelum itu, pada peringatan Hari Pers Nasional tahun 2010 Presiden menegaskan komitmen pemerintah terhadap kemerdekaan pers. Pers turut berkontribusi dalam upaya menyukseskan kehidupan bangsa dan memanfaatkan power yang dimilikinya untuk kepentingan rakyat. Ini penting mengingat demokrasi yang sedang dikembangkan adalah demokrasi yang berbasis masyarakat, bukan demokrasi yang berbasis pada negara atau media  (Antara, 9 Pebruari 2010).

Waspadai kekerasan

Memasuki pesta demokrasi, baik Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif pada tahun 2014, semua pihak perlu mewaspadai potensi terjadinya kekerasan terhadap pers. Potensi kekerasan ini bisa melibatkan preman, anggota legislatif, aparat keamanan hingga masyarakat sekalipun. Sejarah mencatat, kekerasan pers yang terjadi selama ini terkait pemberitaan penggunaan dana penjalanan dinas yang melampaui pagu resmi, korupsi, pembalakan liar, pemilihan umum legislatif/kepala daerah, dan lain-lain. Pelaku kadang terganggu “privasi”-nya dengan pemberitaan pers. Meski dalam kehidupan pers yang sehat dan profesional, telah disediakan ruang dan mekanisme hak jawab.

Namun, selalu saja ditabrak. Padahal, Pasal 1 butir 11 UU Pers menyatakan, hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedangkan butir 12 berbunyi, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya, maupun tentang orang lain. Sedangkan Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) disebutkan, wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional (Suara Karya, 20 Juni 2012).

Artinya, wartawan tidak kebal hukum, juga tak selalu benar. Namun, kekecewaan terhadap pemberitaan pers tidak mesti diselesaikan dengan cara kekerasan seperti teror atau ancaman pembunuhan dan lain-lain. Kekerasan dalam bentuk dan atas nama apa pun terhadap pers merupakan tindakan melawan hukum. Persoalan jurnalistik harusnya diselesaikan melalui aturan main yang tersedia.

Sebagai salah satu pilar demokrasi pers diharapkan tetap konsisten memainkan peran besar (powerful) dalam menyajikan berita dan pesan pembangunan, termasuk berbagai persoalan dan kegelisahan rakyat. Pers diharapkan mampu mempergunakan ruang kemerdekaan dan kebebasannya yang dijamin undang-undang dengan mengimplementasikan perannya. 

Dengan demikian, pers menjadi watch dog atau pemberi peringatan dini terhadap penyelenggaraan negara, mengungkap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Namun, di saat pers atau wartawan mendapat ancaman kekerasan bahkan pembunuhan terutama oleh penguasa atau politisi sekalipun, misalnya, maka rakyat perlu menjatuhkan sanksi sosial dan moral. Pilihannya macam-macam: terpulang kepada rakyat. 
Sumber: Flores Pos, 21 Juni 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger