
Oleh Paulinus Yan Olla MSF
Dosen STFT Widya Sasana Malang
PERTARUNGAN memperebutkan kursi presiden dan wakil
presiden kian lama kian memuncak. Simbol-simbol sengaja diusung untuk menarik
simpati yang berujung pada perebutan kekuasaan.
Simbol primordial yang paling mudah merajut rasa dan
menggiring simpati adalah agama. Kecemasan akan penggunaan simbol-simbol agama
sebagai kuda tunggangan menuju kekuasaan sangat beralasan.
Negara-negara maju yang telah mapan dalam demokrasi
pun tak luput dari jebakan penyalahgunaan simbol-simbol agama bagi kepentingan
politis. Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang sangat membela kebebasan beragama
masuk dalam jebakan berbau sektarian ketika beberapa pemilu presiden terseret
dalam perdebatan berkepanjangan tentang ide keagamaan tertentu.
Pemilihan Presiden AS tahun 2004, misalnya, memaksa
partai-partai memperebutkan kursi kekuasaan dengan menjual isu- isu moral
keagamaan. Kampanye hitam untuk menyudutkan lawan politik dengan isu keagamaan
pun masuk dalam strategi perebutan kekuasaan. Platform partai tampak tersingkir
oleh argumen yang laku daya jualnya, yakni moral values (nilai-nilai etis) yang
berdasar pada inspirasi agama Kristiani sebagai agama mayoritas (Kristin E
Heyer, Cs, Catholics and Politics, 2008).
Profesor Azyumardi Azra yakin Indonesia tidak akan
terjebak dalam simbolisme agama. Sejak masa reformasi, simbolisme agama Islam
ataupun agama lain tidak efektif memengaruhi tingkah laku politik pemilih. Ia
meyakini pula Indonesia tidak akan terperangkap dalam jebakan demokrasi, yakni
keyakinan bahwa terbukanya demokrasi di negara mayoritas Muslim hanya akan
menghasilkan parpol Islam yang pada akhirnya akan menjalankan agenda-agendanya
sendiri. Tidak efektifnya simbolisme agama terjadi karena budaya Muslim
Indonesia, menurut Azyumardi, lebih adoptif dan adaptif, fleksibel, akomodatif,
dan jauh berbeda dari praktik Islam di negara-negara Arab (Kompas, 21/5/2014).
Jika analisis di atas benar, simbolisme agama tetap
perlu diwaspadai. Simbolisme agama melalui manipulasi agama dalam bungkus
nilai-nilai etis bisa diusung hanya sebagai ”baju” untuk merebut kekuasaan,
tanpa harus ditindaklanjuti dengan penerapan hukum keagamaan tertentu seperti
diyakini teori ”jebakan demokrasi”.
Belajar dari jebakan yang menjerat AS, nilai-nilai
moral janganlah diusung sebagai barang dagangan. Jika hal itu terjadi, seluruh
masalah bangsa hanya akan disempitkan dalam isu-isu keagamaan yang amat
sektarian. Masalah mendasar bangsa seperti kesenjangan sosial atau kemiskinan
sebagai anak kandung liberalisme dan individualisme ekstrem disingkirkan dan
diabaikan dalam perdebatan politik.
Hindari politisasi agama
Indonesia akan terhindar dari isu-isu semu
berbungkus moralitas agama jika para capres-cawapres ditolong untuk mengusung
program yang melampaui bungkus simbolis agama. Diperlukan bantuan agama-agama
untuk pembangunan sebuah spiritualitas politik, yakni diusungnya
program-program pembangunan bangsa yang berdimensi rohani (spiritualitas),
tetapi yang menyangkut pembangunan manusia secara utuh atau integral.
Artinya, pembangunan manusia tidak disempitkan pada
pilihan beberapa isu keagamaan yang nilai jualnya tinggi dalam bursa perebutan
kekuasaan. Spiritualitas politik pada hakikatnya mengusung nilai-nilai
etis-religius untuk membangun manusia dalam segala dimensinya dan menjangkau
setiap orang, termasuk mereka yang umumnya tersingkirkan.
Pembangunan spiritualitas politik yang
mempertimbangkan manusia dalam segala dimensinya akan menghindarkan bangsa ini
dari politisasi agama. Negeri ini akan terhindar dari calon-calon penguasa yang
memboncengi nilai-nilai keagamaan dan bersandiwara seakan dapat memajukan moralitas
bangsa dengan menutup mata terhadap masalah-masalah besar bangsa, seperti
korupsi, pelanggaran HAM, dan ketimpangan sosial yang semakin tak terjembatani.
Dalam pembangunan spiritualitas politik, nilai-nilai
etis religius diusung dalam program pembangunan bangsa, tetapi tak lagi
bersifat sektarian karena ia menyangkut semua manusia apa pun agama, suku, dan
bahasanya. Spiritualitas politik memandatkan pembangunan manusia secara
utuh-integral, bukan semata pembangunan kerohanian secara sempit, sektarian,
dan radikal, tanpa keterkaitannya dengan dimensi lain kehidupan manusia.
Keinginan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa
saleh, suci, ataupun beriman jangan sampai menjadi sekadar mainan segelintir
orang yang dengan kelihaian mengusung simbolisme agama hanya berjuang meraup
kekuasaan bagi diri sendiri. Dengan demikian, isu-isu keagamaan hanya
diboncengi menuju perebutan kekuasaan dengan taruhan terabaikannya masalah-masalah
besar bangsa dan dilupakannya kepentingan bersama bangsa ini.
Sumber: Kompas, 7 Juni 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!