Direktur Lembaga
Pemilih Indonesia
SESUDAH 9 April
2014, tema koalisi menjadi wacana dominan. Skenario koalisi, sebagai kelompok
partai yang bekerja sama dengan alasan dan untuk tujuan yang sama (Riker,
1962), kini bermunculan.
Sebagian besar
partai agama tampaknya mendukung Prabowo Subianto setelah "ketegasan
PPP" yang disusul PAN. Sementara dua partai terkuat, PDI-P dan Golkar,
kini mengental setelah Golkar shock, kejutan Golkar, yang tiba-tiba
kecenderungannya mendukung pencapresan Joko Widodo setelah sempat memberi angin
segar kepada Prabowo.
Optimisme menang
Seperti apa pun
formasinya, koalisi selalu didasari optimisme untuk menang. Pada tataran
operasional, ada tiga tujuan dasar: (1) tujuan kebijakan; (2) tujuan karier;
dan (3) tujuan jabatan. Yang disebut koalisi ideologis sebetulnya mengacu pada
dua tujuan pertama.
Koalisi dibentuk
untuk merealisasikan kebijakan tertentu dan untuk membangun politik jangka
panjang, termasuk memenangi pemilu berikutnya. Model koalisi seperti ini disebut
"ideologis". Koalisi juga bisa taktis, sekadar memenangi pemilu dan
berbagi jabatan. Formasi ini biasa dalam politik dan disebut "koalisi
pragmatis".
Masih dalam konteks
ini, manuver koalisi Pemilu Presiden 2014 bisa dikelompokkan dalam tiga model.
Pertama, koalisi
teknis, mengacu pada formasi yang berorientasi memenuhi ambang batas 20 persen
kursi DPR atau 25 persen suara nasional dalam UU No 42/2008. Model anteriori
seperti ini berorientasi pada pencalonan presiden dan bagaimana memenangi
kontestasi. Koalisi teknis biasanya bermasalah dalam merumuskan tujuan koalisi,
apakah polisial, karier, ataukah murni pragmatis.
Kedua, koalisi
ideologis, model yang tak membicarakan jatah kekuasaan. Mereka tidak memerlukan
waktu lama untuk merumuskan format koalisi karena landasan ideologi yang sama
memudahkan kombinasi. Tidak banyak partai yang siap dengan model ideal seperti
ini.
Ketiga, koalisi
yang terbentuk dengan alasan utopis. Ada dua keyakinan semu, bahwa (1)
besar-kecil koalisi mencerminkan besar-kecil peluang kemenangan dan (2)
pemerintahan yang kuat memerlukan koalisi parlemen yang kuat. Keyakinan ini tak
lebih dari sekadar utopia. Tak selamanya mesin besar memenangi pemilihan.
Pilkada DKI Jakarta 2012 menjadi preseden jelas.
Lalu, kredo koalisi
gemuk menjamin stabilitas. Selama 2004-2010 kita diperintah oleh megakoalisi.
Di parlemen kekacauan malah makin liar. Dalam tubuh pemerintahan, soliditas
selalu masalah. Akibatnya, koalisi gendut hanyalah format. Substansinya,
koalisi pura-pura.
Benarkah mesin
politik determinan? Survei Kompas (14 April 2014) memecahkan teka-teki Pemilu
Legislatif 2014. Dualisme preferensi politik menjadi kecenderungan umum.
Perdebatannya kemudian, orang memilih karena sosok atau mesin politik?
Untuk Nasdem, 46,2
persen pemilih mencoblos partai dan 53,8 persen mencoblos calon. Faktor figur
lebih kuat daripada mesin partai, sebagaimana terjadi pada PKPI (37,5 persen;
62,5 persen). Berbeda dengan perolehan PKS yang 73,1 persen mencoblos partai,
sisanya 26,9 persen mencoblos kandidat. Faktor mesin politik lebih kuat dari
figur.
Tren yang sama,
meski tak sekuat itu, terjadi pada PDI-P (69,3 persen; 30,7 persen), Golkar
(57,4 persen; 42,6 persen), Gerindra (55,2 persen; 44,8 persen), Hanura (58,9
persen; 41,1 persen), PKB (60,6 persen; 39,4 persen), dan PAN (61,6 persen;
38,4 persen).
Keberimbangan, pada
rasio 50:50 antara mesin politik dan figur, terjadi pada Demokrat, PPP, dan
PBB. Gejala ini menegaskan jamaknya preferensi sekaligus longgarnya ikatan
konstituen dengan partai. Makin longgar ikatan itu, makin berubah-ubah
preferensi politik.
Dalam konteks ini,
mesin politik bukan lagi determinan utama. Mesin hanya berfungsi pada tataran
mobilisasi konvensional: patronase dan ikatan keluarga. Dengan kata lain,
manuver koalisi tidak serta-merta menentukan menang-kalah.
Dalam pemilihan langsung,
peran figur begitu sentral. Tentu figur tak bisa disimplifikasi pada sosok
populer karena popularitas hanya syarat umum, bukan syarat khusus. Orang bisa
sangat terkenal, tetapi tidak dipilih. Itu yang terjadi pada 9 April lalu.
Selain populer, orang
harus diterima, akseptabilitas. Dalam asumsi linear, akseptabilitas menentukan
elektabilitas. Namun, konteks ini bisa ditelikung oleh anomali "politik
uang". Seseorang bisa akseptabel, tetapi tidak dicoblos di dalam bilik
suara.
Gagasan dan
tindakan
Logika uang hanya
bisa dipatahkan oleh aspek lovabilitas. Lovabilitas tidak lahir dari pencitraan
belaka. Ia lahir dari keseluruhan gagasan dan tindakan politik atau lahir dari
sebuah "revolusi mental" dalam bahasa Jokowi (Kompas, 10/5).
Setelah dikenal, diterima,
figur perlu dicintai agar pasti dipilih. Lovabilitas inilah yang menguatkan
elektabilitas Jokowi dalam Pilkada 2012 DKI Jakarta. Lembaga-lembaga survei
dulu gagal membaca aspek lovabilitas ini sehingga keliru memprediksi kemenangan
Jokowi di Jakarta.
Uang tentu saja
bekerja begitu liar dalam politik, tetapi ia tidak efektif menggeser preferensi
politik terhadap figur yang lovabel. Maka, seharusnya bukan koalisi utopis yang
dibangun, melainkan koalisi semangat, gagasan, dan niat untuk Indonesia baru.
Sumber: Kompas, 17
Mei 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!