Oleh Tefly Harun
Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
"SEGALA
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya" (Pasal
27 Ayat [1] UUD 1945).
Basuki Tjahaja Purnama akhirnya dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (19/11/2014). Seperti banyak soal di negara ini, pelantikan ini mengundang pro dan kontra. Dari sisi aturan tak ada yang salah dengan pelantikan Basuki. Basuki menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI karena kehendak hukum. Hal itu otomatis, tak digantungkan kehendak pihak lain. Tidak DPRD DKI, tidak pula Presiden Jokowi. Presiden hanya memiliki kewajiban administrasi mengangkat dan melantik Basuki sebagai gubernur setelah pengunduran dirinya.
Basuki Tjahaja Purnama akhirnya dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (19/11/2014). Seperti banyak soal di negara ini, pelantikan ini mengundang pro dan kontra. Dari sisi aturan tak ada yang salah dengan pelantikan Basuki. Basuki menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI karena kehendak hukum. Hal itu otomatis, tak digantungkan kehendak pihak lain. Tidak DPRD DKI, tidak pula Presiden Jokowi. Presiden hanya memiliki kewajiban administrasi mengangkat dan melantik Basuki sebagai gubernur setelah pengunduran dirinya.
Pasal 203 Ayat (1)
Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terang benderang
menyatakan, "Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota
yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota
menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir masa
jabatannya". Jokowi-Basuki adalah pasangan gubernur-wakil gubernur yang
terpilih dan diangkat berdasarkan UU No 32/2004 sehingga Basuki berhak
menggantikan Jokowi hingga masa jabatan berakhir pada 2017.
UU No 32/2004 adalah
satu- satunya UU yang mengatur pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala
daerah terpilih, tak ada UU lain. Tidak juga UU No 29/ 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi DKI yang sering dijadikan dalih untuk menyatakan Basuki
tidak otomatis menggantikan Jokowi.
Memang, ada dua
pasal dalam UU No 29/2007 yang juga digunakan dalam Pilkada DKI 2012 yang
dimenangi Jokowi-Basuki: Pasal 10 dan 11. Pasal 10 mengatur norma pemilihan
langsung gubernur dan wakil gubernur dengan sistem satu paket. Pasal 11
menentukan suara minimal 50 persen plus satu untuk menang dalam satu putaran,
yang membedakan dengan daerah lain yang cukup dengan angka 30 persen plus satu.
Namun, soal pengangkatan gubernur-wakil gubernur terpilih, UU No 29/2007 tak
menyatakan apa-apa. Penggunaan kata "diangkat" dalam Pasal 203 Ayat
(1) Perppu No 1/2014 yang hanya merujuk UU No 32/2004, karena itu, benar
adanya.
Andaipun UU DKI
mengatur pula soal pengangkatan dan penggantian gubernur yang mengundurkan
diri, normanya bisa dipastikan akan sama, yaitu wakil gubernur akan
menggantikan hingga masa jabatan berakhir. Ketentuan seperti ini sesungguhnya
norma universal yang berlaku di mana pun untuk pemilu pejabat publik dengan
sistem satu paket. Justru aneh jika gubernur pengganti Jokowi dipilih DPRD DKI.
Akan muncul ironi: wakil gubernur dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan
gubernur "cuma" dipilih DPRD.
Harusnya langsung
Rencana sebagian
komponen DPRD DKI yang hendak mempermasalahkan keppres pengangkatan Basuki ke
pengadilan tata usaha negara, menurut saya, sama sekali tak ada gunanya. Hanya
buang energi dan sia-sia. Terbitnya keppres pengangkatan Basuki juga atas
perintah UU. Justru keliru jika Presiden Jokowi tak mengeluarkan keppres
pengangkatan Basuki. Presiden tidak pada posisi menentukan untuk mengangkat
atau tidak mengangkat Basuki sebagai penggantinya di tampuk pemerintahan DKI.
Ketika Presiden SBY
mengeluarkan keppres pemberhentian Jokowi sebagai gubernur DKI karena
mengundurkan diri, harusnya dalam kesempatan sama pula dikeluarkan keppres
pengangkatan Basuki sebagai gubernur pengganti. Namun, ini tak dilakukan,
padahal saat itu perppu telah berlaku. Penyakit "birokratisasi"
pengambilan sumpah pejabat publik yang dipilih langsung rakyat masih mendera
bangsa ini.
Saat Jokowi sudah
berada di takhta kepresidenan pun keppres pengangkatan Basuki tak segera
keluar. Malah Kemendagri meminta DPRD DKI, yang mayoritas dikuasai penentang
Basuki, menggelar sidang paripurna untuk mengumumkan dan mengusulkan
pengangkatan Basuki sebagai pengganti Jokowi. Tak heran sidang paripurna sepi
anggota. Padahal, Perppu No 1/2014 sama sekali tak mengatur mekanisme ini.
Sedikit blunder dari Kemendagri ini membuat sebagian anasir DPRD DKI
berimajinasi tentang tak otomatisnya Basuki menggantikan Jokowi.
Prinsip kesamaan
Bahwa Basuki
Gubernur DKI mulai Rabu lalu hingga 2017 merupakan fakta hukum yang tak bisa
disanggah karena punya dasar kuat. Terima saja kenyataan ini sebaik-baiknya.
Jadikan Basuki ujian kita dalam bernegara dan berkonstitusi. Ketika pendiri
negara merumuskan UUD 1945, sudah ada pasal yang memuat hak atas kesamaan di
depan hukum dan pemerintahan (equality before the law and government).
"Setiap warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya" adalah
sedikit dari hak warga negara yang tercantum dalam UUD 1945 sebelum
diamandemen. Dalam gelombang reformasi konstitusi 1999-2002, pasal ini termasuk
sedikit norma yang tetap dipertahankan apa adanya.
Bahkan, Perubahan
Kedua UUD 1945 (2000) memperkuat keberadaan pasal ini dengan ketentuan baru
yang maknanya hampir serupa, yaitu Pasal 28D Ayat (1) yang berbunyi,
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Berikutnya
Pasal 28D Ayat (3) yang berbunyi, "Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan".
Dari perspektif
konstitusi, terlepas dari tiga minoritas yang melekat, yaitu minoritas dari
segi etnis, agama, asal daerah, Basuki memiliki hak sama dengan warga negara
lain, baik dalam hukum maupun pemerintahan. Kesempatan duduk dalam pemerintahan
tak hanya diperuntukkan kalangan mayoritas, tetapi untuk semua warga negara.
Sejak 1945, pasal
tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan sudah tercantum. Apakah,
setelah sekian lama ketentuan itu tercantum dalam buku konstitusi kita, mau
diingkari hanya karena fenomena seorang Basuki? Fenomena yang mungkin tak
pernah kita bayangkan sebelumnya, ada seorang etnis Tionghoa memimpin Jakarta,
dari agama minoritas pula serta dari daerah yang juga bukan mayoritas (Belitung
Timur). Sungguh Basuki adalah ujian bagi kita semua. Ujian bagi ketaatan kita
akan konstitusi.
Sumber: Kompas, 21 November 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!