Aktif
di Fajar Timur Baru Institute;
Tenaga Ahli (A 278) DPR Dapil Papua
Tenaga Ahli (A 278) DPR Dapil Papua
PAPUA
merupakan tanah nan elok dan mempesona. Paling kurang itu kesan saya
menyaksikan sepotong wajah Papua, terutama di Jayapura dan Timika. Juga saat
menyaksikan keindahan puncak Gunung Jayawijaya dari balik jendela pesawat dalam
penerbangan dari Sentani ke bandara Mozez Kilangin, Timika. Penyanyi Franky
Sahilatua dalam sepotong syair lagunya, Aku Papua melukiskan Papua
sebagai surga kecil (yang) jatuh ke bumi.
Benua
(istilah anggota DPR asal Papua Agustina Basikbasik) paling timur Indonesia itu
telah pula menghidupi ribuan rakyat dari Sabang-Merauke dan dari Miangas-Rote
triliunan rupiah per tahun dari pajak perusahaan tambang emas, Freeport
Indonesia, anak perusahaan tambang raksasa dunia: Freeport-McMoran Copper &
Gold Inc, yang berbasis di Arizona,
AS. Kontribusi perusahaan kepada pemerintah tahun 2005, misalnya, sebesar 1,2
miliar dollar AS atau sekitar Rp 11 triliun. Kekayaan alam yang melimpah
menjadikan Papua seperti gula yang dikerubuti semut. Ia laksana gadis cantik
yang menaklukkan hati sang pujaan.
Bagi
orang Papua, mereka menetap di atas tanah itu atas kehendak dan kemurahan hati Tuhan.
Pelaut Eropa kala tiba di sana, terperangah melihat puncak gunung bersalju di
khatulistiwa. Emas terhampar luas di dasar sungai. Gunung dan lembah –seperti
syair lagu Tanah Papua yang dipopulerkan penyanyi Papua Edo
Kondologit– penuh misteri. Perut gunung
bersalju itu mengandung material bernilai ekonomi tinggi.
Gunung
itu milik orang Papua. Ia tak sekadar tumpukan material. Di bawah kaki gunung,
mereka merawat nilai-nilai kultural serta kearifan lokal dan merajut mimpi akan
masa depan yang lebih aman, damai, dan sejahtera. Kekayaan alam melimpah
menjadikan Papua laksana sepotong surga yang membawa
kesejahteraan dan kedamaian serta keamanan dan ketertiban bagi semua makluk
hidup di atasnya. Namun, kenyataannya nampak paradoks.
Negara gagal?
Apa
yang terjadi? Eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung
lingkungan, marak terjadi di hampir semua wilayah tanah Papua. Upaya pemerintah
menyejahterakan masyarakat melalui berbagai kebijakan pembangunan, masih
melewati jalan terjal dan berliku. Kemiskinan dan ketertinggalan telanjang
bulat. Kondisi ini diperparah hadirnya kekerasan demi kekerasan berupa
penembakan warga sipil dan aparat, bentrok antarkelompok komunal hingga
penyiksaan warga tak berdosa, silih berganti hingga saat ini.
Pada
Minggu (27/4), misalnya, terjadi insiden perkelahian dan penembakan di Distrik
Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor. Buntutnya, Pratu Wardi Deni, tewas. Disusul
Senin, (28/4), sekitar pukul 06.30 WIT warga suku Dani, Didimus Hagabal,
meregang nyawa. Hagabal tewas dipanah sekelompok orang tak dikenal saat berada
di dalam mobil, di depan RSUD Mimika, Jl Yos Sudarso, Mimika. Maraknya kasus
pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih hingga kini, membuat Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (28/4), bersuara keras.
Negara,
menurut komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, dinilai gagal mendamaikan Papua.
Karena itu, Komnas HAM membentuk tim audit HAM Papua. Tim ini akan mengaudit
secara menyeluruh aspek pelanggaran hak-hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya.
Komnas HAM ingin masyarakat Papua hidup aman. Benarkah negara gagal damaikan
Papua? Ini pertanyaan reflektif semua anak bangsa menyaksikan kekerasan yang
nyaris terjadi saban hari.
Imparsial
menguraikan, Papua masih jadi perhatian publik dan dunia internasional karena
situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman. Ia masih mengalami gejolak
terus-menerus sejak berada di bawah administrasi Pemerintahan Indonesia untuk
pertama kali melalui penyerahan dari United Nations Temporary Executive
Authority (Untea) pada 1 Mei 1963.
Bahkan
kondisi itu masih berlangsung hingga Papua menjadi bagian wilayah Indonesia
berdasarkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli-2 Agustus
1969, yang dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 2504 dalam
sidang 19 November 1969. Namun hasil tersebut tidak mampu menghilangkan konflik
(Sekuritisasi Papua ; 2011).
Dialog
Berbagai
kekerasan yang terjadi sudah pasti melahirkan kecemasan semua pihak, baik pemerintah
dan masyarakat (terutama Papua) di lain pihak terkait masa depan. Padahal,
sesungguhnya kita semua merindukan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan
hadir di Papua.
Berbagai
langkah pemerintah sudah diambil setiap berganti rezim, namun kekerasan terus
menemukan ruangnya. Pemerintah pusat dan daerah kewalahan menyelesaikan
berbagai tindak kekerasan atau konflik secara damai. Karena itu, tak ada
pilihan lain kecuali dialog. Dialog adalah jalan menyelesaikan konflik Papua
secara damai.
Neles
Tebay juga memandang pentingnya dialog. Pertama, jalan kekerasan tidak berhasil
menyelesaikan konflik Papua. Kenyataan memperlihatkan, hingga kini masalah
Papua belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh. Kedua, implementasi
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
(UU Otsus Papua) gagal menyejahterakan orang Papua. Padahal, otsus diberikan
sebagai jawaban terhadap maraknya tuntutan kemerdekaan yang disuarakan orang
asli Papua.
Ketiga,
pemerintah tidak konsisten menerapkan UU Otsus Papua. Keempat, orang Papua
semakin tidak mempercayai pemerintah. Mereka tahu, sejumlah masalah yang
dihadapinya sudah diakomodir dalam UU Otsus Papua. Apabila UU Otsus
dilaksanakan dengan baik dan akan terjawab dengan sendirinya.
Kelima,
dukungan internasional terhadap pemerintah menurun. Konsekuensi lain dari
kegagalan implementasi UU Otsus yakni munculnya ketidakpercayaan terhadap
pemerintah dari sebagian komunitas internasional (Dialog Jakarta-Papua ; 2009).
Mengapa
dialog? Ia menjadi wadah yang bermartabat. Dari sana segala persoalan dapat ditemukan
jalan keluar. Dialog juga membuka peluang dan kemungkinan baru merekatkan
solidaritas, menegakkan keadilan, mencegah terjadinya kekerasan, meningkatkan
saling percaya satu sama lain, dan meraih perdamaian paling hakiki.
Dialog
ini juga dalam rangka ikut menyelesaikan ketertinggalan Papua, terutama di
bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan ekonomi rakyat yang masih jauh
dari kondisi ideal. Capres PDI Perjuangan Joko Widodo saat ke Papua juga
berniat "menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan
janji-janji".
Menyelesaikan
Papua dengan hati dan kerja nyata, tentu juga melalui dialog. Jika persoalan
utama di atas diurus dengan hati maka dengan sendirinya Papua aman dan damai.
Keamanan dan kedamaian itulah yang kini masih dirindukan, terutama orang
(bangsa) Papua.
Sumber:
Papua Pos, akhir Mei 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!