Oleh Martin
Lukito Sinaga
Pendeta pada
Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)
DI manakah
iman ditaruh saat kita nanti memilih di bilik suara? Saya baru saja melihat
suasana kampanye di Papua kurang bergairah. Mekanisme demokratis yang rutin ini
mungkin kurang politis bagi mereka.
Bagi
masyarakat Papua, yang kini selaku kaum "peramu yang goyah itu"
(Giay, 1998), yang dicari adalah kekuatan iman agar mereka tetap sintas
berdiri. Maka, yang politis tidak cukup kalau kelihatan sebagai suatu kerutinan
administrasi modern semata. Yang politis mesti tampak sebagai campur tangan kedaulatan
Tuhan sebagai intervensi terhadap ketakmungkinan mirip makna politik yang
muncul dari banyak pemikir mutakhir (Robertus Robet, 2010). Di bilik suara
pemilu nanti, suasana yang politis tadi diduga tak akan datang. Bagi orang
Papua, yang politis mesti terasa mesianik, bukan sekadar suasana yang mekanik.
Nun di Jakarta
sini, sikap agama atas yang politis —yang tampak dalam surat gembala
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyangkut Pemilu 2014— tampak
resmi dan serius. Malah umat Kristiani diimbau agar jangan memilih berdasarkan
agama, tetapi atas dasar komitmen kebangsaan.
Teologi
politik
Hubungan agama
dan pemilu di Indonesia umumnya dipuji sebagai dewasa (demikian artikel
Komaruddin Hidayat dalam rubrik Opini Kompas, 25 Maret 2014). Menurut beliau,
hal itu sedemikian karena kaidah agama sebagai wilayah pribadi dan komunal
telah berkompromi saat memasuki ruang publik dan negara. Mirip dengan sikap PGI
di atas, agenda bangsa dan negaralah yang jadi alasan datang ke bilik suara.
Tak ada yang genting dalam hal agama dan politik di negeri ini.
Wacana teologi
politik mutakhir yang mengemuka justru hendak menunjukkan dinamika baru tentang
dunia politik. Teologi dilihat lagi sebagai ihwal yang bergejolak di dalam
agama dan sebagai dimensi gelisah dalam nalar agama yang jangkauannya meluas
sampai ke ranah politik. Dengan kata lain, teologi politik adalah persilangan
tanpa henti antara persekutuan agama dan komunitas politik, antara hal yang
menyelamatkan dan hal kekuasaan (Hent de Vries, 2006).
Teologi politik
sedemikian akan memang menggangsir kompromi formal agama dan politik sekalipun
telah terjadi pendewasaan agama dalam masyarakat modern. Memang umumnya dunia
politik telah menertibkan agama dengan menekankan dimensi pragmatiknya, tanpa
basis transenden apa pun. Pemikir politik, dan diam-diam juga para teolog
profesional dalam agama-agama, telah jadi murid Max Weber dalam hal ini percaya
bahwa tuah agama sudah redup dalam hal perpolitikan. Harga yang harus dibayar
akibat itu semua adalah cerita iman akan
lesu dan cara menghidupkannya, entah dengan menjadikannya penentu kesalehan
surgawi, entah melucuti pesannya menjadi metafor semata.
Akhir-akhir
ini berangsur- angsur dirasakan yang teologis secara laten datang ke dalam
kerutinan politik harian. Pemikir seperti Claude Lefort malah mencatat, setiap
masyarakat yang melupakan basis religiusnya sesungguhnya tengah berilusi
tentang adanya tatanan masyarakat yang ajek dengan sendirinya. Orang mengira
bisa terusmenerus sibuk saja menghitunghitung kursi dan posisi, padahal jika
tidak ada yang benar atau normatif yang pas memberi alasan untuk semua
kesibukan itu, keadaan politik itu bisa lesu dan ambruk dengan sendirinya.
Peristiwa
politik mesti mengandung momen menyeruaknya yang benar dan yang baru ke tengah
masyarakat, melangkaui pengulangan rutin formal pemilu. Teologi akan datang
segera ketika pengelolaan kekuasaan tak menyelamatkan apa-apa lagi.
Alain Badiou
Untuk lebih
menguatkan makna teologi politik baru ini, filsuf ateis dan matematikus seperti
Alain Badiou membaca lagi kisah hidup teolog pertama Kristiani, yaitu Rasul
Paulus (Saint Paul, The Foundation of Universalism, 2003). Bukan untuk hidup rohaninya, melainkan untuk
menunjukkan bagaimana menyeruaknya yang teologis itu ke tengah perpolitikan
modern yang dikira sudah tertata rapi dan normal itu.
Badiou
melihat, iman atau keyakinan Rasul Paulus—yang bisa dirumuskan dengan seruan
"kuasa rahmat Tuhan sungguh bangkit"—mendobrak status quo politik.
Ini tentu sebentuk sikap teologis yang aksiomatik. Ia bukan hasil kompromi
dengan kekuatan-kekuatan kebudayaan atau sosial di sekitarnya.
Akan tetapi,
ini dapat memutus rantai belenggu sosial dengan terbangunnya sikap subyektif
yang singular dari rasul ini. Karena aksioma "kuasa rahmat Tuhan sungguh
bangkit" itu Paulus melanjutkannya dengan menetapkan bahwa tidak ada
kelompok sosial yang boleh disisihkan, "tidak ada hamba dan tuan"
dalam dunia yang dikuasai rahmat Tuhan ini.
Bagi Badiou,
posisi aksiomatik ini perlu di tengah politik serba dagang sapi kapitalistik
masa kini yang akan menyisihkan yang tak punya uang; kesetiaan pada aksioma teologis yang akan melahirkan
goncangan pada struktur rutin politik tersebut. Aksioma teologis memang selalu
sepihak, terdengar pramodern, tetapi ia akan meluas menjadi universal dan benar
dan itu berdasarkan pada apa yang nyata yang lahir dari sikap itu.
Dengan kata
lain, kebenaran teologis dari seorang seperti Paulu —atau dari siapa saja di
antara kita— jadi peristiwa politis yang mengguncang tatanan normal masyarakat.
Dan malah harapan di tengah kelesuan rutin politik dapat datang dari situ. Jika
kita kembali ke soal tempat iman di bilik suara tadi, kiranya yang genting
bolehlah terjadi sekalipun kita tahu kesibukan pemilu ini rutin terkendali
adanya.
Iman kita akan
menyalak lagi di situ, kerinduan kita tentang keselamatan akan bangkit lagi di
situ, mungkin tidak saat mencoblos salah satu nomor partai atau caleg, tetapi
saat kita memutuskan bahwa nama yang kita coblos akan kita interupsi dan
gangsir terus-menerus karena kita percaya pada yang benar dan baru yang harus
datang melalui pilihan politis kita kepadanya.
Sumber: Kompas,
8 April 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!