Headlines News :
Home » » Menggagas Pendidikan Kritis di Pesantren

Menggagas Pendidikan Kritis di Pesantren

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, July 15, 2013 | 10:13 AM


Oleh Ali Usman
Santri, pemerhati pendidikan;
tinggal di Jogjakarta

Pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan (Wahid, 1978) layaknya lembaga pendidikan nasional pada umumnya. Hanya saja, pesantren tidak berpusat pada pemerintah. Eksistensinya bergantung pada pengelola yang berdiri secara independen, atau para kiai (ustadz) yang dibantu oleh beberapa keluarganya yang lain, dan adakalanya juga dibantu oleh murid (santri) senior.

Karena merupakan institusi pendidikan, unsur-unsur penting seperti belajar-mengajar, tanya jawab, evaluasi belajar (ujian), dan lain sebagainya, terjadi pula di pesantren. Selama ini, kritik yang menghujam oleh para pakar dan praktisi pendidikan hanya dialamatkan pada model pendidikan nasional. Padahal menurut saya, sangat penting juga melakukan kritik terhadap pola pembelajaran di pesantren —sebagaimana sekolah umum— untuk melahirkan generasi bangsa yang diimpikan oleh masyarakat.

Apalagi belakangan, pesantren dituding sebagai “sarang teoris” oleh mereka yang berang atas tindakan teror yang mengatasnamakan agama. Lihatlah sejumlah pelaku teror bom yang terjadi di beberapa tempat di Tanah Air yang semagian menunjukkan adanya keterlibatan para santri, atau setidak-tidaknya mereka pernah belajar di pesantren.

Para pelaku selalu berdalih atas perintah doktrin agama Islam yang diajarkan oleh guru-gurunya. Maka terlepas diakui atau tidaknya kebenaran tersebut, sejatinya semua pihak, terutama kaum agamawan melakukan introspeksi diri pada pola pembelajaran yang diampu di pesantren.

Dalam merespons isu itu, lantas banyak pihak melakukan kritik kepada pengelola pesantren, agar membenahi dan mengevaluasi kurikulum yang dijadikan pedoman. Jikalau pun memang ada indikasi, bahwa para pelaku teror itu bertindak atas nama doktrin agama, yang pernah mereka palajari di pesantren, hemat saya, kesalahannya tidak hanya pada persoalan kurikulum, tapi metode pembelajarannyalah yang tidak tepat.

Metode pembelajaran

Hasil penelitian Zamakhsyari Dhofir (1982) tentang sistem pembelajaran di pesantren menarik untuk diketengahkan di sini. Menurutnya, sistem pembelajaran pesantren pada umumnya menggunakan cara tradisional, yang biasa disebut bandongan atau sorogan. Bandongan atau sorogan adalah metode pembelajaran keagamaan yang dilakukan oleh kiai dan atau santri senior, dengan membaca serta menyimak kitab tertentu, yang diikuti oleh sejumlah santri dalam jumlah yang amat banyak.

Sepintas tak ada persoalan dengan metode ini. Sebagai sebuah metode pembelajaran agar santri bisa membaca “kitab gundul” (teks Arab yang tak berharakat), cara ini sangat efektif. Tapi pada tingkat pengetahuan tentang isi kitab, santri tak mudah memahaminya. Ini terjadi, karena proses pembelajaran yang berlangsung cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centred, text-book, dan top-down.

Santri tidak diberi kesempatan bertanya oleh kiai. Terkadang, santri hanya disuruh membaca teks saja tanpa dibarengi dengan memahami makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Praktik pendidikan di pesantren dengan demikian, disadari atau tidak, meminjam istilah Paolu Freire nyata-nyata telah menerapkan “model bank”. Ini juga berlaku pada semua pembelajaran lain yang lazimnya membahas tema-tema tertentu di dalam pesantren.

Pendidikan sejatinya berisi acts of cognition (Freire, 1991). Model pendidikan ini mengandaikan adanya sikap dialogis antara seorang santri dan kiai. Santri tidak lagi diperlakukan sebagai objek layaknya gelas kosong yang mesti diisi air sebanyak mungkin. Santri punya hak untuk “memprotes”, membantah jika ia tak sependapat dengan apa yang disampaikan kiai, dan berkata “cukup”, bila air yang diisi ternyata meluap. Singkatnya, iklim pembelajaran sejatinya menganut sebuah jargon: “kiai menerangkan, santri tak sungkan mengacungkan jari”—jika memang ada yang perlu dipertanyakan—sebagai tanda hubungan dialogis.

Jalan dialog —dalam pendidikan berbasis agama (Islam)— dapat membebaskan manusia dari kepasifan, dan juga membebaskannya dari dominasi terhadap manusia lain. Dialog adalah keniscayaan bagi proses humanisasi, sebab dengannya, manusia menjadi lebih bermakna, dihargai dan sederajat (Shofan, 2004).

Meleburkan subjek-objek

Karena itu, ke depan, proses penyadaran ini sudah semestinya dilakukan secara massif kepada semua elemen terkait di pesantren. Saya mengasumsikan santri yang sejak awal belajar agama—dalam teori fenomenologi—sebagai seorang “pemula”. Karena sikapnya yang pemula itu, dalam benaknya dipastikan banyak memendam kegelisahan berupa pertanyaan-pertanyaan kritis. Namun karena seringkali terbentur doktrin agama maupun doktrin yang bersumber langsung dari kiai, santri pun dengan sangat terpaksa “bertekuk lutut” dan “bungkam” menuruti apa kata doktrin.

Jadi pada batas-batas tertentu —tanpa mengurangi rasa hormat dan ta’dzim kepada kiai— hubungan santri dan kiai dalam proses pembelajaran secara ideal sejatinya sama-sama bertindak sebagai subyek, bukan subyek-obyek. Dengan posisi ini, kiai tidak lagi menggurui, tapi larut dalam suasana saling belajar, melengkapi satu sama lain.

Dalam artian kata, tak ada lagi obyek dalam hubungan belajar-mengajar antara santri dan kiai. Obyek yang semula ditimpakan pada santri, kini berubah haluan kepada realitas dan teks itu sendiri. Dengan demikian terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter-subyek di dalam memahami suatu obyek bersama (Freire, 1984).

Maka dengan melakukan dekonstruksi hubungan santri dan kiai dalam proses pembelajaran itu secara nyata akan mengantarkan pada nilai-nilai humanisme yang bertitik tolak pada fitrah manusia, sebagai ciptaan Tuhan yang tak pernah dibeda-bedakan, kecuali karena ketakwaannya semata —sebagaimana dilansir oleh al-Qur’an surat al-Hujarat: 13. Bukankah kiai juga manusia biasa, yang boleh jadi, santri dapat melampaui tingkat ibadahnya, meski dalam wilayah-wilayah tertentu?

Karenanya, semua treatment yang ada dalam praktik pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu yang khas, dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Artinya, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Sebab pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). “Pendidikan adalah proses pembebasan dan proses membangkitkan kesadaran kritis bagi setiap insan”, kata Freire.

Jadi ke depan, perbaikan sistem pesantren dalam koridor al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama, dan menerima tradisi baru) merupakan keniscayaan yang perlu dilakukan sesuai perkembangan zaman. Modernitas dan globalisasi dengan segala aspek positif dan negatifnya tidak untuk dihindari, tapi sebaliknya justru perlu disikapi secara bijak dan arif.

Kita perlu mengapresiasi banyak pesantren yang kini sudah semakin maju karena telah mengadopsi juga pendidikan modern. Para santri dapat menikmati akses informasi lebih luas dan leluasa. Sebuah anekdot mengakatan: “jika dahulu santri hanya secara monoton membaca kitab kuning dan al-Qur’an, kini juga bisa membaca koran”. Penggunaan komputer, fasilitas internet, dan penyediaan laboratorium misalnya, saat ini telah menjadi trend baru di pesantren-pesantren terkemuka. Para santri diajari bagaimana memanfaatkan dan mengkases informasi, agar selalu “siap” menghadapi tantangan zaman yang kian modern.

Dengan demikian, pola pembelajaran yang baik di pesantren tersebut akan mempengaruhi kualitas para alumninya di kemudian hari, sebab di Indonesia, banyak tokoh penting yang sampai saat ini dikenal luas oleh masyarakat pernah mengenyam pendidikan pesantren. Di pesantren, santri juga sudah sejak awal dibekali dengan kearifan dan nilai-nilai kehidupan, seperti keberanian mengemukakan pendapat, toleransi, moderatisme, dan lain-lain.

Itu sebabnya, ketika di kalangan pemuka agama terjadi perbedaan pandangan atau pendapat mengenai suatu persoalan, misalnya yang paling aktual tentang penentuan awal mula Ramadhan antara yang menggunakan metode hisab dan rukyat, kaum santri dan diikuti oleh masyarakat umum, menganggapnya hal lumrah. Perbedaan dalam hal apa pun, merupakan kewajaran atau dalam bahasa agama disebut sunnatullah.

Nabi Muhammad Saw. bahkan menganggap perbedaan di kalangan umatnya sebagai rahmat. Karena itu, tidaklah baik jika terdapat sikap seorang pemuka agama atau siapapun itu yang mempermasalahkan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat, termasuk urusan agama. Semoga ke depan eksistensi pesantren semakin maju dan berjaya.
Sumber: Media Indonesia, 15 Juli 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger