Oleh Robert Endi
Jaweng
Direktur Eksekutif
KPPOD, Jakarta
SETELAH sempat "digoreng" sejumlah calon
anggota legislatif dan elite partai dalam masa kampanye lalu, saatnya
pengaturan keuangan desa dibahas dalam ruang lebih tenang dan secara rasional.
Sebagai tindak
lanjut dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, pada fase transisi menuju
pemberlakuan kerangka baru pengelolaan desa, pemerintah dibantu para pegiat
lembaga swadaya masyarakat saat ini berkutat dengan segala persiapan
operasional dan penyusunan regulasi turunan.
Khusus terkait
aspek keuangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menargetkan terbitnya
peraturan pemerintah (PP) terkait pada bulan Mei. Meski UU tersebut memuat
cukup banyak klausul perubahan penting bagi tata kelola desa kelak, ihwal
keuangan tampaknya menjadi primadona sekaligus paling krusial untuk menjadi
prioritas perhatian.
Pada titik ini,
sembari mendorong rampungnya persiapan, semua pihak jangan terus terbawa
euforia dan menutup mata atas berbagai perangkap yang berpotensi terjadi.
Tekanan sejumlah
elemen agar dana desa dan alokasi dana desa mulai dikucurkan dalam termin
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) pertengahan 2014 ini,
misalnya, jelas tidak saja terbilang inkonsisten (UU Desa menetapkan kurun dua
tahun bagi penyusunan regulasi), tetapi juga berbahaya lantaran berpotensi
mencederai esensi dan instrumentasi kebijakan yang sedang disusun serta merusak
sekuensi perubahan dalam manajemen transisi yang kritis ini.
Pertama, UU Desa
mencerminkan ambisi politik yang menyisakan kerja-kerja teknokratik yang rumit
di belakang hari. Ide dana desa yang diambil dari on top 10 persen transfer
daerah muncul dari keyakinan para pembentuk UU akan skema konsolidasi dan
integrasi dana kementerian sektoral yang selama ini memiliki program berbasis
desa.
Faktanya, hingga
hari ini kita belum memiliki data solid nominal pasti dana yang tersebar di
tiap kementerian dan gambaran formula realokasi dana-dana tersebut ke satu
pintu (berupa dana desa) sebagai titik akses utama pemerintah ke ranah desa.
Dugaan kuat yang kini muncul adalah ide konsolidasi fiskal yang menjadi
skenario awal tersebut tidak sepenuhnya bisa terwujud dan itu berarti mengambil
sumber alokasi baru dalam ceruk belanja di APBN.
Kedua, skema dan
formula alokasi dana desa menimbulkan soal pelik: apakah pusat langsung
mengalokasikan ke desa (rekening transito daerah) atau hanya membuat formula
generik berbasis daerah untuk selanjutnya pemda menetapkan formula tambahan
(indeks kemiskinan geografis) dan menetapkan nominal alokasi?
Pilihan pertama
(model satu tahap) menuntut pusat bisa menyediakan data spesifik lokal yang
relevan dengan kondisi dan variasi 72.944 desa, sementara model kedua
mengandaikan diskoneksi desa dengan kabupaten yang justru
"diciptakan" UU ini bisa tersambung kembali dalam revisi UU Pemda. Apa pun pilihan
modelnya, simulasi manajemen kerjanya menunjukkan sulitnya implementasi yang
akurat dan akuntabel dalam hitungan bulan bahkan setahun ke depan.
Ketiga, dalam
konteks tata kelola anggaran yang baik, kualitas belanja dan akuntabilitas
anggaran menjadi kata kunci. Membangun kapasitas tata kelola dan sistem
pertanggungjawaban adalah agenda besar di masa transisi ini. Kalau skenario
maksimal diadopsi, tiap desa akan mengelola dana sekitar Rp 1 miliar per tahun.
Dana ini sesungguhnya terhitung kecil kalau kapasitas aparat mumpuni dan
perencanaan tersusun secara baik.
Selama ini, hanya
sedikit desa yang memiliki rekam jejak mengelola uang besar; mayoritas lainnya
hanya mengelola puluhan hingga ratusan juta rupiah per tahun. Fasilitasi pusat,
apalagi kabupaten, berupa penguatan keahlian dan transfer pengetahuan justru
belum terlihat signifikan di tengah kebingungan dan kecemasan menghantui banyak
aparat desa.
Pada dimensi
pertanggungjawaban, belum ada gambaran perihal sistem dan mekanismenya. Setiap
uang negara yang diperoleh maupun dibelanjakan tentu harus
dipertanggungjawabkan (UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 15 Tahun 2004).
Namun, mengaudit 72.000 laporan keuangan pemerintah desa jelas terasa muskil
bagi Badan Pemeriksa Keuangan yang terbatas personelnya.
Peranti pemeriksaan
juga sulit dibebankan kepada Badan Pengawas Daerah (Bawasda)/inspektorat
lantaran basis otoritas yang terputus dan kapasitas lembaga itu sendiri yang
amat lemah, bahkan untuk melakukan pengendalian internal di level pemda selama
ini. Skenario di depan mata adalah proses trial and error dan
toleransi/pembiaran "terencana" atas segala risiko yang ada.
Mengelola transisi
Kita tak
berkehendak memutar kembali jarum jam perubahan. UU Nomor 6 Tahun 20014
merupakan terobosan politik dan memuat ideal-ideal penting bagi kerangka baru
pembaruan desa ke depan. Justru guna merealisasi semua itu, kita mesti optimal
menyiapkan segalanya. Politisi, bahkan di musim politik ini, tak patut terus
mengumbar ambisinya, termasuk memasang target atau mendesakkan kepentingannya.
Kalau pada kasus
otonomi dibutuhkan dua tahun bagi transisi pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999,
kurun waktu yang realistis jelas lebih diperlukan bagi UU Desa yang membawa
magnitud perubahan besar di tengah kompleksitas masalah dan ketidaksiapan yang
akut.
Hemat saya,
pemerintah perlu berkonsensus dan mendesain kerangka kerja berbeda antara fase
transisi dan implementasi efektif. Pertama, keberlakuan transisional dihitung
sejak persiapan operasional dan regulasi utama tersedia. Pada fase ini,
prasyarat minimum terkait kapasitas tata kelola anggaran dan sistem
akuntabilitas mulai terbaca peta jejaknya, setidaknya di sejumlah desa
percontohan yang ditetapkan terlebih dulu.
Kedua, keberlakuan transisional
diberlakukan sejak tataran kebijakan (PP), terutama ihwal penahapan persentase
realokasi dana desa (5-7 persen di fase transisi, 10 persen di fase
implementasi efektif), penetapan formula dan skema transfer (dua tahap di fase
transisi, satu tahap di fase implementasi efektif), serta pertanggungjawaban
(pelaporan berkala dan sistem pengendalian internal di fase transisi,
pemeriksaan atau audit di fase
implementasi efektif).
Ketiga, di masa
transisi ini, pemerintah semestinya mengadopsi manajemen kerja transisi pula.
Pada level kabupaten hingga kecamatan, misalnya, perlu dibentuk gugus-gugus
tugas/ fungsional. Tim manajemen transisi ini bertujuan (1) resume sumber daya
(keahlian) aktivis/ profesional yang selama ini giat dalam pembangunan desa, termasuk
fasilitator/konsultan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat; (2) memberi
prioritas tunggal bagi agenda penguatan tata kelola desa—sesuatu yang sulit
diserahkan kepada aparat birokrasi kabupaten yang sudah terbeban rutinitas,
gampang kehilangan fokus, dan terjebak langgam kerja birokratis.
Skala perubahan
yang diusung beleid desa ini terlalu besar sekaligus berbahaya jika hanya
dikelola dengan pola kerja biasa, di tengah desakan politik yang kencang
hari-hari ini.
Berulang fakta
menunjukkan, kegagalan dalam mengelola suatu muatan perubahan ke tingkat
realisasi tidak saja menjerat kita tak bergerak ke mana-mana, tetapi juga
menghadirkan lingkungan persoalan baru. Bumerang demikian bisa saja terjadi di
desa kelak: alih-alih gagasan kemajuan mewujud dalam semesta desa, justru
petaka membayang: "Jaksa masuk Desa" memeriksa korupsi, inefisiensi
dan belanja tak berkualitas, bahkan kegagalan pembangunan itu sendiri. Semua
ini tak boleh terjadi.
Sumber: Kompas, 5
Mei 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!