
Oleh Kiki Syahnakri
Ketua Badan
Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
Minggu lalu,
media nasional diramaikan berita teguran Presiden SBY kepada pimpinan TNI-Polri
karena ada indikasi keberpihakan anggota kedua institusi penting itu dalam
pemilihan presiden.
Sehari
kemudian, berawal dari laporan sebuah media online, merebak isu bintara pembina
desa (babinsa) melakukan pendataan penduduk serta berusaha menggiring
masyarakat untuk memilih pasangan capres-cawapres tertentu. Jauh sebelumnya
Presiden SBY ataupun pimpinan TNI sudah berkali-kali menekankan agar TNI-Polri
bersikap netral dalam pileg maupun pilpres.
Secara
geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sumber daya alam amat
melimpah. Secara demografis, selain berpenduduk besar (nomor empat terbesar di
dunia), juga memiliki keanekaragaman yang amat luas dalam berbagai dimensi
kehidupan seperti ras/etnik, agama, bahasa, adat istiadat, sosial, ekonomi, dan
lain-lain.
Dengan ciri
keindonesiaan seperti itu, ada dua pekerjaan rumah (PR) akbar yang harus
dilakukan bangsa Indonesia. Pertama, upaya mewujudkan "integrasi
internal" agar dapat dicapai tingkat kohesivitas tinggi, ditandai oleh
harmoni dalam keanekaragaman. Kedua, upaya mewujudkan "adaptasi
eksternal" agar mampu melakukan berbagai pembaruan dan modernisasi, serta
membina hubungan internasional yang damai, saling menghargai/menguntungkan.
TNI seharusnya
jadi garda terdepan dalam upaya mewujudkan PR pertama serta turut mengawal
proses PR kedua, sesuai jiwa Saptamarga serta tugas pokoknya, yakni
"Menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Untuk itu, TNI
mutlak harus bersikap netral dalam politik praktis, melindungi semua golongan
politik dalam melakukan kewajiban politik sesuai UU. Sikap ini sejalan pendapat
Eliot Cohen bahwa peran ideal militer adalah melindungi orde politik dan sosial
tanpa masuk ke dalam ranah politik praktis. Pelanggaran atas kaidah ini tak
hanya mencederai institusi TNI, tapi juga membahayakan keutuhan bangsa dan
negara. Perlu pula jadi perhatian apa yang dikatakan Samuel Finer bahwa yang
membuat militer berbeda (dari institusi lain) adalah organisasinya yang
didesain sebagai kekuatan yang kokoh, solid, dan unggul untuk bekerja seefisien
mungkin kapan saja negara membutuhkan. Karena kapasitasnya itu, militer tak
jarang disalahgunakan demi kepentingan tertentu, kelompok tertentu, untuk
tujuan tertentu.
Posisi
purnawirawan
Purnawirawan
TNI adalah warga sipil biasa sehingga hak politiknya tak beda dengan warga
sipil lain, halal untuk berkiprah dalam ranah politik praktis, bahkan jadi
pengurus atau penggiat parpol sekalipun. Namun, harus dipahami bahwa ketika
seorang prajurit TNI diwisudapurnawira, ia hanya pensiun dari anggota TNI
aktif, jiwa Saptamarga-nya (khusus marga pertama sampai keempat) tidak pernah dilepas.
Kredo TNI itu harus tetap melekat sebagai "jiwa" dan kepribadiannya.
Kewajibannya sebagai bhayangkari negara dan bangsa baru berakhir ketika salvo
mengiringinya ke liang lahat.
Artinya,
kendati seorang purnawirawan sudah beralih fungsi jadi politisi dan jadi
pendukung salah satu capres-cawapres, kewajibannya untuk memelihara keutuhan
bangsa dan negara yang amat strategis tetap harus diusungnya, bahkan harus
lebih diprioritaskan ketimbang kewajiban untuk pemenangan pilihan politiknya
yang hanya merupakan kepentingan kelompok dan berjangka pendek.
Purnawirawan
dalam parpol harus jadi penggerak untuk berpolitik dengan beretika. Dalam
berkampanye harus memberikan contoh elegan, tak menyerang lawan politik dengan
menohok masalah pribadinya, tetapi seranglah yang jadi visi-misinya.
Isu babinsa
Harus diakui,
pada masa Orde Baru, babinsa telah jadi ujung tombak mesin politik Golkar dalam
jangka waktu yang cukup lama untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk
kepentingan pertahanan yang menjadi tugas aslinya. Karena itu, patut dipahami
kalau kecurigaan atas perilaku babinsa dalam Pilpres 2014 ini masih belum juga
hilang.
Namun, dalam
kasus ulah babinsa seperti yang santer diberitakan akhir-akhir ini, seyogianya
semua pihak hati-hati dan jangan keburu mengambil kesimpulan sepihak karena
masalah ini belum benar-benar jelas. Percayakan kepada Bawaslu dan TNI dalam
melakukan pengusutan, dengan syarat harus dibuka akses luas bagi perwakilan
kedua kubu pasangan capres-cawapres serta media untuk turut memantau jalannya
pengusutan.
Kapuspen TNI
Mayjen Mochammad Fuad Basya dalam wawancara di salah satu stasiun televisi, 7
Juni, menjelaskan, babinsa yang dicurigai telah ditahan dan diinterogasi di
Kodam Jaya, tapi sejauh ini tak ada indikasi yang bersangkutan melakukan kegiatan
seperti dituduhkan. TNI berkeinginan mempertemukan babinsa itu dengan Mr X di
hadapan Bawaslu agar isu ini jadi jelas dan menenteramkan publik, tetapi
menurutnya Mr X sampai saat ini belum juga ditemukan.
Terdapat
beberapa kemungkinan tendensi munculnya isu babinsa ini. Pertama, memang benar
ada oknum babinsa yang melakukan kegiatan seperti dituduhkan, tetapi tak
mungkin oknum babinsa melakukan kegiatan itu tanpa perintah atasannya. Kedua,
isu sengaja diembuskan untuk mengacaukan keadaan. Jika kemungkinan pertama yang
terjadi, hemat saya tak mungkin perintah mengalir dari Panglima TNI atau KSAD.
Rasionalnya berhulu dari penggalan garis komando di bawah pucuk pimpinan TNI.
Di atas babinsa terdapat satuan atasan: koramil, kodim, korem, dan kodam.
Jika demikian,
bisa saja perintah merupakan pesanan salah satu pasangan capres-cawapres. Sikap
tegas TNI AD yang memberikan sanksi kepada dua anggota babinsa yang dianggap
melakukan pelanggaran disiplin tugas dan wewenangnya memang sudah sepantasnya
diambil.
Apa pun yang
terjadi, Panglima TNI dan semua kepala staf angkatan harus bertanggung jawab
atas tegaknya netralitas TNI. Untuk itu, setiap perintah (sesuai jenjang
organisasi) harus diberikan dengan jelas dan tegas, harus diyakini bahwa makna
perintah tersebut dipahami dengan benar oleh semua prajurit. Dalam tradisi
militer (universal) setiap prajurit yang menerima perintah harus mengulangi isi
perintah tersebut untuk meyakinkan bahwa dia telah memahaminya. Selain itu,
fungsi kontrol harus dilakukan secara ketat. Dalam melaksanakan tugas ini,
adagium "tidak ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandan",
harus selalu menjadi pegangan.
Sumber: Kompas,
11 Juni 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!