Oleh JE Sahetapy
Guru Besar Emeritus
Great man are almost always bad
man - Lord Acton
SUDAH lama saya bergumul dengan hati nurani saya, melihat dan
menyimak sepak terjang para pemimpin kita. Mereka, secara sadar atau tidak,
bermuka dua.
Mereka itu
para politikus tengik dan para birokrat munafik yang terlibat korupsi. Entah
dengan sengaja atau tidak, karena desakan perut atau karena ada kesempatan,
mereka tak lain adalah para pejabat negara yang licik dan licin bagaikan belut.
Pada waktu upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan, mereka bahkan tampak
begitu serius dan seperti penuh tanggung jawab.
Mereka itu
semua sesungguhnya —meminjam ungkapan kolonial— bukan ”beroemd” (terkenal dalam
arti baik), melainkan justru ”berucht” (kesohor dalam arti jelek). Ironisnya,
keterkenalan dalam arti jelek itu tanpa diikuti rasa malu dan rasa bersalah.
Demikian pula
secara mutatis mutandis ”seorang politikus, bukan politisi”, yang tanpa rasa
malu muncul dengan gagasan licik bahwa Pancasila itu adalah pilar. Apa arti
”pilar”? Maksud atau tujuannya apa?
Terlepas dari
nafsu membusungkan dada (secara terselubung), dari mana ia dapat ilham satanis
untuk gembar-gembor bahwa Pancasila itu ”pilar”! Baik dalam pidato-pidato Bung
Karno, tulisan-tulisan Bung Karno yang dibukukan, tulisan-tulisan Ruslan
Abdulgani, seperti ”spreekbuis” (juru bicara) Bung Karno, maupun
komentar-komentar Bung Hatta sebagai wakil proklamator dan seorang negarawan
besar tanpa cacat-cela, terlepas dari tulisan Tempo dalam edisi khusus Muhammad
Yamin (18-24 Agustus 2014), apakah bisa ditemukan bahwa Pancasila itu pilar?
Pancasila
adalah ”staatsfundamenteelnorm” (Belanda) dan secara ”eo ipso” adalah
”Weltanschauung” (Jerman) bangsa dan negara Republik Indonesia yang
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Titik! Itulah sebabnya, kalau ada gagasan
amendemen UUD 1945, haram untuk menyentuh Preambul atau Mukadimah UUD 1945.
Dye dan
Zeigler dalam The Irony of Democracy (1970) menulis antara lain bahwa ”The
underlying value of democracy is…. Individual dignity.… Another vital aspect of
classic democracy is a belief in the equality of all men”. Jadi jelas, nilai
yang mendasari demokrasi tak lain adalah martabat individu. Dan, aspek penting
lain dari demokrasi (klasik) adalah keyakinan dalam kesetaraan untuk semua
orang.
Suatu
undang-undang yang dipersiapkan dengan cara-cara yang buruk, dengan motivasi
patgulipat secara terselubung dengan tujuan bombastis yang tak etis, pasti akan
hancur atau gagal dalam waktu dekat atau kurang dari satu dekade. Dalam bahasa
kolonial di sebut legislatieve misbaksel, keburukan legislatif.
Hal itu
terjadi di republik ini beberapa kali karena orang-orang yang terlibat
menganggap diri mereka orang-orang santun dan beragama. Suatu pretensi yang
memalukan, terutama pada era reformasi dengan sebutan gagah: ”politik
pencitraan”. Di belakang itu semua ada power struggle, perebutan kekuasaan,
terselubung bermuka dua atau lebih: semacam dokter Jekyll dan Mr Hyde. Dengan
berbagai dalih, demi kekuasaan dan uang, yang tidak perlu disebut, bagaimana
mungkin mau disebut bahwa politik itu ”suci”. Amboi!
Tanpa basa
basi (rencana) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) adalah salah satu contoh yang
transparan tentang legislatieve misbaksel. Apalagi kalau disimak tentang
”naweeËn”-nya (akibat yang meresahkan) yang bertalian dengan pemilu, pilpres,
dan proses rebutan kursi, baik intern maupun antarpartai.
Menurut Kompas
(27 Agustus 2014), ada sejumlah pihak yang tentu berkepentingan secara politis,
terlepas dari legal standing-nya, kini sedang mengajukan pengujian terhadap UU
No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jadi, ada beberapa pihak yang
berkepentingan.
Selanjutnya,
Kompas memberitakan bahwa Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)
dibubarkan, yang membuat Siswono Yudo Husodo sebagai Wakil Ketua Badan
Kehormatan DPR terkejut. Untuk itu, Anda jangan tanyakan mengapa yang
bersangkutan sampai terkejut. Demikian pula secara mutatis mutandis mengapa
seolah-olah UU MD3 sebagai suatu ”entitas siluman”. Ini yang dalam bahasa Latin
disebut sebagai ”sic vos non vobis”, yang dalam bahasa kolonial berarti ”zoo
(werkt) gij, maar het is niet voor u”. Arti bebasnya: ”begitulah Anda
(bekerja), tetapi itu bukan untuk Anda”. Tra-la-la-la!
Dalam pada itu
dinamakan dinamika sosial-politik, sosial-ekonomi, dan campur tangan
terselubung dari luar, permainan yang menyangkut hajat hidup orang kecil dan
masyarakat lapisan bawah, korupsi yang masih harus dibasmi oleh KPK sampai ke
akar-akarnya masih terus berfermentasi. Sementara itu, proses pembusukan terus
berlangsung dan kunci peti pandora tampak seperti sudah ditemukan. Kita
berharap agar apa yang semula tidak bisa dibawa ke pengadilan semoga dapat
dibongkar sampai bersih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Namun, yang
membuat saya heran, masih ada para akademisi dan beberapa gelintir para
cendekiawan yang masih memiliki animositas (kebencian) terhadap KPK. Lalu,
kapan negara dan bangsa ini akan sejahtera?
Sumber: Kompas, 15 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!