Oleh Siti Maemunah
Badan Pengurus
Jatam dan Peneliti Sajogyo Institute
PADA 2 Juni, di
tengah hiruk-pikuk pengundian nomor urut capres, secarik surat dari
Samarinda, Kalimantan Timur, dilayangkan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Surat itu
mengadukan kematian delapan anak usia belasan tahun di lubang tambang batubara di
Samarinda dalam tiga tahun terakhir tanpa penyelesaian hukum. Belum ada
tanggapan dari Presiden. Namun, sepertinya daftar korban itu masih akan
bertambah jika capres yang menang Pilpres 2014 masih meletakkan sumber daya
alam semata sumber ekstraksi dan komoditas global penghasil devisa.
Sejak Orde Baru
berkuasa, Indonesia jadi ruang akumulasi kapital yang menjadikan Tanah Air
sebagai sumber ekstraksi bahan mentah bagi korporasi-korporasi raksasa dan
bank-bank pendukungnya. Juga pasar raksasa (captive market) bagi produk mereka,
mulai dari produk pangan, elektronik,
hingga otomotif. Soeharto berkuasa selama 32 tahun ditopang rente dari
ekstraksi ragam komoditas sumber daya alam, mulai dari ekstraksi hutan, laut, hingga pertambangan.
Rezim ekstraksi
Booming kayu di
Kaltim merupakan jejak rezim ekstraksi 1967-1980. Sebanyak 25 persen total
produksi kayu didapat dari menebang hutan tropis Kaltim yang memasok 50 persen
ekspor kayu gelondongan pada 1970. Sekitar 30 persen dari 89 proyek investasi
hutan berada di sini, yang sebagian pemiliknya adalah kroni Soeharto.
Sosiolog Paul K
Gellert (2010) menyebut Indonesia kala itu dalam kekuasaan rezim ekstraktif
hingga rezim Soeharto runtuh. Inilah sebuah rezim pemerintahan yang ditopang
struktur elite-elite berwatak pemangsa (predatory) dan bekerja melalui
ekstraksi beragam komoditas sumber daya alam.
Jatuhnya Soeharto
pada 1998 mengubah sistem pemerintahan Indonesia yang sentralistik jadi
desentralisasi, tapi tak sertamerta mengubah kuasa rezim ekstraksi. Desentralisasi
hanya didominasi tuntutan pembagian wewenang dan keuntungan yang lebih besar ke
daerah. Tuntutan pemulihan krisis ekologi dan sosial yang diakibatkan rezim
ekstraksi masa Orde Baru yang disuarakan para korbannya sama sekali tak
didengar.
Masa otonomi daerah
membuat Indonesia dikenal sebagai negara yang lebih demokratis melalui
pemilihan langsung para penguasa pusat dan daerah. Sistem politik yang semula
dimonopoli Partai Golkar bergeser menjadi oligarki. Banyak partai baru, tetapi
penguasanya tetap aktor-aktor lama.
Sistem politik dan
beragam produk kebijakan yang dilahirkan kemudian terbukti terus menopang menguatnya
rezim ekstraksi. Termasuk amandemen UU Kehutanan tahun 1999, lebih tahun lalu,
yang melancarkan alih fungsi hutan lindung menjadi tambang terbuka.
Jika era Soeharto
Kalimantan Timur jadi salah satu pusat ekstraksi kayu dan tambang emas, kini
setelah industri kayu runtuh dan minyak bumi mulai menipis daerah ini berganti
menjadi pusat pengerukan batubara dan perluasan kebun sawit. Rezim ekstraksi
yang berkuasa hanya mengganti jenis komoditas yang diekstraksi sesuai
permintaan kapital dan pasar global.
Mereka
mereorganisasi dirinya melalui kewenangan daerah mengeluarkan izin usaha,
khususnya pertambangan. Total izin pertambangan meningkat 11 kali lipat,
menjadi lebih dari 11.000 izin dalam 13 tahun terakhir.
Perizinan tak lagi
jadi alat kontrol (regulate), tetapi menjadi alat transaksi, yang naik
jumlahnya sebelum atau sesudah pemilu kepala daerah. Izin tambang di Kaltim
yang jumlahnya di bawah angka 100 pada masa Soeharto kini mencapai 1.488 izin
(Jatam Kaltim, 2014). Lahan-lahan produktif di kawasan perbukitan, termasuk
hutan dan lahan pertanian pangan, dibongkar menjadi tambang batubara. Sementara
lahan pertanian di bagian lebih rendah kurang produktif karena dihajar banjir
akibat pertambangan.
Rezim ekstraksi ini
disokong legitimasi ekonomi global yang berujung pada klaim ekstraksi itu
memberi kesejahteraan kepada publik. Klaim yang sejak lama gagal mendapatkan
pembenaran. Terbukti meski angka pertumbuhan ekonomi kita di atas 5 persen dan
jumlah orang kaya dikabarkan naik, utang Indonesia terus membengkak. Jika
ditotal dengan surat berharga negara, utang Indonesia kini mencapai Rp 2.422,87
triliun dengan cicilan utang pagu 2014
mencapai Rp 368,981 triliun (Dekrit Rakyat, 2014).
Pangan kita makin
bergantung pada pangan impor. Jumlah petani dan nelayan berkurang karena
beralih mata pencaharian informal, sementara
jumlah penduduk miskin juga naik.
Jalan baru
Sayangnya, visi-misi
capres pada Pilpres 2014 sepertinya tak mau beranjak dari jejak kuasa rezim
ekstraksi. Misalnya, Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan memperbanyak jumlah
pengusaha pertambangan nasional, sementara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akan
mendorong pertambangan yang ramah lingkungan dan sosial.
Kedua capres ini
gagal mengenali masalah dan mengabaikan watak pemangsa rezim ekstraksi yang
selama ini meninggalkan ongkos tak terhitung. Bukan itu saja, semua itu harus
ditanggung penduduk lokal bersama rusaknya bentang lahan, hilangnya keragaman
hayati, pencemaran lingkungan, dan konflik agraria berkepanjangan.
Nadia, murid
perempuan kelas V SD di Samarinda —korban kedelapan yang meninggal karena
tenggelam di lubang tambang batubara— adalah sebagian kecil ongkos tersebut.
Kini ada 150 lubang tambang yang tak diurus bertebaran di ibu kota Kaltim itu
sejak 71 persen wilayah kotanya menjadi konsesi pertambangan.
Pemerintahan ke
depan mestinya mulai meninggalkan rezim ekstraksi ini dan menempuh jalan baru. Jalan itu tak lain
adalah memilih ekonomi yang lebih berkelanjutan, mandiri, dan mengutamakan
keselamatan rakyat.
Sumber: Kompas, 18
Juni 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!