Headlines News :
Home » , » Merindukan Papua Tanah Damai

Merindukan Papua Tanah Damai

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, June 06, 2014 | 12:05 PM


Oleh Ansel Deri
Aktif di Fajar Timur Baru Institute;
Tenaga Ahli (A 278) DPR Dapil Papua

PAPUA merupakan tanah nan elok dan mempesona. Paling kurang itu kesan saya menyaksikan sepotong wajah Papua, terutama di Jayapura dan Timika. Juga saat menyaksikan keindahan puncak Gunung Jayawijaya dari balik jendela pesawat dalam penerbangan dari Sentani ke bandara Mozez Kilangin, Timika. Penyanyi Franky Sahilatua dalam sepotong syair lagunya, Aku Papua melukiskan Papua sebagai surga kecil (yang) jatuh ke bumi.

Benua (istilah anggota DPR asal Papua Agustina Basikbasik) paling timur Indonesia itu telah pula menghidupi ribuan rakyat dari Sabang-Merauke dan dari Miangas-Rote triliunan rupiah per tahun dari pajak perusahaan tambang emas, Freeport Indonesia, anak perusahaan tambang raksasa dunia: Freeport-McMoran Copper & Gold Inc, yang berbasis di Arizona, AS. Kontribusi perusahaan kepada pemerintah tahun 2005, misalnya, sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 11 triliun. Kekayaan alam yang melimpah menjadikan Papua seperti gula yang dikerubuti semut. Ia laksana gadis cantik yang menaklukkan hati sang pujaan.

Bagi orang Papua, mereka menetap di atas tanah itu atas kehendak dan kemurahan hati Tuhan. Pelaut Eropa kala tiba di sana, terperangah melihat puncak gunung bersalju di khatulistiwa. Emas terhampar luas di dasar sungai. Gunung dan lembah –seperti syair lagu Tanah Papua yang dipopulerkan penyanyi Papua Edo Kondologit– penuh misteri. Perut gunung bersalju itu mengandung material bernilai ekonomi tinggi.

Gunung itu milik orang Papua. Ia tak sekadar tumpukan material. Di bawah kaki gunung, mereka merawat nilai-nilai kultural serta kearifan lokal dan merajut mimpi akan masa depan yang lebih aman, damai, dan sejahtera. Kekayaan alam melimpah menjadikan Papua laksana sepotong surga yang membawa kesejahteraan dan kedamaian serta keamanan dan ketertiban bagi semua makluk hidup di atasnya. Namun, kenyataannya nampak paradoks.

Negara gagal?

Apa yang terjadi? Eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, marak terjadi di hampir semua wilayah tanah Papua. Upaya pemerintah menyejahterakan masyarakat melalui berbagai kebijakan pembangunan, masih melewati jalan terjal dan berliku. Kemiskinan dan ketertinggalan telanjang bulat. Kondisi ini diperparah hadirnya kekerasan demi kekerasan berupa penembakan warga sipil dan aparat, bentrok antarkelompok komunal hingga penyiksaan warga tak berdosa, silih berganti hingga saat ini.

Pada Minggu (27/4), misalnya, terjadi insiden perkelahian dan penembakan di Distrik Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor. Buntutnya, Pratu Wardi Deni, tewas. Disusul Senin, (28/4), sekitar pukul 06.30 WIT warga suku Dani, Didimus Hagabal, meregang nyawa. Hagabal tewas dipanah sekelompok orang tak dikenal saat berada di dalam mobil, di depan RSUD Mimika, Jl Yos Sudarso, Mimika. Maraknya kasus pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih hingga kini, membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (28/4), bersuara keras.

Negara, menurut komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, dinilai gagal mendamaikan Papua. Karena itu, Komnas HAM membentuk tim audit HAM Papua. Tim ini akan mengaudit secara menyeluruh aspek pelanggaran hak-hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya. Komnas HAM ingin masyarakat Papua hidup aman. Benarkah negara gagal damaikan Papua? Ini pertanyaan reflektif semua anak bangsa menyaksikan kekerasan yang nyaris terjadi saban hari.

Imparsial menguraikan, Papua masih jadi perhatian publik dan dunia internasional karena situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman. Ia masih mengalami gejolak terus-menerus sejak berada di bawah administrasi Pemerintahan Indonesia untuk pertama kali melalui penyerahan dari United Nations Temporary Executive Authority (Untea) pada 1 Mei 1963.

Bahkan kondisi itu masih berlangsung hingga Papua menjadi bagian wilayah Indonesia berdasarkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli-2 Agustus 1969, yang dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 2504 dalam sidang 19 November 1969. Namun hasil tersebut tidak mampu menghilangkan konflik (Sekuritisasi Papua ; 2011).

Dialog

Berbagai kekerasan yang terjadi sudah pasti melahirkan kecemasan semua pihak, baik pemerintah dan masyarakat (terutama Papua) di lain pihak terkait masa depan. Padahal, sesungguhnya kita semua merindukan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan hadir di Papua.

Berbagai langkah pemerintah sudah diambil setiap berganti rezim, namun kekerasan terus menemukan ruangnya. Pemerintah pusat dan daerah kewalahan menyelesaikan berbagai tindak kekerasan atau konflik secara damai. Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali dialog. Dialog adalah jalan menyelesaikan konflik Papua secara damai.

Neles Tebay juga memandang pentingnya dialog. Pertama, jalan kekerasan tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua. Kenyataan memperlihatkan, hingga kini masalah Papua belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh. Kedua, implementasi Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) gagal menyejahterakan orang Papua. Padahal, otsus diberikan sebagai jawaban terhadap maraknya tuntutan kemerdekaan yang disuarakan orang asli Papua.

Ketiga, pemerintah tidak konsisten menerapkan UU Otsus Papua. Keempat, orang Papua semakin tidak mempercayai pemerintah. Mereka tahu, sejumlah masalah yang dihadapinya sudah diakomodir dalam UU Otsus Papua. Apabila UU Otsus dilaksanakan dengan baik dan akan terjawab dengan sendirinya.

Kelima, dukungan internasional terhadap pemerintah menurun. Konsekuensi lain dari kegagalan implementasi UU Otsus yakni munculnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah dari sebagian komunitas internasional (Dialog Jakarta-Papua ; 2009).

Mengapa dialog? Ia menjadi wadah yang bermartabat. Dari sana segala persoalan dapat ditemukan jalan keluar. Dialog juga membuka peluang dan kemungkinan baru merekatkan solidaritas, menegakkan keadilan, mencegah terjadinya kekerasan, meningkatkan saling percaya satu sama lain, dan meraih perdamaian paling hakiki.

Dialog ini juga dalam rangka ikut menyelesaikan ketertinggalan Papua, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan ekonomi rakyat yang masih jauh dari kondisi ideal. Capres PDI Perjuangan Joko Widodo saat ke Papua juga berniat "menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan janji-janji".

Menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, tentu juga melalui dialog. Jika persoalan utama di atas diurus dengan hati maka dengan sendirinya Papua aman dan damai. Keamanan dan kedamaian itulah yang kini masih dirindukan, terutama orang (bangsa) Papua.
Sumber: Papua Pos,  akhir Mei 2014
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger