Oleh Tans Feliks
Guru Besar FKIP Universitas Nusa
Cendana;
Peserta Senior Research Program Fulbright 2008-2009 di AS
SISTEM pendidikan Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi
saat ini, adalah warisan pendidikan gaya lama. Sistem ini tidak lagi sesuai
dengan perkembangan zaman ketika pembagian kerja dalam masyarakat sudah sangat
spesifik.
Karena itu, yang
dibutuhkan adalah individu yang (sangat) kompeten dengan karakter yang (sangat)
terpuji dalam bidang yang sangat khusus itu. Namun, di sekolah anak-anak kita
tetap saja diharuskan belajar banyak hal, seolah-olah mereka akan bekerja dalam
banyak bidang.
Dampak mempelajari
banyak hal adalah membuat anak-anak kehilangan fokus, yang pada gilirannya
berdampak pada, misalnya, semangat belajar menurun, daya juang dan daya saing
lemah, mutu rendah, pengangguran setelah belajar secara formal bertahun-tahun,
dan penghalalan segara cara untuk mencapai tujuan.
Ketidakmampuan
lembaga pendidikan formal seperti itu mendorong pemikir pendidikan, seperti
Ivan Illich (Deschooling Society, 1976, Harmondsworth: Penguin Books) mendesak
supaya pendidikan formal seperti sekarang diganti dengan ”jejaring belajar”.
Bentuknya antara lain penciptaan pembelajaran informal yang efektif-kondusif
dengan bantuan individu tertentu yang kompeten dalam bidang yang dipelajari.
Selain itu, banyak
orang yang merasa bahwa pendidikan formal tidak akan pernah mampu membuatnya
lebih baik sehingga meninggalkan pendidikan formal secara sengaja. Sebagai
gantinya, mereka belajar secara mandiri dan hasilnya mengagumkan. Sebutlah,
misalnya, Gunawan Mohammad dan Emha Ainun Nadjib. Dengan belajar mandiri,
Gunawan sukses menjadi wartawan dan Emha budayawan.
Pendidikan formal
yang terbaikan itu juga terlihat dalam diri banyak orang yang sukses justru
setelah mereka drop out, seperti Thomas Alva Edison, penemu lampu pijar, dan
Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja Presiden
Joko Widodo. Mereka adalah orang yang sukses tanpa pendidikan formal tinggi.
Mereka pun tidak berusaha kembali ke dunia pendidikan formal, apalagi
mengelabui masyarakat dengan membeli ijazah palsu.
Pendidikan khas
Fenomena seperti
itu seharusnya mendorong bangsa ini segera merombak secara substansial
pembelajaran gaya sekolah formal yang kurang efektif. Sekolah kita harus
membiarkan anak-anak belajar secara terfokus. Di SD, mereka cukup belajar
membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Ditambah, misalnya, dengan mata
pelajaran agama, untuk pembentukan karakter yang berterima secara universal,
dan beberapa mata pelajaran yang berkaitan dengan keterampilan, seperti
menyanyi, menari, atau olahraga sesuai bakat dan minat siswa.
Pada level
pendidikan yang lebih tinggi, yaitu ketika bakat-potensi anak-anak itu mulai
terlihat, mereka pun belajar hanya mata pelajaran yang mereka minati atau mata
pelajaran yang sesuai dengan bakat-potensi mereka.
Dalam konteks ini,
Indonesia harus berani tampil beda dalam mengurus sistem pendidikan formal yang
khas dengan antara lain mendirikan sekolah menengah pertama dan sekolah
lanjutan tingkat atas (SMP dan SLTA) yang tidak lagi bersifat umum seperti
sekarang, tetapi sekolah khusus seperti SMP Matematika, SMP Bahasa Inggris, SMP
Fisika, dan seterusnya.
Untuk mendukung
pembelajaran khas seperti itu, kebebasan bagi guru untuk mendidik dan
menentukan lulus atau tidaknya seorang murid dari jenjang pendidikan tertentu harus
bersifat mutlak. Karena itu, UN harus dihapus; sekolah harus diberi wewenang
penuh untuk menyusun kurikulum yang pelaksanaannya diawasi ketat oleh
pemerintah pusat dan daerah, juga lembaga lain yang terkait pendidikan.
Lebih kompeten
Dengan belajar secara
lebih terfokus, tidak mustahil akan lahir banyak genius baru dari rahim
pendidikan formal bangsa ini. Kalau bukan genius, mereka pasti lebih kompeten,
lebih mandiri, dan lebih kompetitif dengan karakter yang lebih baik karena
terdidik dalam suasana yang bebas-merdeka, pas dengan bakat dan minatnya (baca,
misalnya, Carl Rogers, 1983, Freedom to Learn, New York, Merill; Bernie
Neville, 2005, Educating Psyche, Melbourne, Flatchat).
Sebaliknya, hasil
pendidikan formal yang selama ini sudah dilaksanakan dengan biaya amat tinggi,
20 persen dari APBN/D, akan tetap gagal. Kita tentu tidak menghendaki itu.
Kehendak kita adalah bahwa biaya setinggi itu sepadan dengan produk pendidikan
formal yang lebih mantap untuk pembentukan bangsa ini menjadi bangsa yang agung.
Itu sebabnya, mengapa sistem pendidikan khas Indonesia harus segera dibangun.
Presiden Joko
Widodo, yang sudah terbiasa dengan berbagai langkah fenomenal melalui revolusi
mentalnya, pasti mampu melakukan perubahan sistem pendidikan itu. Sebab, untuk
berubah memang hanya soal mental. Setelah berubah, seharusnya bangsa Indonesia
menjadi lebih kompeten dalam mengatasi masalah diri, keluarga, dan bangsa
sekaligus berbagai persoalan dunia. Semuanya, via pendidikan khas Indonesia.
Sumber: Kompas, 18 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!