Santri, pemerhati pendidikan;
tinggal di Jogjakarta
Pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan
(Wahid, 1978) layaknya lembaga pendidikan nasional pada umumnya. Hanya saja,
pesantren tidak berpusat pada pemerintah. Eksistensinya bergantung pada
pengelola yang berdiri secara independen, atau para kiai (ustadz) yang dibantu
oleh beberapa keluarganya yang lain, dan adakalanya juga dibantu oleh murid
(santri) senior.
Karena merupakan institusi pendidikan, unsur-unsur
penting seperti belajar-mengajar, tanya jawab, evaluasi belajar (ujian), dan
lain sebagainya, terjadi pula di pesantren. Selama ini, kritik yang menghujam
oleh para pakar dan praktisi pendidikan hanya dialamatkan pada model pendidikan
nasional. Padahal menurut saya, sangat penting juga melakukan kritik terhadap
pola pembelajaran di pesantren —sebagaimana sekolah umum— untuk melahirkan
generasi bangsa yang diimpikan oleh masyarakat.
Apalagi belakangan, pesantren dituding sebagai
“sarang teoris” oleh mereka yang berang atas tindakan teror yang
mengatasnamakan agama. Lihatlah sejumlah pelaku teror bom yang terjadi di
beberapa tempat di Tanah Air yang semagian menunjukkan adanya keterlibatan para
santri, atau setidak-tidaknya mereka pernah belajar di pesantren.
Para pelaku selalu berdalih atas perintah doktrin
agama Islam yang diajarkan oleh guru-gurunya. Maka terlepas diakui atau
tidaknya kebenaran tersebut, sejatinya semua pihak, terutama kaum agamawan
melakukan introspeksi diri pada pola pembelajaran yang diampu di pesantren.
Dalam merespons isu itu, lantas banyak pihak
melakukan kritik kepada pengelola pesantren, agar membenahi dan mengevaluasi
kurikulum yang dijadikan pedoman. Jikalau pun memang ada indikasi, bahwa para
pelaku teror itu bertindak atas nama doktrin agama, yang pernah mereka palajari
di pesantren, hemat saya, kesalahannya tidak hanya pada persoalan kurikulum,
tapi metode pembelajarannyalah yang tidak tepat.
Metode pembelajaran
Hasil penelitian Zamakhsyari Dhofir (1982) tentang
sistem pembelajaran di pesantren menarik untuk diketengahkan di sini.
Menurutnya, sistem pembelajaran pesantren pada umumnya menggunakan cara
tradisional, yang biasa disebut bandongan atau sorogan. Bandongan atau sorogan
adalah metode pembelajaran keagamaan yang dilakukan oleh kiai dan atau santri
senior, dengan membaca serta menyimak kitab tertentu, yang diikuti oleh
sejumlah santri dalam jumlah yang amat banyak.
Sepintas tak ada persoalan dengan metode ini.
Sebagai sebuah metode pembelajaran agar santri bisa membaca “kitab gundul”
(teks Arab yang tak berharakat), cara ini sangat efektif. Tapi pada tingkat
pengetahuan tentang isi kitab, santri tak mudah memahaminya. Ini terjadi,
karena proses pembelajaran yang berlangsung cenderung berjalan monoton,
indoktrinatif, teacher-centred, text-book, dan top-down.
Santri tidak diberi kesempatan bertanya oleh kiai.
Terkadang, santri hanya disuruh membaca teks saja tanpa dibarengi dengan
memahami makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Praktik pendidikan di
pesantren dengan demikian, disadari atau tidak, meminjam istilah Paolu Freire
nyata-nyata telah menerapkan “model bank”. Ini juga berlaku pada semua
pembelajaran lain yang lazimnya membahas tema-tema tertentu di dalam pesantren.
Pendidikan sejatinya berisi acts of cognition
(Freire, 1991). Model pendidikan ini mengandaikan adanya sikap dialogis antara
seorang santri dan kiai. Santri tidak lagi diperlakukan sebagai objek layaknya
gelas kosong yang mesti diisi air sebanyak mungkin. Santri punya hak untuk
“memprotes”, membantah jika ia tak sependapat dengan apa yang disampaikan kiai,
dan berkata “cukup”, bila air yang diisi ternyata meluap. Singkatnya, iklim
pembelajaran sejatinya menganut sebuah jargon: “kiai menerangkan, santri tak
sungkan mengacungkan jari”—jika memang ada yang perlu dipertanyakan—sebagai
tanda hubungan dialogis.
Jalan dialog —dalam pendidikan berbasis agama
(Islam)— dapat membebaskan manusia dari kepasifan, dan juga membebaskannya dari
dominasi terhadap manusia lain. Dialog adalah keniscayaan bagi proses
humanisasi, sebab dengannya, manusia menjadi lebih bermakna, dihargai dan
sederajat (Shofan, 2004).
Meleburkan subjek-objek
Karena itu, ke depan, proses penyadaran ini sudah
semestinya dilakukan secara massif kepada semua elemen terkait di pesantren.
Saya mengasumsikan santri yang sejak awal belajar agama—dalam teori
fenomenologi—sebagai seorang “pemula”. Karena sikapnya yang pemula itu, dalam
benaknya dipastikan banyak memendam kegelisahan berupa pertanyaan-pertanyaan
kritis. Namun karena seringkali terbentur doktrin agama maupun doktrin yang
bersumber langsung dari kiai, santri pun dengan sangat terpaksa “bertekuk
lutut” dan “bungkam” menuruti apa kata doktrin.
Jadi pada batas-batas tertentu —tanpa mengurangi
rasa hormat dan ta’dzim kepada kiai— hubungan santri dan kiai dalam proses
pembelajaran secara ideal sejatinya sama-sama bertindak sebagai subyek, bukan
subyek-obyek. Dengan posisi ini, kiai tidak lagi menggurui, tapi larut dalam
suasana saling belajar, melengkapi satu sama lain.
Dalam artian kata, tak ada lagi obyek dalam hubungan
belajar-mengajar antara santri dan kiai. Obyek yang semula ditimpakan pada
santri, kini berubah haluan kepada realitas dan teks itu sendiri. Dengan
demikian terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter-subyek di dalam
memahami suatu obyek bersama (Freire, 1984).
Maka dengan melakukan dekonstruksi hubungan santri
dan kiai dalam proses pembelajaran itu secara nyata akan mengantarkan pada
nilai-nilai humanisme yang bertitik tolak pada fitrah manusia, sebagai ciptaan
Tuhan yang tak pernah dibeda-bedakan, kecuali karena ketakwaannya semata
—sebagaimana dilansir oleh al-Qur’an surat al-Hujarat: 13. Bukankah kiai juga
manusia biasa, yang boleh jadi, santri dapat melampaui tingkat ibadahnya, meski
dalam wilayah-wilayah tertentu?
Karenanya, semua treatment yang ada dalam praktik
pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan
dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu yang khas, dan sebagai
makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Artinya,
pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses
pendidikan dilaksanakan. Sebab pendidikan pada hakikatnya merupakan proses
memanusiakan manusia (humanizing human being). “Pendidikan adalah proses
pembebasan dan proses membangkitkan kesadaran kritis bagi setiap insan”, kata
Freire.
Jadi ke depan, perbaikan sistem pesantren dalam
koridor al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid
al-ashlah (menjaga tradisi lama, dan menerima tradisi baru) merupakan
keniscayaan yang perlu dilakukan sesuai perkembangan zaman. Modernitas dan
globalisasi dengan segala aspek positif dan negatifnya tidak untuk dihindari,
tapi sebaliknya justru perlu disikapi secara bijak dan arif.
Kita perlu mengapresiasi banyak pesantren yang kini
sudah semakin maju karena telah mengadopsi juga pendidikan modern. Para santri
dapat menikmati akses informasi lebih luas dan leluasa. Sebuah anekdot
mengakatan: “jika dahulu santri hanya secara monoton membaca kitab kuning dan
al-Qur’an, kini juga bisa membaca koran”. Penggunaan komputer, fasilitas
internet, dan penyediaan laboratorium misalnya, saat ini telah menjadi trend
baru di pesantren-pesantren terkemuka. Para santri diajari bagaimana
memanfaatkan dan mengkases informasi, agar selalu “siap” menghadapi tantangan
zaman yang kian modern.
Dengan demikian, pola pembelajaran yang baik di
pesantren tersebut akan mempengaruhi kualitas para alumninya di kemudian hari,
sebab di Indonesia, banyak tokoh penting yang sampai saat ini dikenal luas oleh
masyarakat pernah mengenyam pendidikan pesantren. Di pesantren, santri juga
sudah sejak awal dibekali dengan kearifan dan nilai-nilai kehidupan, seperti
keberanian mengemukakan pendapat, toleransi, moderatisme, dan lain-lain.
Itu sebabnya, ketika di kalangan pemuka agama terjadi
perbedaan pandangan atau pendapat mengenai suatu persoalan, misalnya yang
paling aktual tentang penentuan awal mula Ramadhan antara yang menggunakan
metode hisab dan rukyat, kaum santri dan diikuti oleh masyarakat umum,
menganggapnya hal lumrah. Perbedaan dalam hal apa pun, merupakan kewajaran atau
dalam bahasa agama disebut sunnatullah.
Nabi Muhammad Saw. bahkan menganggap perbedaan di
kalangan umatnya sebagai rahmat. Karena itu, tidaklah baik jika terdapat sikap
seorang pemuka agama atau siapapun itu yang mempermasalahkan perbedaan pendapat
di kalangan masyarakat, termasuk urusan agama. Semoga ke depan eksistensi
pesantren semakin maju dan berjaya.
Sumber: Media Indonesia, 15 Juli 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!