Headlines News :
Home » , » Wadu dan Trudeau

Wadu dan Trudeau

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, November 26, 2013 | 9:02 PM

Oleh Ansel Deri
Warga asal Desa Belabaja, Lembata;
tinggal di Halim Perdanakusuma, Jakarta

ALOYSIUS Laurentius Wadu (Wadu) dan Joseph Philippe Pierre Yves Elliott Trudeau (Trudeau). Dua nama ini berbeda dalam banyak hal, termasuk asal-usul maupun etnis. Tinggal pula di benua yang berbeda berjarak ribuan kilo meter. Wadu adalah mantan Kepala Dinas Pariwisata, Komunikasi, dan Informatika Kabupaten Lembata. Jabatan penting yang disandang di penghujung masa sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sebelum pensiun.

Tinggal di Lewoleba, kota Kabupaten Lembata, Wadu dikenal familiar. Semasa jadi PNS, dikenal hampir sebagian besar masyarakat Lewoleba. Bahkan selama mengisi hari-harinya di masa pensiun. Juga para koleganya, sesama elite birokrasi hingga politisi. Sama seperti Trudeau, Wadu termasuk tipikal pekerja keras dan gemar berkebun. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di pondok mengurus kebunnya, sekitar hutan Keam, Lewoleba. Ia juga menarik kepribadian dan jalan hidupnya. Ia memutuskan terjun ke dunia politik dan namanya sempat tercatat sebagai daftar calon sementara (DCS) DPRD Lembata tahun 2014 dari Partai Golkar daerah pemilihan Nubatukan, Ile Ape, dan Ile Ape Timur. Sedang Trudeau?

Polycarpus Swantoro (2008) melukiskan sejumlah hal tentang Trudeau, politisi Partai Liberal Kanada. Trudeau, penulis buku Federalism and The French Canadians, dipercaya sebagai Perdana Menteri Kanada ke-15 periode 20 April 1968-4 Juni 1979. Kemudian 8 Maret 1980-30 Juni 1984. Di antara para pemimpin Kanada awal 1980, Trudeau –ayah dari Justin (8), Sacha (6), dan Michael (4)– termasuk politisi yang menarik kepribadian dan jalan-hidupnya.

Ia sendiri pernah mengatakan, My life is one long curve, full of turning points (Hidupku merupakan kurva panjang, penuh titik-balik). Swantoro, bekas guru SMA Stella Duce Yogyakarta, menggambarkan sisi lain Trudeau. Sepintas, suami Margaret (31), tampak selalu resah, lebih-lebih setelah terjun penuh di arena politik tahun 1990-an (Bdk. Masalah Selalu Aktual tahun 2008).

Politik

Politik adalah dunia yang memanggil Wadu dan Trudeau untuk mengabdikan tenaga dan pikirannya bagi rakyat di daerahnya masing-masing. Wadu, misalnya. Tatkala genderang pileg ditabuh ia berniat menjadi wakil rakyat. Selama ini ia adalah aktivis Partai Golkar setempat. Pilihan politisi senior ini tentu berangkat dari niatnya mengabdikan sisa usia pensiunnya untuk ikut memajukan Lembata melalui jalur politik.

Boleh jadi pertimbangan lebih jauh seorang Wadu tak lepas dari kegelisahan menyaksikan wajah lewotana –kampung halaman– Lembata yang hingga kini masih “gelap” di banyak sisi. Sejak menjadi daerah otonom baru 14 tahun lalu, kabupaten ini masih tertinggal. Meski di sana sini sudah nampak ada kemajuan yang tak signifikan di kabupaten yang terkenal dengan tradisi lefa, perburuan ikan paus. Ini sekadar membandingkan dengan sejumlah kabupaten baru hasil pemekaran seperti Rote Ndao, Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan Sumba Barat Daya.

Bagaimana Trudeau? Usai meraih gelar dari Fakultas Hukum Universitas Montreal, Kanada, tahun 1943, ia sempat menjadi pengacara. Tapi rasa jenuh bersarang kemudian profesi itu tanggal. “Hanya setahun aku bekerja, dan aku sudah merasa bosan. Kalau ada klien datang, aku selalu disusupi godaan untuk mengatakan kepadanya, ‘Yah, Anda tahu, saya sebenarnya tidak punya minat pada masalah Anda, Tuan dan Nyonya,” katanya.

Karena itulah politik jadi pilihan. Sejak itu Trudeau dikenal kritis. Baginya, tirani tidak bisa ditolerir. Kritiknya, pendapat-pendapat yang telah mengakar tidak saja membekukan otak, tetapi menjadi sumber kekeliruan. Jika ideologi politik diterima merata golongan elite, jika tokoh-tokoh yang merupakan kelompok-penentu-situasi telah menerima dan bahkan mendewakan ideologi, maka saatnya bagi manusia bebas melawan. Sebab, kekuatan esensial dari kebebasan politik terletak pada kepekaan akan keseimbangan dan proporsi.

Ancaman timbul apabila sesuatu kecenderungan menjadi terlalu kuat kekuasaan, yang terlalu besar maupun yang terlalu kecil sama-sama menjadi penyebab berakhirnya kebebasan. Trudeau juga peka terhadap investasi asing. Saat menjabat PM Kanada, ia mengangkat Herb Gray sebagai Menteri Industri dan Perdagangan. Gray adalah pendiri Foreign Investment Review Agency, sebuah badan penyaring proyek-proyek investasi asing.

Namun, seperti kata petuah: usia dan jodoh ada di tangan Tuhan, itulah yang terjadi pada Wadu dan Trudeau. Ahad pagi, 9 Juni 2013 Wadu tergeletak tak berdaya di kebun miliknya, sekitar hutan Keam. Wadu meregang nyawa. Ajal menjemputnya sebelum ia mewujudkan mimpinya menjadi wakil rakyat. Ia malah kembali ke rumah-Nya dan mengubur mimpi ke Peten Ina, rumah rakyat lepanbatan.

Sedang Trudeau pada usia 40, nyaris meninggalkan panggung politik dan berniat mengurus ketiga anaknya setelah Margaret, sulit “seperahu” dengannya dalam kehidupan rumah tangga. Tatkala Trudeau dilantik jadi PM Kanada, Margaret terbang ke Tokyo meresmikan sebuah disco karena selalu terangsang akan obsesi kebebasan.

Beragam

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, kekerasan kerap hadir dengan bentuk, motif, dan pelaku beragam. Mulai dari orang yang paling dekat bahkan anak kandung sekalipun hingga politisi dan siapapun. Tak terkecuali seperti yang menimpa Wadu. Ia (kekerasan) terjadi dalam berbagai lingkaran. Misalnya, di kalangan pedagang kaki lima, bisnis bahkan lingkaran lembaga pemerintah dan pendidikan. Dunia politik terutama menjelang hingga saat pelaksanaan pemilu baik, baik pilkada, pileg bahkan pilpres, kekerasan menemukan ruangnya.

Menurut Ignatius Wibowo (2010), apakah ini berarti the end of the nation state? Pertanyaan ini dilatari teori Max Weber yang mengatakan, tidak ada kelompok yang boleh memakai kekerasan kecuali (aparat) negara. Ini bukan hanya bertujuan menjaga kedaulatan negara, tetapi sekaligus menjaga ketertiban di masyarakat. Tertib masyarakat akan hancur jika tak ada monopoli pemakaian kekerasan (Bdk. Negara dan Bandit Demokrasi tahun 2010).

Tak jarang terjadi bentrok hingga pembunuhan sekalipun. Kalangan analis juga hadir dengan ulasan-ulasan bernas mencermati fenomena tersebut. Aksi kekerasan kadang membuat aparat negara bingung. Peristiwa kematian Wadu, misalnya, menjadi bukti nyata betapa kekerasan berupa pembunuhan terhadap seseorang atau pihak lain bisa hadir kapan dan di mana saja.

Kekerasan terjadi tak hanya melibatkan orang per orang tetapi juga antara beberapa orang. Para pelaku –sekali lagi– tak hanya warga biasa tetapi bisa juga melibatkan elite politik, wakil rakyat, pejabat pemerintahan, dan lain-lain. Seolah-olah kekerasan (seperti pembunuhan) adalah satu-satunya bahasa yang dipahami pelaku. Jika itu yang (terus) terjadi, apa kata dunia? Yang pasti penyesalan hadir paling akhir dari tindakan pembunuhan, misalnya.
Sumber: Pos Kupang, 25 November 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger