Oleh Frederika
Korain
Alumnus
Australia National University
Ketika Jokowi
berkampanye ke Jayapura, suami saya menjabat tangan Jokowi di Airport Sentani.
Banyak warga, orang asli Papua maupun pendatang, berebut bersalaman. Mereka
cerita Jokowi keluar lewat ruang kedatangan penumpang umum, bukan VIP ala
kebanyakan pejabat.
Sejumlah
perempuan asli Papua memeluk Jokowi. "Tuhan memberkati Bapa," kata
mereka. Ia menjadi suatu doa dan asa tak terucap bahwa akan ada perubahan bagi
Papua yang adil, damai, dan bermartabat bila Jokowi terpilih sebagai presiden.
Jokowi bilang
dia mau "menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan
janji-janji". Jokowi bicara soal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
pembangunan infrastruktur.
Bagi kami,
orang Papua, ucapannya mengingatkan pada ungkapan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono ketika berpidato di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Agustus
2011. Yudhoyono bicara "membangun Papua dengan hati" serta
menghormati "hak-hak asasi manusia dan budaya Papua".
Namun tak ada
wujud nyata dari janji Yudhoyono. Papua tetap diurus dengan cara sama sejak
Papua dimasukkan dalam administrasi Indonesia pada 1963. Kekerasan negara tetap
ada. Tahanan politik, yang ditiadakan Presiden Abdurrahman Wahid, meningkat
pada era Yudhoyono. Pada 2007, Yudhoyono mengeluarkan aturan yang larang
bendera Bintang Kejora. Ini menciptakan kekerasan aparat terhadap setiap orang
Papua yang menaikkan bendera Bintang Kejora. Polisi membatasi noken Bintang
Kejora, kalung, gelang, topi, dan lain-lain.
Setiap bulan,
setiap minggu, ada orang Papua dipukul tentara, polisi, atau sipir penjara.
Kini, ada 74 tapol tersebar di berbagai penjara di seluruh Papua. Pemerintahan
Yudhoyono berdalih tak ada "tahanan politik" di Indonesia. Ini
bohong. Pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Filep Karma, seorang
tapol di penjara Abepura, "ditahan sewenang-wenang" oleh pemerintah.
PBB minta Karma dibebaskan, namun Yudhoyono tak peduli.
Ditambah lagi
dengan eksploitasi sumber daya alam yang tanpa hiraukan hak orang Papua. Ia
terus saja berlangsung dari Teluk Bintuni sampai Merauke. Papua diisolasi dari
dunia luar, sejak 1963, dengan adanya pembatasan terhadap wartawan, akademikus,
pekerja kemanusiaan, bahkan pengamat dari PBB.
Inikah apa
yang disebut Yudhoyono sebagai "menata Papua dengan hati"? Jika
Jokowi datang dengan ungkapan sama dengan Yudhoyono, sulit bagi kami di Papua
untuk melihat adanya harapan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat.
Apalagi Jokowi diusung PDI Perjuangan dengan rekam jejak gelap di Papua.
Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1/2003, yang memecah
Papua menjadi dua provinsi. Ini langkah awal yang mengacaukan Otonomi Khusus di
Papua lewat Undang-Undang Nomor 21/2001.
Pada masa
Megawati, Theys Eluay, pemimpin Papua, dibunuh tujuh prajurit Kopassus pada 10
November 2001. Proses hukumnya berbelit-belit, hukuman tak adil, dan bikin luka
mendalam di hati rakyat Papua. Dalam periode Megawati, terjadi pembengkakan
militer di Papua: angkatan darat, laut, serta udara.
Ini pekerjaan
rumah Jokowi. Masih ada tiga bulan menuju pemilihan presiden. Kami harap Jokowi
menjabarkan kebijakan atas Papua. Dia sebaiknya ikuti PBB agar Papua dibuka
kepada dunia luar. Dia sebaiknya ingat Wahid yang membiarkan Bintang Kejora,
lambang budaya Papua.
Sumber:
Tempo.co, 10 April 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!